Jumat, 02 November 2012

EPISTEMOLOGI part1


EPISTEMOLOGI : CARA MEMPEROLEH PENGETAHUAN YANG BENAR.
 
Aspek kedua dalam filsafat adalah aspek epistemologi. Yakni aspek yang membicarakan metode atau cara sesorang untuk mendapatkan pengetahuan yang benar dari objek yang dikajinya. Sebelum melangkah pada pembahasan utama tentang epistemologi ini, ada baiknya kita terlebih dahulu tahu akan sejarah manusia dengan metodenya dalam memperoleh pengetahuan yang benar. Lalu setelah itu, kita akan membahas hakikat pengetahuan itu sendiri. Baru setelah itu, kajian inti tentang metode pengetahuan atau ilmiah akan dimulai.
 
JARUM SEJARAH PENGETAHUAN 

Sejarah pengetahuan berjalan sejalan dengan perkembangan pemikiran manusia. Dengan mengetahui sejarah akan pengetahuan, kita akan dibantu bagaimana menetapkan suatu metode untuk memperoleh pengetahuan yang benar nantinya. Secara garis besar, sejarah pengetahuan terbagi menjadi tiga fase. Yaitu : pengetahuan abad primitif, pengetahuan abad penalaran (age of reason) dan terakhir adalah pengetahuan abad modern.

Pada abad primitif manusia sudah mulai mengenal dengan yang namanya pengetahuan. Mereka menfungsikan pengetahuan tersebut sebagai alat dan cara mereka untuk menyelesaikan masalah yang terjadi disekitar mereka. Akan tetapi, pada abad ini pengetahuan masih berupa satu kesatuan yang bulat. Tidak adanya pengklasifikasian antara suatu pengetahuan tertentu dengan pengetahuan yang lainnya. Akibatnya, pada masa itu, seorang yang dianggap mampu dibidang kedokteran, dia juga akan dianggap mampu dibidang pertanian, keagamaan, pemerintahan dan lainnya. Seorang pemimpin pada masa itu adalah mereka yang ahli atau pakar dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat yang berada dibawah kepemimpinanya.

Berlanjut pada abad penalaran (age of reason). Pada abad ini manusia telah mengalami perkembangan pemikiran yang cukup pesat setelah terlewatnya masa masa pemikiran primitif. Pada abad ini manusia mulai melakukan pembedaan pembedaan antara satu pengetahuan dengan pengetahuan yang lainnya. Mereka membedakan pengetahuan pengetahuan tersebut dalam wadahnya yang terpisah. Artinya, antara satu pengetahuan dengan pengetahuan yang lainnya memiliki ranahnya masing masing untuk dikaji. Tidak ada hubungan antara satu pengetahuan dengan pengetahuan yang lainnya dalam rangka menyelesaikan suatu masalah. Metode yang berkembangpun antara satu pengetahuan dengan pengetahuan yang lainnya sangat berbeda. Intinya, pada masa ini pengetahuan mengalami diferensiasi dan memiliki ranahnya masing masing tanpa berhubungan atau berkait dengan pengetahuan lainnya.

Fase terakhir ini adalah fase pengetahuan yang masih berlaku hingga sekarang ini. Manusia mulai menggabungkan antara metode primitif dengan metode yang digunakan oleh manusia masa penalaran. Dengan penggabungan dua cara tersebut, muncullah metode inter-disipliner dalam pengetahuan. Tidak seperti metode yang dipergunakan pada masa penalaran, masa ini, pengetahuan lebih diperlakukan sebagai suatu rangkaian penyelesaian masalah yang berkaitan antara satu pengetahuan dengan pengetahuan yang lainnya. Artinya, wilayah antara satu pengetahuan dengan pengetahuan yang lainnya tetap dibedakan untuk kajian telaahnya. Akan tetapi, dalam perannya sebagai alat untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi manusia, pengetahun memiliki semacam ikatan yang erat antara satu wilayah kajian keilmuan dengan yang lain. Contoh : dalam menghadapi bencana longsor. Jika yang dipergunakan adalah metode inter-disipliner maka, semua kajian keilmuan yang berkaitan dengan terjadinya bencana lonsor akan turut dihadirkan pula dalam rangka menyelesaikan masalah tersebut. Tidak hanya ahli dibidang tanah dan alam saja yang dituntut untuk meyelesaikan masalah ini, akan tetapi ahli agama, ahli psikologi, ahli social, ahli perhutanan, ahli cuaca dan lainnya juga turut disertakan. Dengan tujuan, agar didapatkan sebuah pemahaman komplek dari segala aspek masalah tersebut, yang nantinya berguna untuk menyelesaikan masalah tersebut secara menyeluruh. Inilah yang disebut dengan metode pengetahuan inter-disipliner.

