Jumat, 27 April 2012

KUDUS DALAM CATATAN -3 [antara maksiat dan ta'at]



Malam ini adalah malam jumat. Malam dimana allah membuka pintu ampunan bagi mereka mereka yang bertaubat dan memohon ampun malam ini. malam dimana semua ahli kubur dibebaskan dari siksa kubur yang pedih. Juga malam dimana semua malaikat turun untuk menaburkan rahmat tuhan bagi mereka yang memanfaatkan malam ini dengan hal hal yang positif. Sudah seharusnya bagi mereka yang mengerti akan keagungan malam ini untuk tidak menyia nyiakannya, apalagi di kota yang saya diami sekarang ini.
Seperti yang saya ceritakan di episode sebelumnya, kudus merupakan sebuah kota wali, kota santri, serta kota yang dipenuhi dengan para penghafal dan orang yang sudah hafal kitab suci al quran. Dilihat dari fakta dan sebutannya, sudah barang tentu kudus merupakan sebuah kota madani yang menjunjung tinggi syari’at islam. Amar ma’ruf nahi mungkar jelas jelas tergalang di kota yang kecil ini. di kota ini banyak terdapat mal mal dan tempat perbelanjaan besar, seperti matahari dan mall kudus. Dan kalau anda tahu, masyarakatnya sangat terbiasa menggunakan sarung, baju muslim dan kopyah (bagi laki laki) kemanapun dan pada aktifitas apapun (kecuali ke kantor) yang mereka kerjakan, bahkan kala berbelanja di mal mal besar sekalipun. Sedikit sekali anda temui disini perempuan tanpa krudung yang membalut di kepala. Seperti itulah kondisi kota ini beserta masyarakatnya pada hari hari biasa, apalagi di hari jumat!.
Malam jumat saya tidak pernah pergi ke makam mbah sunan kudus. Dapat dipastikan makam full tank malam ini. semua orang sekresidenan pati pasti datang untuk ziarah malam ini, mulai dari wilayah pati sendiri, jepara dan tentu saja kudus. Di malam malam lainnya makam akan tutup ketika tengah malam. Tapi, khusus malam jumat, makam mbah sunan dibuka 24 jam sampai pagi. Peziarah dari berbagai kota memenuhi makam malam ini. pekak tahlil dan puji pujian menggema sampai pojok pesantren kecil saya, sampai tempat saya menulis saat ini. memang kota kudus, terutama makam dan masjid menara kudus tidak pernah sepi dari para peziarah tiap harinya. Apalagi pada hari minggu dan malam jumat seperti sekarang ini.
Semua orang dari segala umur melakukan hal yang sama ketika malam jumat tiba. Mulai dari anak anak, para pemuda pemudi dan orang orang dewasa. semuanya berkumpul khusuyuk di makam mbah sunan kudus. segala keinginan dan hajat, mereka tumpahkan malam ini kepada dzat yang maha memberi. Berharap, dengan karomah dan barokah mbah sunan kudus, tuhan akan berkenan mengabulkan segala hajat dan keperluan mereka. Jadi, dapat dibayangkan bagaimana keta’atan yang dilakukan penduduk kota ini. bagaimana kasih sayang tuhan kepada penduduk kota ini yang selalu meminta dan memohon, memelas menampakkan ketidakberdayaan diri sebagai seorang hamba.  Bagaimana tuhan tidak akan menerangi kota ini dengan cahaya rahmatnya, sedangkan penduduknya tenggelam dalam kepatuhan dan ketaatan pada semua perintah dan larangannya. Sungguh mulia kota ini, kota dimana al allamah al hafidz mbah arwani dilahirkan dan dibesarkan didalam bekapan cahaya al quran. Allahumma ighfir lahu….
Tetapi semua hal yang saya ceritakan diatas akan menjadi sebuah ironi yang sangat disesalkan, apabila dibenturkan pada kenyataan lain dari kota yang mengagumkan ini. Saya baru percaya, dimana ada ma’ruf pasti ada kemungkaran. Tentu merupakan suatu hal yang lumrah apabila kemungkaran dilakukan oleh suatu golongan, sedangkan yang lainnya melakukan sesuatu yang ma’ruf. Yang menjadi aneh adalah apabila ma’ruf dan kemungkaran  dilakukan oleh orang yang sama di waktu dan tempat yang sama pula. Berikut kisahnya…
Dikota ini terdapat banyak sekolah sekolah yang berkulikulum layaknya kurikulum madrasah di pesantren salafi, terutama sekolah sekolah di daerah sekitar menara kudus. Karena mengikuti seperti apa yang dipraktekkan di pesantren pesantren. Setiap hari mereka dicekoki dengan berbagai pelajaran pelajaran agama yang langsung bersumber dari literatur2 yang kental akan aroma agama, yaitu kitab kuning. Khusus untuk tingkat aliyah harus ditempuh dalam masa minimal empat tahun. Tidak ada buku  buku pelajaran berbahasa indonesia yang mereka bawa dan mereka pelajari tiap harinya. Semuanya berbentuk kitab kitab kuning tebal nan menakutkan bagi siapa saja yang melihatnya. Hafalan hafalan seumpama nazham alfiyah dan kitab ‘arba’in nawawi masih digalakkan dan menjadi tuntutan wajib bagi setiap muridnya yang ingin naik kelas. Anggapan generasi islam yang berkualitas intelektual dan imannya memang akan langsung terbayang kala melihat mereka pertama kali dan segala aktifitas yang mereka lakukan di sekolah tiap hari. Akan tetapi kenyataan yang terjadi tidaklah seindah itu kawan!.
Karena kurikulum mirip pesantren yang mereka gunakan, maka jumat adalah hari libur sekolah sebagaimana minggu di sekolah umum. Dan malam jumat adalah malam minggunya remaja daerah ini.
Menara kudus di malam jumat layaknya taman kota yang dipenuhi pasangan muda mudi yang tengelam dalam madu cinta. Mereka tersenyum, tertawa, kala berbincang ria di keharibaan masjid agung menara kudus dengan pasangan mereka masing masing. hasrat yang terpendam seminggu lamanya pada sang kekasih, serta penat yang sangat setelah beberapa waktu dipusingkan dengan berbagai macam pelajaran disekolah ,mereka tumpahkan malam ini, disini, dibawah lantunan ayat ayat quran yang menggema merdu dilangit langit kota suci kudus, di masjid menara kudus malam ini.
Ada yang berkeliling memutari daerah menara sambil berpegang tangan bahkan berdekap berpelukan, ada juga  yang hanya duduk mesra berdekatan di masjid sambil ditemani berbagai macam makanan camilan. Itu buruknya..!!!
Yang menjadi aneh dan terkesan lucu adalah, sebelum mereka mengerjakan semua itu di malam jumat kelabu, mereka terlebih dahulu pergi berziarah ke makam mbah sunan. Masih tetap dalam bentuk berpasang pasangan, itu yang pertama. Yang kedua, setelah melakukan ziarah ke makam mbah sunan kudus, pasangan kekasih tersebut langsung bermesraan ria dengan masih menggunakan kopyah, sarung dan baju taqwa rapi (bagi yang laki laki) serta krudung dan gamis (bagi mereka yang perempuan). Berkeliling sebentar di areal sekitar makam dan menara, setelah itu duduk di masjid berduaan sampai malam, dengan masih menggunakan busana islami yang mereka kenakan ketika ziarah. Itu bagusnya…!!!
Hahahahaha….
Pelajaran yang dapat dipetik dari apa yang muda mudi kudus lakukan di malam jumat adalah “lakukanlah sebuah ketaatan, sebelum kamu melakukan suatu kemaksiatan..!!! ”. heheheh, bercanda.
Itu seputar kondisi dan situasi kota kudus di malam jumat yang dapat saya lapor dan ceritakan. Dan saran saya kepada semua teman yang akan mengunjungi kota ini adalah: pertama, jangan pernah sekali kali pergi ke makam mbah sunan pada malam jumat (meskipun itu baik), kalau kamu tidak ingin terpenjara dalam keramaian dan sesak orang selama berjam jam. Pergi saja di selain hari dan malam jumat!, arti khusyu’ akan lebih mudah di dapatkan pada hari hari itu. Kedua, jangan pernah sekali kali pergi ke masjid atau sekitar menara kudus di malam jumat!, kalau kamu tidak ingin ternganga dan mengeluarkan air liur tanda kepingin. Kecuali kamu punya pasangan lawan jenis!. Ckckckck..
Terlepas dari itu semua, kudus masih merupakan sebuah kota suci, yang sangat beruntung apabila saya dapat memetik hikmah dan mengambil pelajaran sebanyak banyaknya dari kota jenang ini.

Jum’at pagi
masjid menara akan terlihat seperti sebuah kapal tumpah daripada terlihat sebagai sebuah masjid agung yang dikramatkan. Sepertinya, besok pagi pak bakri dkk (takmir masjid) akan tertimpa rasa lelah yang luar biasa.