Demikianlah jarum sejarah perjalanan pengetahuan dalam perannya sebagai alat untuk  menyelesaikan permasalahan permasalahan manusia yang terjadi pada kehidupan sehari hari.


PENGETAHUAN 

Seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa pengetahuan adalah alat bagi manusia untuk memahami apa yang ada di sekelilingnya, untuk menafsirkan gejala gejala alam yang terjadi dan untuk mencari penyelesaian terhadap masalah masalah kehidupan mereka.

Akan tetapi, yang perlu diperhatikan adalah : bahwasanya tidak semua pengetahuan dapat dikatakan sebagai ilmu. Ilmu merupakan satu bagian dari pengetahuan yang memiliki ciri ciri dan sifat sifat tertentu untuk pengetahuan itu dikatakan sebagai sebuah ilmu. Ilmu hanya mengkaji objek yang dapat ditangkap oleh pengalaman manusia. adapun pengetahuan yang berada diluar itu, jika hal itu bersifat diluar batas nalar atau pengalaman manusia maka itu adalah wilayah kajian agama. Jika pengetahuan itu lebih tertekan pada sisi emosi dan perasaan manusia, maka pengetahuan itu adalah wilayah kajian seni. Sedangkan ilmu, hanya mengkaji objek nyata yang dapat ditangkap oleh nalar dan pengalaman manusia saja. Atau lebih ringkasnya, ilmu adalah sebuah pengetahuan yang ilmiah.

Dengan ilmu inilah manusia ingin mengetahui hakikat kebenaran sesuatu. Dengan ilmu inilah manusia ingin mendapatkan jawaban yang benar terhadap persoalan kehidupan mereka sehari hari. Dan dengan ilmu inilah manusia ingin memahami dan menafsirkan gejala gejala alam yang terjadi disekeliling mereka, di bumi yang mereka huni. Sebab itulah, perlu adanya kajian tentang bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar?, Dan itu akan dibahas pada pembahasan epistemologi ilmu.

Namun, dalam membahas epistemology, aspek lainnya dalam ciri sebuah pengetahuan tidak bisa kita abaikan begitu saja. Ketiganya, ontology (apa), epistemology (bagaimana) dan aksiologi (untuk apa) harus sama sama kita pahami sebagai satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Jadi, dalam membahas epistemology ilmu, otomatis kita juga akan membahas tentang ontology dan aksiologi ilmu. 

Lalu, bagaimana kita menentukan epistemology yang benar terhadap suatu pokok permasalahan yang akan dikaji?. Yaitu dengan melihat ontology (apa) dan aksiologi (untuk apa) objek kajian tersebut. Epistemology tentang suatu permasalahan dengan epistemology permasalahan yang lainnya akan berbeda bila aspek ontology dan aksiologinya juga berbeda. Hubungan antara ketiganya itulah yang harus menjadi pusat perhatian dalam epistemology. Contoh : terjadinya banjir tahunan di Jakarta. Langkah pertama yang harus dilakukan untuk mendapatkan cara bagaimana penanggulangannya adalah mencari apa sebab awal dan sebab utama terjadinya banjir ini ?, disamping juga dilakukan pembahasan tentang tujuan akhir atau untuk apa kajian ini dilakukan ?. dengan memandang pada kedua aspek diatas, yakni aspek ontology dan aksiologinya, maka epistemology yang benar dan tepat juga akan diperoleh.

Usaha usaha seperti sudah dilakukan oleh nenek nenek moyang kita terdahulu. Sama dengan kita sekarang, mereka ingin menguasai alam yang mereka huni ini dengan memahaminya dan menafsirkannya. Entah usaha itu hanya terpaku pada pemahaman dan kepercayaan akan mitologi saja atau dengan menggunakan cara cara yang rasional, yang jelas pengetahuan yang mereka peroleh dari usaha itu dapat menjadi pegangan mereka dalam menjalani kehidupannya di alam ini. Sama seperti sejarah pada perkembangan pengetahuan dari masa ke masa. Metode epistemology juga berkembang seiring dengan berkembangnya cara berpikir manusia. Dimulai dengan nenek moyang kita yang hidup di masa masa purba yang mana masih sangat primitif. Usaha mereka dalam mendapatkan pengetahuan yang benar terutama dalam penafsiran dan memahami alam adalah dengan meletakkan dewa dewa pada setiap gejala yang terjadi di ala mini. Hujan deras yang merusak pertanda bahwa dewa hujan sedang dalam keadaan badmood. Entah itu karena manusia yang lupa memberikannya sesajen atau dia sedang ada masalah dengan dewa lainnya. 