Latar pendopo (meratapi kesendirian)
KUDUS, 10112011


     





Jumat, 20 April 2012

KUDUS DALAM CATATAN -2 [antara manis dan diabetes]


Merantau jauh ke kota kudus merupakan suatu hal yang baru bagi saya pribadi. Hal baru dalam artian, ini merupakan rantauan terjauh saya selama ini dan ini juga merupakan pertama kalinya saya pergi dan tinggal dikota yang mayoritas dihuni oleh orang jawa tulen. Masalah jarak mungkin sudah saya atasi dengan niat dan tekat yang bulat untuk nyantri di kota ini. Masalah yang kedua yang merupakan tantangan yang benar benar baru bagi saya selama ini, dikarenakan selama ini saya hidup berdekatan dengan orang orang madura. Saya pun juga asli darah madura. Jadi, hal hal yang mengangkut bahasa, budaya dan kebiasaan orang jawa saya benar benar kosong. Apalagi yang saya hadapi sekarang ini adalah jawa asli yang tiap harinya berkomunikasi dengan menggunakan bahasa halus dan kromo inggil. Tentu jauh berbeda dengan jawa jawa “suroboyoan” atau “jawa timuran” yang sedikit banyak telah saya ketahui dan saya dengar, baik itu di kota tempat saya berasal maupun di pesantren saya sebelum ini. Akan tetapi, bukanlah masalah bahasa yang akan saya bagi kepada kawan kawan kali ini. Kebiasaan yang dilakukan masyarakat kuduslah yang akan saya ceritakan pada kesempatan yang berharga ini. Terutama akan hal yang berbau manis dari kota menakjubkan ini.
Kali pertama menginjak kaki di tanah kudus saya sudah merasa akan mengalami sebuah proses penyesuaian diri yang luar biasa berat dan lama. Bagaimana tidak merasa berat, saya adalah  orang madura asli yang hidup dan tinggal dikota yang mayoritas dihuni oleh orang jawa tulen dan hidup bersama sama mereka tiap harinya. Mengikuti semua adat dan kebiasaan yang dilakukan mereka tiap harinya. Kondisi seperti ini saya umpakan dengan seekor harimau sumatera yang mencoba tinggal bersama harimau afrika. Memang sama sama harimau, tapi kebiasaan yang dilakukan antara keduanya tentu sangat berbeda. Tapi itu hanya perasaan yang menyambut kedatangan saya di kota kretek ini pertama kali.
Beberapa saat setelah tiba di kota ini, setelah berkeliling disekitar menara kudus untuk penyesuaian kondisi dan dalam rangka menghafal jalan serta warung warung makan disana, perut saya mendadak memaksa untuk diisi. Pergilah saya ke salah satu warung bersama salah satu kenalan baru saya di kudus. Saat itulah hal yang saya takutkan tadi terjadi. Meskipun sangat lapar, lidah dan mulut enggan rasanya untuk makan dan mengunyah menu yang saya pesan. Waktu itu saya memesan nasi campur. Sepiring kecil nasi dengan oseng oseng kangkung, mie, potongan tahu bumbu dan sambel diatasnya. Saya pun mencoba mencampurkan sambal ke sesuap nasi yang akan saya santap. Tapi, lidah dan kerongkongan saya semakin enggan untuk mengunyah dan menelan makanan itu. Alasannya, semuanya terasa sangat manis. Sambal pun jauh dari kesan pedas, disini adanya sambal manis.
Butuh waktu seminggu untuk membuat lidah terbiasa dengan makanan manis yang sudah menjadi kebiasaan dan kesenangan orang jawa tulen di kudus ini. Itupun dengan terpaksa, saya tidak makan kecuali sudah kelaparan stadium empat yang membuat saya lemas bahkan untuk sebuah senyuman sedikitpun. Semua menu sudah saya coba dari warung ke warung di sekitar menara kudus. Hampir semua warung sudah saya datangi dan saya rasakan menunya. Semuanya hampir sama, rasa manis masih kuat melekat dalam masakan orang orang kudus. Jadi, jangan heran ketika melihat dan menemukan banyak sekali bahkan hampir semua orang tua di kota kudus berjalan dengan memakai bantuan tongkat. Mengapa demikian? Penyakit diabeteslah penyebabnya. Mulai dari lahir sampai menginjak usia senja, kadar gula yang mereka konsumsi selalu diatas batas normal kesehatan. Akibatnya, sudah dapat dipastikan diabetes atau kencing manis mengendap di dalam tubuh mereka.
Jadi, saya sarankan kepada teman teman yang ingin mencoba untuk tinggal di kota ini. Baik itu hanya untuk sekedar mencari pengalaman atau menyantri di pesantren kudus, agar bisa memilih dan memilah mana makanan yang cocok bagi lidah dan kerongkongan kalian. Terutama bagi kawan yang berasal dari suku madura. Bakso, mie ayam, mie instan, sate madura adalah makanan makanan yang bisa menjadi pilihan pertama. Tapi, tidak selamanya itu dapat dibeli, Kala kantong menipis dan transfer uang tak kunjung datang, maka kawan sekalian akan dipaksa untuk menikmati masakan masakan manis di warung warung murah. Dan, jangan sekali kali mencoba soto kudus !, terutama bagi mereka yang berasal dari madura sekali lagi !.
Dari semua hal yang manis yang saya ceritakan diatas, masih kalah manis dengan cerita saya berikut ini. Masih seputar kota perantauan saya, kota kudus beserta sesuatunta yang berbau manis.
Seperti yang saya katakan tadi di atas, bahasa yang digunakan tiap harinya di kota ini adalah bahasa jawa kromo inggil dan kromo halus. Orang jawa surabaya atau jember pun belum tentu paham dengan bahasa jawa ini. Mengapa demikian? Karena memang pendahulu pendahulu di kota ini memang berasal dari keluarga kraton jawa layaknya kraton jogjakarta dan kraton solo. Akibatnya, Bahasa yang digunakan pun mengikuti seperti apa yang kerap digunakan di kalangan keluarga kraton.
Bahasa bukanlah satu satunya yang diawarisi para pendahulu di kota kudus kepada anak keturunanya sampai saat sekarang ini. kecantikan putri kraton yang terkenal pun mengalir deras  dalam darah perempuan perempuan kudus sampai saat saya menulis ini. Perempuan perempuan kudus tidaklah cantik kawan menurut saya. Mereka lebih kepada kesan manis dengan keserdehanaan yang menghiasi wajahnya. Kulit perempuan kota ini tidaklah putih, tapi kuning. Kuning langsat terang mulus yang memanjakan tiap laki laki yang memandangnya. Intinya, pesona kecantikan dan kemanisan wanita kudus tidak pernah saya temui sebelumnya. Manisnya mereka merupakan sebuah anugrah dari tuhan dan benar benar natural. Kecantikan nyata seorang wanita pribumi yang selama ini banyak dilegendakan. Untuk menceritakan bagaimana luar biasanya perempuan perempuan di kota ini, perlu adanya bab khusus dan perbendaharaan kata kata selain eksotis, menakjubkan, luar biasa, dll. Datang dan lihat sendiri !, maka kau akan tahu seperti apa perempuan kudus itu.
Lalu pertanyaannya, mengapa saya bisa mengetahui semua hal ini?, jawabannya simple. Saya adalah seorang laki laki tulen yang sudah menapaki dewasa. Tidak lalu mentang mentang saya  seorang santri tahfidz al qur’an, saya tidak pernah menoleh sedikitpun kepada perempuan yang lewat didepan dan disamping saya. Memang itu sebuah pantangan dan larangan bagi seorang santri tahfidz seperti saya. Akan tetapi, fitrah sebagai laki laki normal lebih berperan dan mengajak untuk menikmati keindahan perempuan kudus walaupun hanya sedikit dan sekejap mata daripada mengalihkan pandangan atau memejamkan mata demi mengindahkan pantangan dan larangan yang selama ini mati matian saya pegang.
Itulah sedikit cerita tentang manisnya kota kudus. Manis yang menyebabkan penghuninya terkena penyakit diabetes, dan manis yang menyebabkan para laki lakinya terpikat serta terpesona. Hehehehe….
Sungguh eksotis kota ini…..

KUDUS, 25062011
Ponpes Mazro’atul Ulum, DAMARAN.

Selasa, 17 April 2012

KUDUS DALAM CATATAN -1 [kota perawan tua nan bersahaja]