Tahap selanjutnya adalah masa dimana manusia mulai berusaha untuk melepas belenggu mitos dalam setiap gejala alam yang mereka rasakan dan mereka lihat. Dari usaha ini berkembanglah epistemology common sense dan trial-and-error. Ada dua ciri dari epistemology manusia zaman ini untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Yang pertama dengan menggunakan common sense atau akal sehat. Pada tahap ini mereka mulai menggunakan akal mereka untuk menafsirkan alam dengan melepas belenggu belenggu mitos yang diwariskan generasi sebelumnya. Kedua adalah dengan trial-and-error yaitu metode praktek lapangan dengan mencoba mencoba. Artinya sebelum mengkaji tentang tentang sesuatu mereka masih belum dibekali dengan suatu teori tentang hal tersebut. Yang ada hanyalah bekal akal yang sehat dan keberanian untuk mencoba mencoba. Akibatnya system epistemology seperti ini tidaklah mendatangkan sebuah pengetahuan yang benar akan objek yang dikaji. Contoh : ketika Copernicus mengatakan bahwa bumilah yang mengelilingi matahari. Masyarakat setempat tidak mempercayainya. Sebab, menurut akal sehat mereka mataharilah yang mengelilingi bumi. Jadi, akal sehat selamanya tidak selalu memberikan kebenaran. Disamping banyaknya celah yang ada pada metode yang lainnya yaitu metode mencoba mencoba. Akan tetapi, epistemology seperti ini berperan penting dalam usaha manusia  untuk menemukan penjelasan mengenai berbagai gejala alam.

Dilanjutkan dengan tumbuh rasionalisme untuk merontokkan dasar dasar pikiran yang masih bersifat mitos. Lalu, karena adanya beberapa kelemahan pada metode seperti ini, berkembanglah empirisme. Sama seperti rasionalisme, empirisme juga terdapat celah celah dalam metode penemuan kebenarannya. Celah celah ini sudah dibahas pada bab sumber pengetahuan di depan.

Selanjutnya, muncullah metode eksperimen yang menengahi antara merode rasionalisme dan empirisme. Bagaimana kita mendapatkan pengetahuan yang benar ?, yaitu dengan mengadakan penjelasan penjelasan teoritis dalam ranah rasio dan melakukan pembuktian pembuktian dalam ranah empiris. Inilah yang disebut dengan metode eksperimen yang menjembatani antara rasionalisme dan empirisme. Konsep epistemology ini dikembangkan para sarjana muslim ketika masa keemasan islam dan dimasyarakatkan oleh francis bacon. Dari metode eksperimen inilah nanti timbul “metode ilmiah” yang menggabungkan antara cara berpikir deduktif dan cara berpikir induktif. Tentang metode ilmiah ini akan dibahas pada pembahasan selanjutnya.


Sabtu, 20 Oktober 2012

ONTOLOGI part-2 [habis]


PELUANG

Pembahasan ini menurut paham saya adalah lanjutan dari pembahasan sebelumnya tentang asumsi, tapi lebih kepada yang bersifat probabilistic atau asumsi yang masih mengandung peluang. 

Seperti yang dikatakan tadi, jika kita meninjau ulang kepada paham probabilistik, Setiap sesuatu itu pasti memiliki peluang. Baik peluang untuk menang ataupun peluang untuk kalah (contoh seperti kasus penembak jitu dan petani mabuk). Belum tentu sesuatu yang diunggulkan atau sesuatu yang diyakini menang (menurut hokum universalnya) pasti akan menang kala bertanding dengan sesuatu yang tingkatannya mungkin lebih rendah daripada yang pertama. Contohnya begini : dalam perlombaan kicau burung umpamanya, di kelas eksekutif kelas cendet A. Ada burung cendet bernama ratu yang dikenal memiliki suara dan power yang luar biasa, serta sudah menjadi langganan juara di ajang ajang lomba kicau burung baik skala local maupun nasional. Di sisi yang lain, ada cendet muda pemula yang baru kali itu mengikuti lomba kicau burung, sebut saja namanya raja. Ditengah pertandingan, ternyata si ratu mati dan si raja pun yang menjadi pemenangnya. Kejadian seperti ini mengindikasikan bahwa terdapat sesuatu dibalik suatu kejadian, yang menyebabkan adanya atau timbulnya sesuatu yang dinamakan “peluang” tadi.

Intinya, pada pembahasan ini kita diajak untuk menghitung peluang yang ada dari dua kemungkinan yang akan terjadi. Mana yang peluangnya lebih besar dan mana yang peluangnya lebih sedikit.


BEBERAPA ASUMSI TENTANG ILMU

Setelah diawal dibahas tentang asumsi asumsi akan objek yang kita kaji, pada pembahasan kali ini lebih khusus kepada asumsi asumsi akan ilmu.

Pengembangan asumsi asumsi memang perlu dilakukan seseorang sebelum mengkaji hakikat objek yang dia kaji. Asumsi asumsi ini dapat mengantarkan mereka kepada pemahaman yang sempurna terhadap objek yang dikaji, ketimbang mereka yang mengkaji suatu objek tanpa didasari asumsi asumsi terlebih dahulu. Akan tetapi, yang perlu dipahami adalah, langkah lanjutan yang harus dilakukan setelah menerapkan asumsi asumsi tersebut. Entah itu dengan melakukan beberapa kegiatan berpikir atau mengumpulkan data data lalu mengkajinya secara analitik.

Dalam pengambangan asumsi ini, harus diperhatikan beberapa hal. Pertama, asumsi asumsi ini harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin keilmuan. Karena yang dikaji adalah ilmu, maka asumsi asumsi yang dibangun terhadapnya pun harus selaras dan berada di wilayah kajian ilmu. Kedua, asumsi asumsi ini harus disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya” bukan “bagaimana keadaan yang seharusnya”. Jadi, asumsi asumsi yang dibangun haruslah bersifat objektif dengan melihat keadaan atau fakta yang terjadi di lapangan, bukan atas dasar teori yang ada dalam pikiran yang mengharuskan fakta di lapangan sesuai dengan teori atau asumsi yang kita bangun. Dengan melihat dua hal penting yang harus diperhatikan dalam pengembangan asumsi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa, asumsi yang pertama lebih kepada bersifat analitik atau ilmiah, sedangkan asumsi yang kedua lebih kepada asumsi yang bersifat moralitas. Dengan begitu, asumsi asumsi yang kita bangun dalam mengkaji ilmu haruslah melingkupi batas telaah ilmiah dan moral.


BATAS BATAS PENJELAJAHAN ILMU

Pembahasan ini adalah pembahasan terakhir dari ontologi. Membahas tentang sejauh mana ilmu itu dapat kita jelajahi? Sampai manakah ruang lingkup ilmu yang mampu kita kaji? Lalu seperti apakah batas batas antara kajian ilmu dengan bidang pengetahuan lainnya dalam mengkaji suatu objek?. Semuanya akan dibahas pada bab terkahir ini.

Batas batas penjelajahan ilmu tergantung dengan kemajuan zaman akan kajian kompeherensif yang dilakukan terhadap satu bidang keilmuan. Dulu, sebelum manusia mengkaji lebih dalam akan satu bidang keilmuan, ruang lingkup penjelajahan ilmu begitu luas. Karena masih belum adanya peng-klasifikasian terhadap satu bidang ilmu tertentu. Setelah manusia dan peradabannya mulai berkembang pesat, mereka mulai melakukan pengklasifikasian terhadap bidang keilmuan dan mulai mengkaji secara kompehensif tiap bidang keilmua tersebut. Oleh karena itu, ruang kajian ilmu semakin sempit dan terbatas. 

Dewasa ini, diperkirakan terdapat 650 cabang keilmuan yang dikaji secara mendalam satu persatu oleh para ilmuan. Dengan tujuan, dengan melakukan spesialisasi seperti itu diharapkan  pada setiap bidang keilmuan tersebut mereka akan dapat melakukan kajian yang mendalam dan menyeluruh. Untuk selanjutnya diadakan semacam kajian multi-disipliner yang bersifat konstuktif antara bidang keilmuan yang satu dengan yang lainnya dalam menyelesaikan suatu masalah.

Lebih umumnya lagi, penjelajahan ilmu hanyalah sebatas apa yang didapat dari pengalaman manusia. Tidak mungkin ilmu membahas perihal surga dan neraka yang jauh dari jangkauan akal dan pengalaman manusia. Hanyalah sesuatu yang bersifat konkret dan berdasarkan pengalaman manusialah yang dapat dijelajah oleh kajian ilmu.


ONTOLOGI part-1


METAFISIKA

Menginjak pada pembahasan pertama tentang ontologi. Ontologi adalah bagian dari filsafat yang membahas tentang hakikat objek yang dikaji. Tidak jauh dengan pengertian ontologi, metafisika juga membicarakan tentang problem watak yang sangat mendasar dari realitas benda atau objek yang dikaji. Apakah sebenarnya hakikat dari benda atau objek yang kita kaji?, apakah hal itu bersifat ghaib atau mistis?, Ataukah objek yang kita kaji itu hanyalah sebuah gejala alam saja yang bersifat kimia-fisika?. Berikut beberapa tafsiran tafsiran mengenai metafisika :

1.    tafsiran yang pertama mengenai hakikat alam ini adalah paham animisme yang didasarkan pada pemikiran supranaturalisme. Paham ini menyakini bahwa dibalik semua kejadian atau benda benda di dunia ini, terdapat sesuatu yang bersifat ghaib yang menggerakkan itu semua. Entah itu berupa roh roh atau mahluk mahluk ghaib. Paham ini merupakan paham tertua tentang metafisika.