ilustrasi
Sebuah kisah menarik yang saya dapatkan ketika masih mengecap manis menghafal di tanah kudus. Sebuah kisah yang mungkin banyak orang belum tahu, kecuali mereka mereka yang sudah tinggal disana atau pernah tinggal lama di kota kecil nan bersahaja itu. Terdapat beberapa versi cerita yang saya dengar tentang kisah atau lebih tepatnya disebut legenda ini. Berikut akan saya ceritakan versi terkuat dan terjumhur dari beberapa versi yang ada. 
200 meter Disebelah timur menara kudus yang sekarang, terdapat sebuah bangunan yang menyerupai menara kudus. Terbangun dari tumpukan bata merah yang tertata rapi, tanpa semen sebagai perekatnya, mirip sebagaimana menara kudus yang telah ada sekarang. Tapi, menara tua tersebut belum selesai hingga tuntas. Sekitar 1/3 bangunan yang sudah berdiri. Sekarang menara yang tak jadi tersebut menjadi bangunan kuno yang dilindungi oleh pemerintah. Tentu ada alasan kuat atau sebuah kisah yang melatarbelakangi dijadikannya menara tersebut sebagai sebuah situs sejarah yang dilindungi.
Konon suatu hari, kanjeng sunan ja’far shodiq (sunan kudus) ingin mendirikan semacam bangunan yang berfungsi sebagai alat pemberitahu kepada masyarakat akan masuknya waktu shalat. Masa itu, kebudayaan hindu budha sangat melekat erat dalam persendian kehidupan masyarakat kudus, karena memang sebelum islam datang, kebanyakan masyarakat kudus memeluk agama hindu. Sampai datangnya kanjeng sunan kudus beserta ulama ulama yang lainnya mendakwahkan agama islam disana. Untuk lebih memasyarakatkan agama islam, sunan kudus membuat aturan aturan yang mana aturan tersebut sesuai dengan ajaran agama islam dan tidak bertentangan dengan budaya hindu yang masih kental di kalangan masyarakat. Seperti, menganjurkan untuk tidak mengkonsumsi daging sapi, Karena agama hindu beserta pemeluknya mengagungkan sapi sebagai sebuah hewan pemberian dewa yang patut dipuja. Adat seperti itu bahkan masih ada sampai saat saya berada disana.
Kembali kepada keinginan sunan kudus untuk mendirikan sebuah menara dengan bentuk mirip seperti bangunan bangunan tempat peribadatan umat hindu. Maka, diperintahkanlah para jin yang dulu sudah beliau kalahkan ketika membabat daerah sekitar masjid menara untuk membangun sebuah menara tinggi menjulang.
Ada suatu perjanjian yang dibuat kala sunan kudus berhasil mengalahkan para jin penghuni daerah itu. Ketika sunan kudus hendak membunuh semua jin yang melawannya, sang pimpinan pun bertekuk lutut sembari memohon ampunan sunan kudus agar mereka tetap dibiarkan hidup. Sunan kudus pun mengabulkan permohonan bangsa jin untuk dibiarkan hidup, tetapi dengan dua syarat. Pertama, jangan pernah lagi mengganggu masyarakat atau orang yang tinggal di kota kudus, Utamanya disekitar daerah yang waktu itu didiami sunan kudus (sekarang tempat itu berupa areal makam dan masjid menara kudus). Syarat yang kedua adalah mengerjakan apa yang diperintahkan sunan kudus kepada bangsa jin. Khusus untuk syarat yang kedua, apabila mereka berhasil melakukan sesuatu seperti apa yang sunan kudus perintahkan, maka mereka akan dibebaskan dan boleh pergi dari kota kudus kemanapun mereka mau. Tetapi andaikan mereka gagal menunaikan apa yang diperintahkan oleh sunan kudus maka mereka akan dimusnahkan dari muka bumi ini.
Syarat yang keduapun tiba setelah mereka (bangsa jin) menunggu beberapa lama. Sunan kudus memerintahkan supaya mereka membangun sebuah menara tinggi seperti bangunan bangunan peribadatan umat hindu saat itu dalam satu satu hari satu malam. Bau kebebasan pun tercium oleh mereka karena tugas yang sangat amat mudah ini. Mereka yakin sebelum subuh tiba, sebuah menara kudus akan berdiri dengan megah.
Subuh tiba, para jin pun melaksanakan tugas mereka dengan cepat dan tepat. Bata bata mereka tumpuk sedemikian rupa sehingga akan terbentuk bangunan yang menyerupai bangunan umat hindu seperti yang sunan kudus perintahkan. Tiba saat dhuhur, bagian bawah menara yang meliputi pondasi dan bangunan penyangga telah mereka selesaikan dengan rapi dan terlihat kokoh. Semakin yakinlah bangsa jin bahwa mereka mampu menyelesaikan menara ini dan akan kembali merengkuh kebebasan yang telah lama hilang. Bagian tengan bangunan mereka kerjakan dengan cermat dan rapi sampai tiba waktu maghrib.  Isya menyusul datang, 25 tingkat tumpukan lagi, bagian tengah bangunan akan tersusun sempurna.
Disisi yang lain, di sebuah rumah sederhana nan lapang, terdapat seorang wanita yang tengah menyapu halaman rumahnya yang disesaki dengan rimbunan daun kering akibat angin kencang tadi sore. Suara berisik sapuannya sampai ditelinga ayam ayamnya yang meringkuk dingin di dalam kandang. Biasanya orang menyapu rumahnya dikala pagi dan ayam pun mengira demikian. Karena dikira sudah pagi, para ayam pun berkokok layaknya mereka menyambut pagi di hari hari yang lain. Dengan serentak semua ayam didaerah itu berkokok keras. Mendengar kokokan ayam, para jin pun kaget dan langsung tertunduk lesu meninggalkan pekerjaan membangun menara yang hampir selesai itu. Mereka tidak tau kalau waktu masih isya (maklum, jin kan gak pake jam tangan..!!! hehehe). Sedih dan putus asa sembari pasrah akan nasib yang menimpa mereka membuat mereka terhenti dari pekerjaan mereka membangun menara, hingga subuh yang sesungguhnya tiba. Mendengar kokok ayam untuk kedua kalinya, para jin heran dan bertanya tanya. akhirnya mereka mengetahui bahwasanya kokok ayam semalam dikarenakan seorang perempuan yang menyapu halamannya di malam hari. Marah akan hal itu, para jin meminta pada tuhan agar perempuan kudus tetap perawan hingga tua. Doa para jin pun mengalun seiring enyahnya mereka dari dunia.
Benar tidaknya cerita diatas, yang jelas kenyataan yang terjadi di kota ini sedemikian adanya. Kecantikan perempuan kudus sudah tidak perlu diragukan dan dipertanyakan lagi, akan tetapi kebanyakan dari mereka yang masih perawan sampai mereka menginjak usia senja.
walhasil, kejadian seperti itu menurut ajaran yang kita pelajari yaitu ajaran agama islam, tidak memilki sangkut paut sama sekali. Semuanya mungkin suatu kebetulan yang disambungkan dengan cerita legenda oleh para pendahulu di kudus ini.
Wallahu a’lam bis shawab………

KUDUS, 05112011

Senin, 16 April 2012

membaca dan menulis: sebuah langkah nyata memberdayakan akal fikiran


azyumardi azra
Bagi saya, buku merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan saya, sejak kecil—ketika mulai bisa membaca—sampai sekarang ini dan seterusnya. Dan tidak ragu buku merupakan salah satu sumber terpenting dalam pembentukan pandangan dunia (world-view) cara berpikir, karakter dan tingkah laku sehari-hari.

 Buku bagi saya teman setia, yang selalu mendampingi atau ikut bersama saya; di rumah, dan diperjalanan. Dan ketika di perjalanan baik di dalam maupun di luar negeri, mencari dan membeli buku selalu menjadi agenda penting, yang selalu diusahakan untuk memenuhinya. Waktu kembali ke rumah, koper dan tas hampir selalu dipenuhi buku-buku dan bisa dipastikan, koleksi buku saya selalu bertambah.

Saya tidak ingin mengibaratkan—apalagi menyamakan buku sebagai “istri kedua.” Tentu saja cinta kepada istri berbeda dengan cinta kepada buku, tetapi cinta kedua-duanya sama-sama saya cintai pada level yang berbeda. Cinta kepada sang istri tidak bisa diganti cinta kepada buku; dan sebaliknya cinta kepada buku tidak bisa diganti cinta kepada istri. Namun saya takut kehilangan salah satunya, apalagi kedua-duanya.

Yang jelas saya sangat cinta kepada buku; selalu ingin buku koleksi saya tetap utuh, tidak ada satu pun yang hilang atau rusak dimakan rayap, terkena air dan sebagainya. Saya selalu wanti-wanti kepada kawan-kawan yang meminjam buku saya agar buku yang mereka pinjam tidak hilang. Bagi saya lebih baik kehilangan uang dari pada buku; uang bisa dicari, tetapi buku belum tentu dapat gantinya, apalagi yang diterbitkan bertahun-tahun silam. Buku terbitan Indonesia umumnya hanya sampai cetakan pertama, jarang ada cetakan kedua, dan seterusnya. Tidak banyak buku cetakan dan terbitan Indonesia yang tersimpan di perpustakaan; meski ada kewajiban penerbit untuk mengirim dan menyimpan buku-buku yang mereka terbitkan di Perpustakaan Nasional, tidak banyak penerbit yang melakukan kewajiban ini.

Sebaliknya, jika buku terbitan luar negeri hilang mencari gantinya juga tidak mudah. Kemungkinan besar, kopinya ada ditoko-toko buku “used books” atau “antique books” atau di perpustakaan. Tetapi, tentu saja selain harga buku itu mahal, juga tidak setiap waktu kita bisa pergi ke luar negeri. Kita atau setidaknya saya harus menunggu undangan untuk mengikuti acara tertentu di luar negeri. Kalaupun ada kesempatan ke luar negeri tidak menjamin bahwa kita dapat mencari ganti buku yang hilang itu, karena tidak ada atau sempitnya waktu untuk pergi ke toko buku dengan koleksi khusus, atau ke perpustakaan mungkin memiliki kopi buku yang kita cari.

Mengoleksi Buku
Koleksi buku di perpustakaan pribadi saya sekarang ini berkisar antara 12.000 sampai 15.000 judul. Saya sulit mengetahui jumlah pastinya, karena tidak ada catatan judul-judul buku itu, apa lagi katalog. Sekitar 1995 lalu sebuah badan riset Islam yang bercita-cita membangun library on line koleksi-koleksi pribadi pernah mencoba mencatat judul-judul buku itu hanya tahan beberapa hari. Saya tidak tahu apakah karena selain capek, ia atau lembaganya punya alasan tambahan untuk meninggalkan proyek library on line tersebut.

Jadi sampai sekarang selain tidak tahu pasti jumlah buku yang saya miliki, juga tidak ada katalognya. Buku-buku ini sebagian besar disimpan di rumah pribadi saya, yang cukup besar dan bertingkat dua, dan lorong pintu samping. Sekitar seperempat koleksi saya terletak di bagian ini; dan setengahnya adalah buku-buku yang paling sering digunakan untuk menulis makalah, artikel, kolom, dan sebagainya.

Sekitar dua perempat koleksi buku saya terdapat di lantai dua, memenuhi ruang tengah dan kamar besar lainnya. Buku-buku di ruang tengah umumnya buku-buku yang juga paling sering digunakan untuk rujukan sehari-hari, sedangkan di kamar besar sebagian besar adalah buku-buku klasik dalam berbagai bidang; dan juga kumpulan makalah dan sumber lain yang tidak diterbitkan.

Seperempat koleksi saya lainnya terletak di kantor rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sebagian besar koleksi ini adalah buku-buku kontemporer, yang saya gunakan untuk menulis di kantor, ketika tidak ada rapat dan tidak ada tamu. Saya memang biasa menulis di sela-sela berbagai kegiatan; interupsi-interupsi karena kegiatan-kegiatan tersebut; tidak membuat saya kehilangan jejak dalam memulai, melanjutkan, dan menyelesaikan sebuah tulisan.

Tidak adanya daftar buku, apalagi katalog, dan terpencar-pencarnya seluruh koleksi itu di tiga tempat, membuat saya sering sangat sulit menemukan buku-buku tertentu yang saya butuhkan pada waktu tertentu. Ingatan saja, tidak cukup membantu saya dalam topik atau subyek tertentu yang ada dalam koleksi saya; dan lebih jauh lagi; di mana persisnya lokasi buku-buku itu. Kalau ada di rumah, di lantai berapa, dan di rak bagian mana. Sering sekali saya akhirnya gagal menemukan buku-buku yang saya perlukan itu, padahal saya yakin punya buku tersebut. Tetapi di mana buku itu menyelip?

Karena itulah dalam beberapa tahun terakhir ini saya berpikir untuk membangun gedung perpustakaan khusus yang bisa menampung seluruh koleksi ini. Saya membayangkan, gedung perpustakaan itu terletak di lingkungan kampus UIN, tetapi bukan milik UIN karena itu bisa berarti saya menyalahgunakan wewenang dengan “memanfaatkan” fasilitas UIN. Gedung perpustakaan yang saya bayangkan itu, idealnya terletak dalam kompleks lembaga penelitian yang independen dan tidak punya hubungan struktural dan formal dengan UIN; tetapi perpustakaan dan lembaga penelitian itu bisa dimanfaatkan kalangan UIN dan pihak-pihak lain yang ingin melakukan kajian-kajian, dan penelitian.

Di lihat dari disiplin ilmu, sekitar sepertiga koleksi ini berkenaan dengan sejarah mulai dari periwayatan sejarah, teori-teori dan filsafat sejarah sampai kepada historiografi baik berkaitan dengan sejarah Islam maupun sejarah universal, sepertiga berikutnya berkisar tentang politik, dan sepertiga sisanya termasuk ke dalam bidang antropologi, sosiologi, hukum, pendidikan, dan lain-lain.

Dilihat dari segi bahasa, hampir dua pertiga koleksi saya adalah buku-buku berbahasa Inggris, kemudian sisanya berbahasa Indonesia dan bahasa Arab. Buku-buku berbahasa Arab umumnya menyangkut sejarah dan pendidikan; sedikit sekali tentang aspek doktrinal Islam, seperti tafsir, syariat, fikih, ushuluddin, dan lain-lain. Hal ini mudah dipahami karena di bidang saya adalah sejarah dengan penekanan khusus pada sejarah sosial-intelektual masyarakat Muslim, bukan pada bidang teologi dan doktrinal Islam.

Terakhir dilihat dari sudut kawasan (area studies), sebagian besar koleksi berkenaan dengan wilayah Timur Tengah dan Asia Tenggara. Hal ini juga tidak mengherankan karena bidang pokok saya adaalh kajian perbandingan (comparative study) antara kawasan Muslim Timur Tengah dengan Asia Tenggara. Dan ini juga berkaitan dengan training akademis yang saya tempuh. Pertama Master of Arts (MA) dalam kajian Islam Timur Tengah dari Department of Middle Eastern Languages and Cultural, Columbia University; dan kedua, MA, Master of Philoshophy (Mphil) dan Psilosophical Doctorale (PhD) dalam bidang sejarah (sosial intelektual) Islam Asia Tenggara dari Department of History, Columbia University.

Pengembangan koleksi seperti itu bermula sejak saya kuliah tingkat sarjana Muda (BA) dan doktoral (Drs) pada Fakultas Tarbiyah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarid Hidayatullah Jakarta (1976-1982). Kegiatan saya di samping kuliah sebagai aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Senat Mahasiswa dan wartawan majalah Panji Masyarakat (1979-1985), mendorong saya untuk mulai membeli dan mengoleksi buku-buku. “Intelectual Community “ Ciputat yang sedang bertumbuh pesat ikut mendorong saya membaca lebih banyak buku. Begitu punya kegiatan jurnalistik yang saya pegangi sebagai transisi intelektualisme, dan keterlibatan saya dalam diskusi mingguan yang dipimpin Mas Dawam Rahardjo di LP3ES, juga semakin membuat saya terdorong memiliki buku-buku. Berkat gaji saya di Panji Masyarakat dan honor dari artikel-artikel saya yang dimuat Harian Merdeka, Kompas, saya dapat meningkmati kemewahan yang sulit diperoleh anak muda lainnya; yaitu punya uang untuk beli buku-buku yang tentu saja jauh dari jangkauan kebanyakan bukan hanya anak muda/mahasiswa, bahkan bagi sebagian rakyat Indonesia.

Penambahan koleksi buku saya secara signifikan berlangsung antara 1986-1993, ketika saya belajar di Columbia University. Semua orang yang pernah belajar di luar negeri pasti mengalami dan mafhum, bahkan tidak mungkin membeli banyak buku dari beasiswa yang jumlahnya pas-pasan. Tetapi, saya beruntung kuliah di Columbia University yang terletak di Upper Westside belantara beton Manhattan, yang dalam pengalaman saya merupakan ”surga dunia” bagi para pencinta buku (book lovers).

Pertama, New York City punya banyak toko buku yang menjual “used books” atau “reviewer copies” seperti Strand Bookstores, Barnes & Noble dan toko-toko buku lainnya, yang menjual buku-buku baru dan lama dengan harga sangat murah setengah dolar sampai sekitar sepuluh dolar. Kedua, banyaknya pedangang kaki lima sepanjang Broadway yang menjual buku-buku dengan harga murah. Yang diperlukan hanya kerajinan menyusuri Broadway—bukan untuk menonton Broadway Show yang merupakan salah satu “trademark” New York City—tetapi untuk melihat dan membeli buku-buku yang digelar para pedagang di trotoar atau emperan toko. Ketiga, adanya kedai atau tempatnya ruang khusus Butler Library Columbia University dan/atau Barnard College yang menjual ”extra copies” (kopi lebih dan buku-buku lain yang dipandang pustakawan tidak perlu lagi disimpan di perpustakaan karena hanya membuat sempit). Buku-buku di sini juga dijual dengan harga sangat murah. Saya pernah membeli buku kumpulan tulisan C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften ( 6 Jilid), hanya dengan harga enam dolar.

Demikian, sejak datang ke New York City pada 1996, saya mulai mengoleksi buku; berburu buku ke tempat-tempat yang saya sebutkan di atas. Hasilnya, kamar sewaan yang kecil di lingkungan kampus penuh sesak dengan buku; dan secara reguler saya mengirimkan buku-buku tersebut dengan perusahaan kargo, yang langsung mengantarkan ke rumah saya di Pisangan, Cirendeu. Akhirnya setelah selesai PhD pada 1992, saya mengirim dua truk buku ke rumah.

Koleksi saya juga mencakup, buku-buku dan naskah berbahasa Arab yang saya perolah ketika saya melakukan penelitian untuk disertasi di Kairo dan Mekkah-Madinah selama enam bulan pada 1990-1991. Melanjutkan penelitian ke Belanda koleksi saya bertambah dengan fotokopi dan naskah klasik. Di Belanda dan juga di Inggris—ketika saya melakukan post-doctoral fellowship di Oxpord University pada 1994-1995—tentu saja juga terdapat toko buku used books dan antique books, tetapi harganya sangat mahal, karena buku-buku itu mereka kategorikan sebagai “rare books “, buku-buku langka yang sudah tidak dicetak atau diterbitkan lagi.

Koleksi buku saya terus bertambah setelah kembali secara permanen ke tanah air dan sepenuhnya mengabdi di kampus, mengelola penerbitan jurnal Studia Islamika (tiga bahasa, Inggris, Arab, dan Indonesia), sejak akhir 1993 dan Lembaga Penelitian, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM). Berkat undangan-undangan untuk menyajikan makalah di berbagai konprensi seminar, workshops, di luar negeri yang semakin sering saya terima, maka saya dapat terus meng-update koleksi buku saya. Dengan demikian, saya senantiasa dapat memiliki buku-buku baru.

Dengan penambahan koleksi secara terus-menerus bisa dibayangkan hampir seluruh ruangan di rumah saya—kecuali ruang tengah di lantai satu dan kamar-kamar tidur—dipenuhi lemari-lemari buku. Saya beruntung punya istri yang tidak pernah komplain bahwa rumah kami dipenuhi buku-buku, ia juga tidak kompalin karena saya terus-menerus menambah koleksi buku saya, khususnya ketika pulang dari luar negeri. Saya kira tanpa pengertian sang istri, maka sulit bagi saya untuk mengembangkan koleksi buku saya.

Membaca Buku
Saya mulai bisa membaca huruf ketika saya belum masuk SD di kampung saya di Lubuk Alung, Sumatra Barat. Saya belajar membaca nama-nama bus antar-kota yang melintas dan berhenti di depan rumah saya di pinggir jalan raya propinsi yang menghubungkan kota Padang dengan Padang Panjang dan Bukittinggi. Setelah bisa mengeja huruf dan membaca kalimat-kalimat lengkap, saya mulai membaca potongan-potongan surat kabar bekas yang digunakan sebagai pembungkus. Hasilnya ketika saya masih SD pada 1963 saya sudah sangat lancar membaca buku dan koran.

Keluarga saya adalah keluarga sederhana, yang sama sekali tidak kaya. Abak (ayah) saya mula-mula bekerja sebagai tukang kayu dan tukang batu; kemudian sejak 1970-an menjadi pedagang kopra dan cengkeh secara kecil-kecilan. Amak (ibu) saya adalah guru agama, yang diangkat menjadi guru agama melalui UGA (Ujian Guru Agama) yang diperkenalkan Menteri Agama Muhammad Dahlan, pada akhir 1960-an. Amak adalah tamatan al-Manar, sebuah sekolah modernis—di negeri asalnya Kampung Dalam Pariaman. Amak adalah anak seorang ulama terkemuka di Kampung Dalam.