2.     berbeda dengan paham animisme diatas, kaum materialis berpendapat bahwa benda benda atau gejala gejala alam di dunia ini bukanlah digerakkan oleh sesuatu yang bersifat ghaib yang tidak kita ketahui secara jelas. Akan tetapi, semua gejala alam yang terjadi tersebut disebabkan dari kekuatan alam itu sendiri. Oleh karena itu, kita dapat mempelajarinya. Paham materialisme ini didasarkan pada pemikiran naturalisme yang pertama kali dikembangkan oleh democritos (460-370 SM) melalui teori atomnya. 

3.      paham mekanistik, adalah paham yang meyakini bahwa gejala gejala yang terjadi di alam ini hanyalah sebuah proses kimia-fisika semata. Hal ini dibantah oleh kaum vitalistik yang meyakini bahwa, terdapat sesuatu yang unik dibalik gejala gejala atau kejadian kejadian di alam ini daripada sekedar gejala kimia-fisika sebagaimana yang dikatakan oleh kaum mekanistik. Ada kejadian kejadian alam (yang menurut kaum vitalistik) tidak dapat diketahui hanya dengan mempelajari kimia atau fisika saja.

Setelah pembahasan tentang hakikat dari objek yang dikaji diatas, lalu muncul pertnyaan yang berkaitan dengan hubungan antara pikiran sebagai alat untuk mengkaji suatu objek dengan objek yang dikaji tersebut. Apakah antara pikiran dan zat yang dipikirkan adalah satu kesatuan yang tidak bias dipisahkan?, atau keduanya meurpakan suatu yang berbeda antara satu dengan yang lainnya?. Ada dua pandangan mengenai hal ini :

1.    pandangan kaum monistik. Mereka berpendapat bahwa pikiran dan zat adalah hal yang satu dan tidak dapat dibedakan. Keduanya sama sama merupakan sesuatu yang bersifat nyata. Hanya saja, mereka berbeda dalam hal gejala gejala yang disebabkan proses yang berlainan.

2.   pandangan kaum dualistik. Mereka membedakan antara zat dan pikiran, kebalikan dari paham monistik diatas yang mengatakan bahwa zat dan pikiran adalah satu. Terminology dualisme ini mula mula dipakai oleh Thomas hyde (1700) dan Christian wolff (1679-1754). Dan para filsuf yang menganut paham ini antara lain : rene Descartes (1596-1650), john locke (1632-1714) dan george Berkeley (1685-1753). Mereka berkeyakinan bahwa sesuatu yang nyata adalah yang ada dalam pikiran manusia, bukan zat yang didapat dari pengalaman empiris. Sebab kata locke, pikiran manusia diibaratkan sebagai lempengan lilin, dimana pengalaman pengalaman inderawi menempel pada lempengan itu. Jadi, semakin banyak pengalaman indera manusia yang menempel pada lempengan lilin pikiran itu, maka semakin beragam dan semakin rumit pula ide ide yang dihasilkan.


ASUMSI

Pembahasan kedua tentang ontology adalah asumsi. Asumsi adalah praduga awal tentang objek yang dikaji, yang kebenarannya masih belum bisa dipastikan. Artinya, ada dugaan dugaan yang timbul dari diri seseorang sebelum dia memutuskan suatu hal terhadap suatu perkara dengan berpijak pada data data atau nilai nilai. Contoh di buku sangat jelas menurut saya, tentang lomba adu tembak antara petani gila yang mabuk vs penembak jitu dengan rekor 30 tanding 30 menang TM. 

Lalu, sebab asumsi itulah timbul pemikiran tentang ketundukan gejala gejala yang terjadi dialam ini. Apakah gejala gejala yang terjadi di ala mini tunduk kepada hokum kepastian?, ataukah ia tunduk pada pilihan bebas yang dikehendaki manusia? Atau yang lainnya?. Berikut tiga pandangan tentang hokum ketundukan gejala alam :

1.      paham determinisme, yaitu sebuah paham yang menyakini bahwa segala gejala yang terjadi di alam ini tunduk pada hukum universal. Maksud hukum universal disini adalah hokum alam yang bersifat umum atau bersifat “biasanya”. Andaikan ada petani gila yang mabuk bertanding adu tembak melawan penembak jitu handal, maka hokum universalnya adalah kemenangan akan berada dipihak si penembak jitu, dan si petani mabuk akan mati. Paham ini dikembangkan oleh William Hamilton (1788-1856) dari doktrin yang diberikan Thomas hobbes (1588-1679). Paham ini berlawanan dengan paham fatalisme dan paham pilihan bebas.

2.  paham pilihan bebas, berkebalikan dengan paham determinasi diatas. Adalah paham yang mengatakan bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam menentukan pilihannya, tidak ada kaitannya sama sekali dengan hokum alam. atau dengan kata lain, mereka (kaum berpaham pilihan bebas) menyakini bahwa tidak ada sebab dari setiap gejala yang terjadi di alam, semuanya sesuai dengan kehendak manusia. Jadi andaikan petani mabuk dan penembak jitu bertanding, jika si petani berkehendak dia pasti bisa mengalahkan si penembak jitu. Dan si penembak jitu justru yang akan menemui ajalnya.

3.    paham probabilistik, yaitu paham akan asumsi yang menengahi antara paham determinasi dan paham pilihan bebas. Paham yang bersifat probabilistik ini lebih kepada peluang iya atau tidak, atau dengan kata lain fifty fifty. Artinya, jika ada duel adu tembak antara petani mabuk melawan penembak jitu, maka tidak pasti si penembak jitu yang akan menang, atau tidak pasti si petani mabuk yang kan kalah dan terbunuh. Masing masing dari mereka berdua masih memiliki peluang untuk menang dan kalah. Begitu juga dengan dugaan dugaan atau asumsi terhadap apa pun selain duel adu tembak tadi. Pembahasan tentang peluang ini akan lebih diterangkan pada pembahasan selanjutnya.

Filsafat Ilmu [pendahuluan]


PENALARAN DAN HAKIKAT PENALARAN

Pembahasan pembahasan berikut masih merupakan pengantar sebelum beranjak pada pembahasan utama yang pertama yakni ontologi ilmu. Yakni, pembahasan tentang penalaran dan hakikatnya, logika, sumber sumber pengetahuan dan kriteria kriteria untuk pengetahuan tersebut bias dikatakan benar.
Penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir untuk menemukan sebuah pengetahuan dengan melalui cara cara yang logis dan analitis. manusia berpikir dengan menggunakan akalnya melalui rangkaian rangkaian metode berpikir untuk mengembangkan segala sesuatu yang ada disekitar mereka, dan rangkaian seperti inilah yang disebut penalaran. Sebuah pengetahuan yang tidak diperoleh dari proses menalar lebih disebut sebagai insting, seperti halnya hewan dan mahluk selain manusia. Karena memang, dengan pengetahuan itu hewan hewan hanya bertujuan untuk sebuah kelangsungan hidup saja, tidak lebih. Penalaran terkait erat dengan rasio manusia atau akal manusia, adapun pengetahuan yang didapat dengan tanpa melalui proses berpikir dengan akal dan rasio tidak disebut proses bernalar atau penalaran. Jadi, membahas “bernalar” berarti kita membahas seputar akal, rasio manusia saja.
Telah disebutkan diatas, hakikat dari sebuah proses bernalar adalah berpikir dengan rangkaian alur berpikir melalui cara cara yang logis dan analitis. Logis dalam artian, berpikir atau bernalar melalui sebuah pola berpikir tertentu (logika tertentu) sesuai logika yang ada. Atau lebih gampangnya kita sebut “masuk akal”. Jadi, hal hal yang tidak sesuai dengan akal manusia, seperti hal hal yang ghaib tidak dapat disebut sebuah proses bernalar.
Hakikat yang kedua dari sebuah proses bernalar adalah analitis yakni bersifat perhitungan atau penguraian. Jadi, bernalar adalah suatu proses atau kegiatan berpikir yang harus melalui penguraian penguraian atau perhitungan perhitungan terlebih dahulu dari sebuah masalah yang dipikirkan, sebelum memutuskan apakah hasil dari penalaran tersebut merupakan sebuah pengetahuan. Bukanlah sebuah proses bernalar yang analitik, apabila pengetahuan itu didapat dengan tanpa mengurai terlebih dahulu permasalah yang ada atau didapat secara spontanitas.  dalam tata bahasa arab, spontanitas seperti ini disebut “dzauq”.
Dua sifat bernalar diatas bukanlah merupakan dua hal yang berbeda atau memiliki ranahnya tersendiri. Dua hal tersebut berkaitan erat dan harus selaras dalam sebuah kegiatan berpikir yang dinamakan logika. Karena pada hakikatnya menurut jujun s. Sumantri, sebuah analisa mustahil akan terjadi tanpa kita mengikuti sebuah pola berpikir tertentu atau logika tertentu.