Meski keluarga kami hanyalah keluarga sederhana, tetapi Abak dan Amak sangat sadar tentang pentingnya ilmu. Walau keadaan ekonomi keluarga kami kadang-kadang sangat sulit, pendidikan menjadi prioritas pokok. Saya bersama lima kakak dan adik kandung semuanya pada akhirnya menjadi sarjana. Abak dan Amak saya juga menyekolahkan dua kakak saya seayah. Kemudian, masih ada dua kakak laki-laki sepupu yang yatim piatu sejak kecil yang berkat Abak dan Amak berhasil masing-masing berhasil memperoleh gelar sarjana muda ekonomi dan insinyur pertanian.

Sebagai guru, Amak memiliki sejumlah buku yang jumlahnya tidak banyak yang terdiri dari buku-buku agama yang digunakannya untuk mengajar dan beberapa buku lain, khususnya karya sastra Pujangga Baru di antaranya yang saya baca termasuk, Salah Asuhan, (karya A. Moeis), Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (Hamka dan lain-lain). Pada waktu SD ini saya juga membaca banyak buku cerita klasik seperti Sekali Tepuk Tujuh Nyawa, Musang Berjanggut, atau karya-karya penulis-penulis Utay Tatang Sontani Taguan Harjo dan lain-lain.

Setelah tamat SD pada 1969 dan melanjutkan sekolah ke PGAN 6 Tahun Padang, hobi membaca saya semakin meningkat. Membaca koran Haluan, Singgalang dan Angkatan Bersenjata sudah menjadi kebutuhan dan kebiasaan sehari-hari. Dengan membaca koran-koran ini pengetahuan umum saya terus bertambah; minat pada tema-tema sosial kemasyarakatan dan politik semakin menguat; yang pada gilirannya mempengaruhi secara signifikan kecenderungan intelektual saya dalam perjalanan hidup selanjutnya.

Minat baca saya pada karya-karya sastra juga berkembang luas selama 6 tahun belajar di Padang. Saya membaca banyak novel, kumpulan cerpen, puisi, dan tidak kurang pentingnya, cergam (cerita bergambar, dan cerita-cerita silat khususnya karya Kho Ping Ho. Bagi saya karya-karya Kho Ping Ho memiliki daya tarik tersendiri. Umumnya karya penulis ini adalah cerita tentang dunia kangow, dunia persilatan, yang penuh pergumulan dan pertarungan antara kekuatan-kekuatan baik melawan kekuatan-kekuatan jahat. Di tengah pertarungan kedua kekuatan yang bertarung ini terselip kisah-kisah percintaan yang romantis.

Bagi saya Kho Ping Ho lebih dari penulis-penulis lain dalam geure sastranya. Karya-karyanya yang satu judul bisa terdiri dari 20-30-an jilid mengandung banyak nilai etis, filosofis dan kemanusiaan universal. Misalnya tidak mudah menegakkan kebenaran karena banyak halangan dan tantangan yang dihadapi para pejuang dan pembela kebenaran. Kekuatan fisik dan keahlian dalam silat saja tidak cukup untuk menegakkan kebenaran menghancurkan kejahatan; perlu keyakinan, perlu semangat yang tidak kunjung padam, dan perlu kesabaran. Dan banyak lagi pesan-pesan moral dan etis yang disajikan Kho Ping Ho secara cukup tipikal, tanpa harus terkesan menggurui apalagi mendikte para pembacanya.

Selama di kota Padang saya membaca karya-karya Kho Ping Hood an novel-novel di kedai buku sewaan yang terletak di dalam lingkungan Bioskop Raya. Para pembaca bisa menyewa dan membaca di kedai itu atau membawa buku-buku sewaan itu ke rumah dengan meninggalkan sejumlah uang sebagai jaminan. Saya melakukan keduanya yaitu membaca selama berjam-jam di kedai buku sewaan itu atau sekali-sekali membawanya pulang.

Hobi saya membaca karya-karya sastra—novel, puisi, dan cerita-cerita Kho Ping Hoo—mendorong berkembangnya bakat sastra saya. Selanjutnya ketika melanjutkan pendidikan di Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta (1976-1982 ), saya menulis sejumlah sajak baik dalam bahasa Indonesia maupun bahas Inggris. Sajak-sajak berbahasa Indonesia saya belum pernah diterbitkan, masih tersimpan dalam buku-buku tulis dan catatan; sedangkan beberapa sajak berbahasa Inggris dimuat dalam koran berbahasa Inggris, The Indonesian Times sepanjang akhir 1980-an. Selain itu, saya juga menulis cerpen—khususnya cerpen anak-anak—yang beberapa di antaranya dimuat dalam lembaran anak dan remaja majalah Panji Masyarakat.

Bagi saya, karya-karya sastra memiliki makna dan fungsi tersendiri. Saya merasa, membaca karya-karya sastra membuat menusia lebih human, lebih manusiawi, lebih arif memahami masalah-masalah dan sekaligus misteri-misteri anak manusia. Pandangan saya ini semakin menguat ketika meneliti dan membaca sastra-sastra sufistik untuk kepentingan studi lanjutan saya di Columbia University. Sastra sufistik mencerminkan pengembaraan intelektual dan religius dalam pencaharian panjang yang tak pernah berakhir di kalangan anak manusia untuk mencapai “kesempurnaan ruhani”.

Akan tetapi, harus saya “sesali” minat dan bakat sastra tidak berkembang lebih jauh. Sejak tahun kedua saya di Ciputat (1977), di samping kuliah, saya mulai terlibat dalam kegiatan-kegiatan kemahasiswaan, pertama kali di Himpunan Islam (HMI), sampai menjadi Ketua Umum HMI Cabang Ciputat (1982-1983) dan Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Tarbiyah (1979-1981). Keterlibatan saya dalam kancah intelektualisme dan gerakan mahasiswa membuat saya harus lebih banyak membaca literatur, khususnya tentang isu-isu modernisasi, modernitas, sekularisme, sekularisasi dalam hubungannya dengan pembangunan yang tengah menemukan momentumnya di bawah kendali rezim Orde Baru. Secara khusus, saya memberi banyak perhatian pada literatur tentang implikasi dan konsekuensi semua perkembangan ini terhadap kehidupan dan masa depan agama.

Seperti saya singgung sedikit di depan, pada akhir 1970-an dan awal 1980-an di lingkungan Kampus IAIN Ciputat tengah berlangsung dinamika intelektual yang berkecambah menjadi intellectual community. Sedikit ada tiga faktor yang mendorong perkembangan ini. Pertama, faktor Profesor Harun Nasution sebagai Rektor IAIN Jakarta yang terus-menerus mengembangkan teologi “rasional” secara institusional melalui berbagai matakuliah di IAIN. Kedua, faktor Nurcholish Madjid yang menjadi figur ideal anak-anak HMI Ciputat dengan gagasan-gagasan pembaharuannya. Dan ketiga, faktor M. Dawam Rahardjo, dengan gagasan kritisnya terhadap pembangunan ekonomi dan sosial kemasyarakatan pada umumnya.
Bersama-sama kawan senior dan seangkatan seperti Fachry Ali, Komaruddin Hidayat, Kurniawan Zulkanaen, Hari Zamharir, Hadimulyo, Iqbal Abdurrauf Saimima (alm), Pipip Ahmad Rifai, dan lain-lain, saya terlibat dalam lingkaran ketiga tokoh yang saya sebutkan di atas. Terutama dari lingkaran pertama dan ketiga, kami terlibat dalam diskusi dan pembahasan intensif tentang berbagai subyek, mulai dari teologi, pembaharuan pemikiran dan gerakan Islam, sampai kepada teori-teori tentang negara developmentalism, hubungan dan dinamika centerperiphery, dan peace research. Dari diskusi-diskusi dan tugas-tugas membaca buku—terutama ditugaskan Mas Dawam—lahir makalah-makalah, artikel-artkel yang dipublikasikan dalam media nasional. Dari sini pula muncul buku-buku yang ditulis secara bersama-sama dalam bentuk antalogi seperti seperti Insan Kamil: Konsepsi Islam tentang Manusia (Grafitis Pers, 1982) dan Pesantren: Pembangunan dari Bawah (Perhipunan Perkembangan Pesantren dan Masyarakat, 1983), yang keduanya dieditori Mas Dawam.

Saya sendiri membentuk kelompok kecil calon penulis—baik mahasiswa maupun mahasiswi—yang secara intensif mendapat tugas membaca buku-buku tertentu. Masing-masing mereka wajib menulis artikel yang diproyeksikan untuk dimuat di koran-koran nasional. Tetapi juga ada yang menulis cerpen. Semua artikel ini kemudian disetorkan kepada saya, untuk saya periksa baik substansi maupun bahasanya. Setelah saya beri catatan perbaikan, artikel-artikel itu dikembalikan kepada penulisnya masing-masing untuk disempurnakan, dan kemudian dikembalikan lagi kepada saya untuk penilaian dan periksaan ulang. Setelah saya pandang cukup memadai, barulah kemudian dikirimkan ke koran-koran atau majalah. Setahu saya, sebagian besar karya mereka tersebut dimuat di berbagai media cetak.

Saya kemudian tidak bisa melanjutkan usaha di atas. Karena setelah sempat sebentar bekerja di Lembaga Riset dan Kebudayaan Nasional (LRKN) LIPI di bawah pimpinan almarhum Dr. Alfian antara 1983-1985, dan lalu kembali di almamater sebagai dosen tetap sejak akhir 1985, saya selanjutnya pada pertengahan tahun 1986 menuju Carbondale, Illinois untuk pelatihan bahasa Inggris, dan pada awal musim gugur ke kampus Columbia University di Manhattan untuk memulai program MA dalam bidang kajian Timur Tengah sampai kemudian tamat dalam bidang sejarah (1992).

Meski masa awal saya di Columbia University adalah masa sulit, karena beratnya standar akademis salah satu university lvy League ini, saya kemudian sangat beruntung secara akademis. Masa di Columbia University benar-benar merupakan masa belajar secara serius, mengikuti kuliah, membaca dan meneliti literatur yang relevan dengan bidang saya. Saya mengakui tidak benar-benar belajar sebelumnya, ketika di IAIN, karena terlibat dalam banyak kegiatan di luar belajar: aktivitas organisasi ekstra dan intra instituter/universiter, dan menjadi wartawan/redaksi majalah Panji Masyarakat sejak 1979 sampai saya berangkat ke AS.

Training dan independent reading yang saya lakukan selama di kampus Columbia University sangat mempengaruhi kecenderungan akademis-intelektual saya. Ini bisa dilihat dari tulisan-tulisan saya sejak selesai kuliah sampai sekarang; historis, berpijak pada data, kemudian dilandasi atau diperkaya kerangka (framework) dan teori-teori ilmu sosial dan humaniora tertentu. Hampir tidak ada tulisan saya bersifat spekulatif dan reflektif semata-mata.


Bagi saya, membaca dan menulis tidak bisa dipisahkan; membaca, mengendapkan semua yang dibaca, merefleksikan, akhirnya menuliskannya dengan mempertimbangkan konteks dan relevansinya dengan lingkungan sosial yang terus berubah. Membaca dan menulis memerlukan etos, komitmen, dan konsistensi. Terdapat cukup banyak orang di kalangan kita yang rajin membaca, tetapi tidak punya cukup etos dan keterampilan menulis. Ada juga mempunyai keterampilan menulis, tetapi tidak atau kurang memilik etos, komitmen, dan konsistensi baik dalam membaca maupun menulis.

Sejak kuliah di Columbia University, saya sesungguhnya hanya mempunyai sedikit waktu untuk menulis. Sebagian besar waktu saya habis untuk kuliah dan membaca. Selain itu saya juga bekerja sampingan untuk menambah beasiswa yang pas-pasan. Saya pernah bekerja sebagai paiter pada kontraktor housing renovation di Mathattan dan New Jersey; juga sebagai waiter pada social club di Connecticut; dan pada Serial Acquisition, Butter Library, Columbia University. Tetapi di tengah tugas-tugas pokok dan kesibukan lain yang mendesak, selama kuliah di Columbia University selain menghasilkan dua tesis MA dan satu disertasi, saya juga mengedit dan menerjemahkan artikel-artikel yang terkumpul dalam antalogi Perspektif Islam di Asia Tenggara (Yayasa Obor Indonesia, 1988), dan banyak artikel yang di muat harian Kompas, Media Indonesia, majalah Panji Masyarakat, dan lain-lain.

Saya memiliki relatif banyak waktu untuk membaca, melakukan penelitian dan menulis artikel dan makalah-makalah substantif setelah pulang dari New York, sejak 1993 sampai 1997. Dalam posisi sebagai Editor-in-Chiep jurnal Studia Islamika dan Wakil Direktur PPIM, saya belum terlalu sibuk dengan masalah-masalah administratif. Apalagi dalam periode ini, saya menjadi fellow di Oxford University selama setahun (1994-1995). Masa di Oxford ini saya manfaatkan betul untuk melanjutkan bacaan dan penelitian, dengan juga banyak memanfaatkan perpustakaan School of Oriental and African Studies (SOAS), University of London. Pada masa ini pula saya dapat menyelesaikan makalah atau tulisan panjang yang substantif.

Sejak masa di Oxford, saya sudah sering diundang dalam berbagai konferensi internasional. Meski resminya saya menjadi fellow selama setahun, tetapi saya cukup sering pergi ke mana-mana menyampaikan makalah. Karena itu beberapa kawan di Oxford menjuluki saya “Ibn Batutah” pengembara Muslim yang mengembara dari satu tempat ke tempat lain.

Pengembaraan saya dari satu konferensi atau seminar ke konferensi atau seminar lain di luar negeri khususnya, terus berlanjut setelah saya menjadi Rektor IAIN Jakarta (1998-2002) dan Rektor UIN (2003-sekarang). Tugas-tugas administratif sebagai rektor jelas menyita waktu, apalagi memikul amanat khusus untuk perubahan IAIN menjadi UIN, yang melakukan pembangunan kembali kampus IAIN/UIN Jakarta secara keseluruhan, yang alhamdullilah pada 2004 selesai.

Meski demikian, saya menulis cukup banyak makalah substantif, yang sebagiannya diolah kembali menjadi buku utuh, salah satunya Renaissans Islam di Asia Tenggara (Rosda, 1999) memperoleh penghargaan Buku Utama 1999 dalam bidang Humaniora dan Ilmu Sosial dari Yayasan Buku Utama. Dalam kesepakatan 30 tahun Mizan, saya bahkan dianugrahi award sebagai penulis paling produktif. Memang selama periode 1998-2003, saya meluncurkan 14 buku, belum termasuk artikel atau bab-bab tertentu yang diterbitkan di luar negeri. Tahun 2004 ini, edisi revisi disertai saya diluncurkan Asian Studies Association of Australia dan penerbit Allen, Edwin.
Secara retrospektif, apa yang saya hasilkan dari pembacaan dan penulisan masih jauh dari pada maksimal. Keterbatasan waktu membuat saya lebih sering membaca dam menulis di mana saja, di atas mobil, di hotel, di sela-sela seminar dan seterusnya. Saya hanya bisa berharap, kelak saya tetap bisa membaca dan menulis dan, dengan demikian, membagi ilmu perspektif dengan anak-anak bangsa.

Minggu, 15 April 2012

sekularisme (part 1)



Hal amat penting dari pembicaraan tentang negara adalah hubungan negara dengan agama. Wacana ini mendiskusikan bagaimana posisi agama dalam konteks negara modern (nation states). Sampai hari ini wacana hubungan negara dan agama masih terus berlangsung secara dinamis.
Hubungan agama dan negara dalam konteks dunia Islam masih menjadi perdebatan yang intensif di kalangan para pakar Muslim hingga kini. MenurutAzyumardi Azra, perdebatan itu telah berlangsung sejak hampir satu abad, dan masih berlangsung hingga dewasa ini. Menurut Azra, ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan negara dalam Islam disulut oleh hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai agama (din) dan negara (dawlah). Berbagai eksperimen telah dilakukan untuk menyelaraskan antara din dan dawlah dengan konsep dan kultur politik masyarakat muslim. Seperti halnya percobaan demokrasi di sejumlah negara di dunia, penyelarasan din dan dawlah dibanyak negeri-negeri Muslim telah berkembang secara beragam. Perkembangan wacana demokrasi di kalangan negara-negara Muslim dewasa ini semakin menambah maraknya perdebatan Islam dan negara.
Perdebatan Islam dan negara berangkat dari pandangan dominan Islam sebagai sebuah sistem kehidupan yang menyeluruh (syumuli), yang mengatur semua kehiduapan manusia, termasuk persoalan politik. Dari pandang Islam sebagai agama yang komprehensif ini pada dasarnya dalam Islam tidak terdapat konsep pemisahan antara agama (din) dan politik (dawlah). Argumentasi ini sering dikaitkan dengan posisi Nabi Muhammad di Madinah. Di kota hijrah ini, Nabi Muhammad berperan ganda, sebagai seorang pemimpin agama sekaligus sebagai kepala negara yang memimpin sebuah sistem peme­rintahan awal Islam yang, oleh kebanyakan pakar, dinilai sangat modern di masanya.
Posisi ganda Nabi Muhammad di kota Madinah disikapi beragam oleh kalangan ahli. Secara garis besar perbedaan pandangan ini bermuara pada apakah Islam identik dengan negara atau sebaliknya Islam tidak meninggalkan konsep yang tegas tentang bentuk negara, menginat sepeninggal Nabi Muhammad tak seorang pun dapat menggantikan peran ganda beliau, sebagai pemimpin dunia yang sekuler dan si penerima wahyu Allah sekaligus.
Menyikapi realitas perdebatan tersebut, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa posisi Nabi saat itu adalah sebagai Rasul yang bertugas menyampaikan ajaran (al Kitab) bukan sebagai penguasa. Menurut Ibnu Taimiyah, kalaupun ada pemerintahan, itu hanyalah sebuah alat untuk menyampaikan agama dan kekuasaan bukanlah agama itu sendiri. Dengan ungkapan lain, politik atau negara dalam Islam hanyalah sebagai alat bagi agama bukan eksistensi dari agama Islam. Pendapat Ibnu Taimiyah ini dipertegas dengan ayat al-Quran (57: 25) yang artinya: "Sesunggubnya Kami telab mengutus Rasul-rasul Kami yang disertai keterangan-keterangan, dan Kami turunkan bersama mereka Kitab dan timbangan, agarmanusia berlaku adil, dan Kami turunkan besi, padanya ada kekuatan yang bebat dan manfaat-manfaat bagi manusia, dan agar Allah mengetahuisiapayangmenolong-Nya dan (menolong) Rasul-Nya yang ghaib (daripadanya). ;
Dari ayat ini, Ibnu Taimiyah menyimpulkan bahwa agama yang benar wajib memiliki buku petunjuk dan "pedang" penolong. Hal ini dimaksudkan bahwa kekuasaan politik yang disimbolkan dengan pedang menjadi sesuatu yang mutlak bagi agama, tetapi kekuasaan itu bukanlah agama itu sendiri. Politik tidak lain sebatas alat untuk mencapai tujuan-tujuan luhur agama.
Mengelaborasi pandangan Ibn Taimiyah diatas Ahmad SyafTi Maarif menjelaskan bahwa istilah dawlah yang berarti negara tidak dijumpai dalam al Quran. Istilah dawlah memang ada dalam al-Quran pada surat al-Hasyr (QS. 59: 7) tetapi ia tidak bermakna negara. Istilah tersebut dipakai secara figuratif untuk melukiskan peredaran atau pergantian tangan dari kekayaan.
Pandangan sejenis pernah juga dikemukana oleh beberapa modernis Mesir antara lain Ali Abdul Raziq dan Mohammad Husein Haikal. Menurut Haikal, prinsip-prinsip dasar kehidupan kemasyarakatan yang diberikan oleh al-Quran dan al Sunnah tidak ada yang langsung berkaitan dengan ketatanegaraan. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa dalam Islam tidak terdapat suatu sistem pemerintahan yang baku. Ummat Islam bebas menganut sistem pemerintahan apapun asalkan sistem tersebut menjamin persa­maan antara para warga negaranya, baik hak maupun kewajiban dan persamaan di hadapan hukum, dan pelaksanaan urusan negara diselenggarakan atas dasar musyawarah (syura) dengan berpe­gang kepada tata nilai moral dan etika yang diajarkan Islam.
Hubungan Islam dan negara modern secara teoritis dapat diklasifikasikan kedalam tiga pandangan: integralistik, simbiotik dan sekularistik.