LOGIKA

Diatas beberapa kali disebut kata logis atau logika. Sebenarnya apakah logika tersebut ?, seperti yang dikatakan tadi, bernalar adalah suatu proses berpikir untuk menghasilkan sebuah pengetahuan. Pengetahuan yang kita hasilkan tersebut akan disebut benar manakal proses bernalar yang kita lakukan melalui cara cara atau alur tertentu. Proses penarikan kesimpulan dengan cara cara tertentu itulah yang disebut logika. Dalam proses penarikan kesimpulan dari sebuah kegiatan bernalar, terdapat dua metode yang dapat dilakukan. Pertama adalah logika induktif dan kedua adalah logika deduktif.
Logika induktif adalah metode penarikan kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual. Artinya, kita sendiri melakukan pengkajian terhadap suatu kasus, yang nantinya hasil dari kajian itu akan membuahkan sebuah kesimpulan atau pengetahuan yang tidak hanya teruntukkan bagi kita sendiri sebagai orang yang mengkaji, tapi juga untuk khalayak umum. Seperti contoh yang telah disebutkan dalam buku. Ada dua manfaat dari penggunaan metode induktif ini. Pertama adalah bersifat ekonomis, artinya, dari beraneka ragam bentuk kehidupan di dunia ini dapat disimpulkan dengan sebuah bentuk pernyataan logis. Kedua adalah, adanya kemungkinan proses penalaran lanjutan yang akan dilakukan dari pernyataan yang pertama ini, baik itu bernalar melaui metode induktif atupun deduktif.
Logika deduktif adalah sebuah metode penarikan kesimpulan yang bersifat khusus dari berbagai kasus atau pernyataan yang bersifat umum. Penarikan kesimpulan secara deduktif ini biasanya mempergunakan sebuah pola yang dinamakan silogisme. Silogisme disusun dari dua pernyataan yakni sebuah premis mayor dan sebuah premis minor serta diakhiri dengan sebuah kesimpulan. Contohnya : A sama dengan B (premis mayor), B sama dengan C (premis minor), jadi A sama dengan C (kesimpulan). Pertanyaannya, apakah semua kesimpulan yang disimpulkan dari kedua premis dapat sikatakan benar secara pasti ?, jawabannya adalah tidak. Di buku dijelaskan bahwa kebenaran kedua premis tidak memastikan sebuah kesimpulan yang benar. Mungkin saja kesimpulan itu salah, sekiranya cara penarikan kesimpulannya adalah tidak sah.

SUMBER PENGETAHUAN
Ditinjau dari cara cara kita menarik kesimpulan dari proses bernalar untuk mendapatkan sebuah pengetahuan, maka sumber pengetahuan dapat dibagi menjadi dua, yakni melalui rasio atau akal dan kedua adalah melalui pengalaman. Rasio atau akal sebagai sumber pengetahuan lebih menekankan kepada metode logika deduktif dalam penyimpulan proses bernalar. Atau dengan kata lain, logika deduktif = rasionalisme. Sedangkan pengalaman sebagai sumber pengetahuan lebih menekankan kepada metode logika induktif dalam penyimpulan proses bernalar. Atau dengan kata lain, logika induktif = empirisme.
Kaum rasionalis dengan pahamnya rasionalisme mengatakan bahwa pengetahuan bersumber dari akal, bukan pengalaman. Didalam proses penalarannya, mereka menggunakan premis premis yang dihasilkan ole hide ide mereka sendiri yang mereka anggap benar dan jelas. Mereka menyakini bahwa ide ide ini ada sebelum pikiran manusia sendiri diciptakan, paham ini kita kenal dengan nama idealisme. Mereka juga menyakini bahwa manusia dengan akalnya hanya diberi tugas untuk mengetahui atau mengeluarkan ide ide tersebut dengan kemampuan bernalarnya. Jadi, ide bagi mereka adalah sumber pengetahuan yang prapengalaman yang didapat manusia melalui proses bernalar, bukan pengalaman.
Tapi, dengan menyakini hal itu, jujun mengatakan bahwa terdapat masalah pada cara berpikir yang seperti itu. Ini disebabkan oleh perbedaan ide yang dimiliki seseorang dengan seseorang lainnya. Mungkin menurut si A ide tentang tempe (umpamanya) jelas dan dapat dipercaya, tapi menurut si B ide itu tidak jelas dan tidak dapat dipercaya, sebab si B melakukan sebuah penalaran lain yang berbeda dengan si A, dengan menggunakan ide yang menurut dia jelas dan dapat dipercaya. Oleh karena itu, dalam satu objek penalaran akan banyak didapatkan pengetahuan pengetahuan yang berbeda. Dalam hal ini menurut jujun, pemikiran rasioanal cenderung untuk bersifat subjektif dan solipsistik (ke-aku-an atau individual).
Bagaimana dengan kaum empiris ?, mereka mengatakan bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman yang bersifat konkret, bukan didapat dari penalaran logika yang bersifat abstrak. Pengalaman yang dikatakan kaum empiris lebih menekankan kepada pengalaman indera manusia. Seperti melihat, mencium, mendengar dan lainnya. Metode yang dipakai kaum empiris adalah metode induktif, kebalikan dari metode yang dipakai oleh rasionalis. Terdapat beberapa kharakteristik dalam penalaran kaum empiriss ini, yaitu pertama, mengamati keteraturan pola yang terjadi pada objek tertentu. Contohnya : setiap mendung akan diikuti oleh turunnya hujan, awal bulan akan diikuti oleh turunnya gaji, dll. Yang kedua, adanya kesamaan dan pengulangan pengulangan tentang apa yang terjadi pada objek tersebut. Contohnya : setiap logam yang dipanaskan pasti akan memanjang.
Tetapi sekali lagi, jujun mengemukakan tentang masalah masalah atau celah celah yang terdapat dalam metode berpikir seperti ini. Masalah utama yang disebutkan oleh jujun tentang cara berpikir empiris yakni hasil yang diperoleh cenderung merupakan kumpulan fakta fakta tentang objek yang dikaji, daripada sebuah pengetahuan tentang objek tersebut. Ini mengindikasikan bahwa pengetahuan yang didapat dari proses bernalar seperti ini tidaklah bersifat tetap atau konsisten, masih ada ruang untuk timbulnya kontradiksi kontradiksi dari proses bernalar yang dipakai.
Disisi lain, dari anggapan kaum empiris perihal bahwasanya dunia fisik ini adalah sesuatu yang nyata karena tertangkap oleh indera, jujun mengemukakan lagi dua masalah. Masalah yang pertama adalah hubungan antara satu fakta dengan fakta yang lainnya tidaklah senyata apa yang dianggapkan. Perlu adanya kerangka pemikiran untuk dapat mengetahui hubungan yang terjalin diantara dua fata atau obje tersebut. Contohnya : hubungan antara intelegensi manusia dengan rambut keriting. Sekilas, andaikan kita hanya bertumpu pada pengalaman indera saja, kita tidak akan menemukan hubungan logis antara dua fakta diatas.
Masalah kedua adalah tentang hakikat pengalaman dan panca indera sebagai alatnya dalam menemukan sebuah pengetahuan. Karena, bagaimanapun juga indera manusia mempunyai batasan batasan yang dengan batasan itu indera tidak dapat menjangkau semua fakta untuk disimpulkan menjadi sebuah pengetahuan. Contohnya : pensil yang diletakkan didalam air akan terlihat bengkok. Kalau kita menyimpulkan bahwasanya setiap benda padat yang dimasukkan kedalam air akan bengkok, kesimpulan tersebut akan salah. Itulah batas batas indera yang dipermasalahkna jujun dalam proses mendapatkan pengetahuan ala empiris ini.
Disamping dua hal tersebut, empirisme dan rasionalisme, masih terdapat sumber sumber yang dapat memberikan pengetahuan kepada manusia. Yaitu intuisi dan wahyu. Tapi, keduanya tidak dapat diandalan untuk menjadi semacam tumpuan dalam proses menmperoleh pengetahuan yang benar. Disamping kedua hal tersebut lebih kepada bersifat individual, kedua hal tersebut juga bersifat ghaib atau tidak konkret.