Paradigma Integralistik
         Paradigma integralistik hampir sama persis dengan pandangan negara teokrasi Islam. Paradigma ini menganut paham dan konsep agama dan negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu (inte­grated). Faham ini juga memberikan penegasan bahwa negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama. Konsep ini menegaskan kembali bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama (din) dan politik atau negara (dawlah).
      Dalam pergulatan Islam dan negara modern, pola hubungan integratifini kemudian melahirkan konsep tentang agama-negara, yang berarti bahwa kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan hukum dan prinsip keagamaan. Dari sinilah kemudian paradigma integralistik identik dengan paham Islam ad-Din wa dawlah, yang sumber hukum positifnya adalah hukum Islam (syari'ah Islam). Paradigma Integralistik ini antara lain dianut oleh negara kerajaan Saudi Arbia dan kelompok Islam Syi'ah di Iran. Kelompok pencinta Ali R.A ini menggunakan istilah imamah sebagai dimaksud dengan istilah dawlah yang banyak dirujuk kalangan ulama sunni. 

2.      Paradigma Simbiotik
Menurut paradigma simbiotik, hubungan agama dan negara berada pada posisi saling membutuhkan dan bersifat timbal balik (symbiosis mutualfta). Dalam konteks ini, agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Begitujuga sebaliknya, negara juga memerlukan agama, karena agama juga membantu negara dalam pembinaan moral, etika, dan spiritualitas warga negaranya Paradigma simbiotik nampaknya bersesuaian dengan pandangan Ibnu Taimiyah tentang negara sebagai alat agama diatas. Dalam kerangka ini Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban agama yang pal­ing besar, karena tanpa kekuasaan negara, maka agama tidak bisa berdiri tegak. Pendapat Ibnu Taimiyah tersebut meligitimasi bahwa antara agama dan negara merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi saling membutuhkan. Oleh karenanya, konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak saja berasal dari adanya kontrak sosial (social con­tract) tetapi bisa diwarnai oleh hukum agama (syari'at). Dengan kata lain, agama tidak mendominasi kehidupan bernegara, sebaliknya ia menjadi simber moral bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Model pemerintahan negara Mesir and Indonesia dapat digolongkan kepada kelompok paradigma ini. 

3.      Paradigma Sekularistik
Paradigma sekularistik beranggapan bahwa ada pemisahan yang jelas antara agama dan negara. Agama dan negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain malakukan intervensi. Negara adalah urusan publik, sementara agama merupakan wilayah pribadi masing-masing individu warga negara.
Berdasar pada pemahaman yang dikotomis ini, maka hukum positif yang berlaku adalah hukum yang berasal dari kesepakatan manusia melalui social contract yang tidak terkait sama sekali dengan hukum agama (syari'ab). Konsep sekularistik dapat ditelusuri pada pandangan Ali Abdul Raziq yang menyatakan bahwa dalam sejarah kenabian Rasulullah SAW pun tidak ditemukan keinginan Nabi Muhammad untuk men-dirikan negara Islam. Negara Turki sekuler kreasi Kemal Ataturk dapat digolongkan kedalam paradigma ini. 


Hubungan Agama dan Negara di Negara-negara Muslim

Realitas yang terjadi pada negara-negara Islam atau negara yang berpenduduk mayoritas muslim adalah kesulitan dalam upaya menciptakan titik temu antara Islam dan negara. Akibatnya, negara-negara tersebut mengalami perbedaan-perbedaan dalam menerjemahkan Islam sebagai agama dan sekaligus sebagai negara. Berikut adalah contoh beberapa negara Islam atau negara yang berpenduduk mayoritas muslim dalam menerjemahkan hubungan agama dan negara: 
1. Arab Saudi
Sejarah negeri Saudi bermula di sekitar 1750. Salah satu penguasa pemerintah sebuah wilayah di Arab Saudi, Muhamad Bin Saud, bergabung dengan seorang reformis Islam, Muhammad ibn Abd al Wahhab (pendiri gerakan Wahabi), untuk menciptakan satu entitas politik baru yang kemudian dikenal dengan negara Arab Saudi. Arab Saudi modern kemudian dipimpin oleh Raja Abdul Aziz Al-Saud.
Pengalaman Negara-negara muslim yang beraneka ragam dalam merumuskan hubungan agama dan Negara semakin mempertegas perlunya sikap arif dan bijak dalam merespon segala perbedaan termasuk dalam beragama dan bernegara.
Arab Saudi adalah negara monarchy atau berbentuk kerajaan bahkan dapat disebut dengan monarki absolut. Kerajaan Arab Saudi menjadikan Quran sebagai undang-undang dasar negara sementara sistem hukum dasarnya adalah syariah dengan ulama-lama sebagai hakim-hakim dan penasehat-penasehat hukum­nya. Partai politik adalah hal yang dilarang di negeri yang berideologi wahabiyah ini dan pemilihan umum adalah sesuatu yang tidak dikenal.
Kepala negara adalah seorang raja yang dipilih oleh dan dari 'keluarga besar Saudi. Dalam jabatannya sebagai seorang raja, diajuga merupakan kepala keluarga besar Saudi yang terdiri dari ribuan pangeran, yang paling dituakan di antara kepala-kepala suku atau qabilah yang terdapat dalam wilayah kerajaan, pemuka para ulama yang merupakan penasehat-penasehatnya dalam urusan agama dan yang terakhir sebagai pelayan dari dua tanah suci, Makkah dan Madinah. Raja, dengan dibantu oleh dewan menteri mengawasi lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Arab Saudi tidak memiliki dewan perwakilan rakyatyang dipilih oleh rakyat danjuga tidak memiliki partai politik. Majelis syura ygng anggotanya dipilih dan diangkat oleh raja  adalah yang berfungsi seperti dewan perwakilan rakyat dan partai politik sekaligus. Dengan demikian, Arab Saudi tidak memberlakukan partai politik dan tidak mengenal pemilihan umum sebagaimana di negara-negara lain.
Hubungan agama dan negara di Arab Saudi dapat dikatakan sebagai hubungan yang integralistik karena menjadikan Islam sebagai agama resmi negara sekaligus sebagai sistem politik, hukum, ekonomi, dan budaya. Negara ini meyakini Islam sebagai agama yang memiliki sistem politik, ekonomi, hukum sekaligus budaya yang menjadi kewajiban untuk menerpakannya. Sesungguhnya pemahaman keagamaan dengan model yang diterapkan oleh Arab Saudi ini tidak dapat dilepaskan dari paham wahabiyah di wilayah ini.

2. Pakistan
Pakistan yang didirikan pada tahun 1947 dan menetapkan konstitusi pertamanya pada tahun 1956 sebagai Republik Islam. Pemerintah militer dan sipil, partai-partai politik keagamaan dan sekuler, serta gerakan-gerakan dengan berbagai agenda dan kepentingan yang saling bersaing telah mengaitkan diri dengan Islam untuk memperkuat legitimasi mereka mendukung berebagai kepentingan politik, ekonomi, dan golongan. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh John L. Esposito dan John 0. Voll, dalam sejarahnya di Pakistan, Islam telah dimanfaatkan dengan berbagai cara untuk melegitimasi baik pemerintah maupun gerakan oposisi dan merasionalisasikan beragam pilihan, dari demokrasi hingga otoritarianisme politik dan agama. Sejak kelahirannya, negara ini selalu diwarnai oleh pergolakan politik dan perselisihan tentang islam yang memang selalu menjadi isu yang hangat dan aktual.
Menurut Undang-undang dasar negara ini pada pasal 198 tahun 1956 memerintahkan untuk pembentukan dua lembaga. Dewan penasihat tentang Ideologi Islam dan Lembaga Penelitian Islam, tugas lembaga yang pertama adalah; 1. Memberikan rekomendasai kepada pemerintah mengenai cara-cara mendorong umat Islam untuk dapat mengikuti pola hidup yang sesuai dengan ajaran Islam; 2. Memberikan nasihat kepada pemerintah apakah suatu rancangan undang-undang bertentangan dengan Islam atau tidak.
Sebagaimana umumnya negara yang berbentuk republik, pimpinan eksekutiftertinggi dijabat oleh presiden yang dipilih berdasarkan partai politik. Dewan perwakilan rakyat juga dipilih melalui pemilu yang diadakan secara periodik yang diikuti oleh banyak partai politik. Islam adalah agama mayoritas di negeri yang sekarang dipimpin olehJenderal Musharraf ini.sekaligus sebagai agama negara. Sejak pertama kali berdiri hingga saat ini, guncangan demi guncangan politik terus terjadi yang mengggambarkan persaingan sengit antara kelompok Islam di satu sisi dan kelompok sekuler atau sosialis di sisi yang lain.