KRITERIA KEBENARAN

Disini akan dibahas seperti apakah kriteria kebenaran yang dapat diterima dan dapat dikatakan kebenaran tentunya.
terdapat beberapa teori yang akan mengantarkan kita kepada pengetahuan tentang nilai nilai kebenaran suatu penalaran. Dalam buku disebutkan tiga teori tentang criteria kebenaran. Pertama adalah teori koherensi, yang kedua adalah teori korespondensi dan yang terakhir adalah teori pragmatis. Terkait dengan metode penalaran atau logika yang telah dibahas sebelumnya yakni deduktif dan induktif, teori koherensi cenderung kepada logika deduktif, sedangkan teori pragmatis cenderung kepada logika induktif.
Suatu pernyataan dapat dikatakan benar menurut teori koherensi, apabila pernyataan tersebut sesuai atau selaras dengan pernyataan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Suatu pernyataan tidak bisa dikatakan benar bila pernyataan itu bertentangan atau tidak koheren dengan pernyataan pernyataan sebelumnya yang telah dianggap benar. Teori ini adalah teori yang menjadi landasan bagi matematika.
Yang kedua adalah teori korespondensi (teori berhubungan). Artinya, suatu pernyataan dapat dikatakan benar bila pernyataan itu sesuai atau berhubungan dengan fakta yang terjadi di lapangan. Misalnya : UIN Syarif Hidayatullah berada di Ciputat. Pernyataan tersebut benar karena memang uin syarif hidayatullah terletak atau berada di daerah Ciputat. Merupakan suatu pernyataan yang salah, apabila dikatakan bahwa UIN Syarif Hidayatullah terletak di Bondowoso.
Dan teori yang terakhir adalah teori pragmatis yang  berlandaskan kepada logika induktif sebagaimana yang telah dikatakan diatas. Teori ini mengatakan bahwa pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang bersifat fungsional. Dalam artian, pengetahuan tersebut akan mendampakkan sebuah manfaat yang jelas bagi kehidupan manusia. Dikatakan berlandaskan logika induktif, karena memang teori ini melakukan sebuah proses pembuktian kebenaran dengan mengumpulkan fakta fakta yang akan mendukung kepada satu pernyataan.