3. Iran
Republik Islam Iran saat ini adalah kelanjutan dari pemerintahan yang dihasilkan sebuah revolusi Islam yang diistilahkan oleh John L. Esposito dan John 0. Voll sebagai salah satu pemberontakan rakyat terbesar dalam sejarah manusia. Berawal dari kekuasaan yang didominasi oleh Dinasti Pahlevi (1925-1979) dibawah Reza Syah (1925-1941) dan putranya Mohammad Reza Syah (1941-1979), Iran modern dibentuk. Iran di bawah kekuasaan Dinasti Pahlevi adalah "kerajaan" suatu dinasti dan bukan republik, sebuah negara modern yang kebijakan-kebijakanya dan tujuannya adalah memperkuat integrasi nasional dan bukan partisipasi politik. Dengan kata lain, Iran di bawah Dinasti Pahlevi adalah negara yang diperintahkan secara represif dan otoriter hingga akhirnya muncul pemberontakan yang dimotori oleh Ayatullah Khomeini dengan semangat dan janji untuk mewujudkan masyarakat yang lebih demokratis dan berkeadilan sosial di bawah panji-panji Islam. Revolusi menjanjikan kebebasan dari kelaliman pemerintahan otokrasi Syah.
Iran paska revolusi adalah Iran yang mencoba membangun negara dengan agama sebagai kekuatan utamanya. Ajaran Syiah yang dipeluk secara mayoritas bangsa Iran kemudian menjadi identitas bangsa Iran dan sumber legitimasi politik yang paling penting. Perubahan konstitusional dan institusional yang substantif dilakukan melalui pemilihan umum. Referendum pada Maret 1979 mengubah pemerintahan Iran dari Monarkhi menjadi republik Islam, majelis Ahli yang didominasi oleh ulama dipilih untuk membuat rancangan konstitusi yang akan disahkan melalui referendum rakyat. Hasilnya adalah pemerintahan Iran menggu­nakan konsep wilayatui faqih atau pemerintahan oleh ahli hukum yang berarti memberikan wewenang tertinggi kepada ulama dalam menjalankan dan mengarahkan pemerintahan negara.
Meskipun presiden dipilih secara langsung yang mewakili kedaulatan rakyat, Faqih mewakili kedaulatan llahi dari hukum tuhan. Meskipun tidak dipilih secara langsung oleh rakyat, faqih dipilih oleh majelis tinggi, yang anggota-anggotanya dipilih secara langsung oleh rakyat. Dalam tugasnya, Faqih akan dibantu oleh Dewan Pelindung beranggotakan dua belas ahli hukum Islam, enam dipilih Khomeini dan lainnya dipilih oleh parlemen. Dewan ini bertugas mengawasi pemilihan presiden dan parlemen (Majelis Permusyawarahan Nasional, atau majlis-i-syura), menafsirkan konstitusi, dan memastikan kesesuaian antara setiap perundang-undangan dengan hukum dan konstitusi Islam. Bahkan berdasarkan konstitusi, dewan pelindung ini dibekali dengan hak veto atas produk undang-undang dari parlemen yang dinilai tidak islami. Selain itu pula, dibentuk Dewan Pengadilan Tertinggi yang didominasi oleh para rnujtahid atau ahli hukum Islam.
Jadi, Iran adalah sebuah negara yang berusaha menjadi agama sebagai faktor yang integral dalam sebuah negara. Aga
ma diyakini memiliki konsep dan sistem bernegara. Meskipun demikian, Iran adalah contoh sebuah upaya penggabungan unsur-unsur teokrasi yang berbasis pada agama (Syiah) di satu sisi dan unsur-unsur republik. Meskipun upaya pencampuran itu tidak selamanya berlangsung damai dan nor­mal, Iran dapat menjadi prototipe dari hubungan agama dan negara dalam bentuknya yang paling ekiektis. Meskipun formalisasi dan simbolisasi agama terjadi hampir di seluruh bentuknya, Iran memberikan jaminan konstitusional terhadap minoritas (Majusi, Yahudi, dan kristen) untuk menjalankan ritus-ritus keagamaan mereka dan menangani perkara pribadi dan pendidikan mereka menurut kepercayaan masing-masing. Selain itu, Iran juga memberikan ruang yang relatifterbuka kepada pers dan masyarakat untuk berekspresi. pemerintahan Iran menggunakan konsep wilayatul faqih atau pemerintahan oleh ahli hukum yang berarti memberikan wewenang tertinggi kepada ulama dalam menjalankan dan mengarahkan pemerintahan Negara 
4.  Malaysia
Malaysia adalah sebuah masyarakat multietnik dan multiagama tempat bangsa Melayu merupakan 45% dari seluruh penduduknya, namun mempunyai kekuatan politik dan budaya yang dominan. Sisanya terdiri dari berbagai kelompok etnik dan keagamaan, dan yangterbesar adalah komunitas Cina (35%) dan India (10%). Islam dan identitas nasional serta politik Melayu telah lama saling berkelindan, seperti tercermin dalam keyakinan umum bahwa orang melayu mestilah Islam.
Malaysia merupakan federasi negara-negara bagian, sebuah pemerintahan yang secara resmi bersifat pluralistik dengan Islam sebagai agama resmi, dan kaum muslim Malaysia menikmati kedudukan istimewanya. Meskipun partisipasi partai-partai Islam dalam pemilihan umum dan kiprah mereka sebagai oposisi yang sah merupakan fenomena yang relatif baru di kebanyakan negara muslim, selama bertahun-tahun partai-partai politik itu telah bersaing dengan partai pemerintah UMNO,  juga bersaing satu sama lain, dalam proses politik. Berbeda dengan beberapa sistem politik di Timur Tengah yang tidak mengizinkan partai-partai Islam dan beberapa gerakan Islam kemudian melakukan perlawanan dengan tindak kekerasan, dalam sistem Malay­sia terdapat sebuah partai penguasa yang dominan yang mengakui keberadaan dan partispiasi politik dari kelompok-kelompok Islam yang berperan sebagai pihak oposisi nonsektarian.
Hubungan antara agama (Islam) dan negara dengan watak yang lebih kompromistis-harmonis secara baik ditunjukkan oleh Malaysia. Islam menjadi agama resmi dengan menjadikan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum positifyang berlaku di Malaysia.
Hubungan antara agama (Islam) dan negara dengan watak yang lebih kompromistis-harmonis secara baik ditunjukkan oleh Malaysia. Islam menjadi agama resmi dengan menjadikan hukum Islam sebagai salah satu sumberhukum positifyang berlaku di Malaysia. 

 Hubungan Agama dan Negara di Eropa dan Amerika

Hubungan agama dan negara di Amerika dan di Eropa adalah sebuah sejarah yang sangat panjang dan menarik untuk disimak. Hubungan agama dan negara di Eropa dan Amerika masing-masing memiliki sejarah dan pola hubungan yang berbeda dengan ciri khasnya masing-masing.
Di Eropa, pada abad pertengahan, Gereja memiliki peran yang sangat dominan dalam politik. Gereja banyak terlibat dalam urusan bagaimana mengelola negara karena antara agama dan politik menyatu pada otoritas yang tunggal, yakni Gereja. Gereja Katolik pada waktu itu menjelma bukan saja menjadi agama yang mengajarkan nilai ketuhanan dan moral melainkan juga sebagai sebuah institusi politik yang memiliki banyak wewenang. Gereja katholik punya pasukan sendiri, punya polisi moral dan polisi pidana, dan sebagainya persis sebagaimana sebuah negara.
Sejarah kekuasaan Gereja ini berakhir akibat terjadinya penyelewengan-penyelewengan yang menimbulkan banyak reaksi besar bahkan berdarah-darah. Muncul dan berkembangnya gerakan renessaince bukan saja mengakhiri kekuasaan Gereja atas agama dan politik, sekaligusjuga awal dimulainya babakbaru pemisahan hubungan antara agama dan politik. Agama benar-benar dipisahkan secara ekstrim dari politik sebagai akibat trauma masa lalu. Karena itu, isu yang kemudian muncul dan berkembang di Eropa hingga saat ini adalah sekularisasi yang ekstrim antara agama dan politik.
Saat ini, negara-negara di Eropa menerapkan secara ketat apa yang disebut dengan sekularisasi, yakni pemisahan secara tegas antara peran agama dan politik. Praktek dan kewenangan politik sepenuhnya diserahkan kepada negara yang sedangkan agama memiliki kewenangan hanya untuk mengurus Gereja, tidak lebih. Dalam perkembangannya, sekularisme menjadi konsep yang diyakini sangat tepat, bukan hanya dalam meredam konflik dan ketegangan antara kuasa agama dan negara, tapijuga dalam memberikan landasan pada demokrasi dan persamaan hak.
Tidak seperti di Eropa yang didominasi oleh sejarah Katolik, di Amerika lebih didominasi oleh sejarah kristen protestan. Amerika dibangun dan dimulai dari para pendatang yang pertama kali menginjakkan kaki ke benua itu yang terdiri dari banyak kelompok denominasi agama khususnya Kristen. Agama Kristen Protestan adalah agama yang sejak awal cukup dominan yang umumnya adalah pelarian negara-negara di Eropa menerapkan secara ketat apa yang disebut dengan sekularisasi, yakni pemisaban secara tegas antara peran agama dan politik. Praktekdan kewenangan politik sepenuhnya diserahkan kepada negarayang sedangkan agama memiliki kewenangan hanya untuk mengurus Gereja, tidak lebih dari eropa yang dihegemoni oleh "Negara Katolik".
Sejak awal di Amerika sudah menerapkan prinsip seku­larisasi atau pemisahan otoritas agama dan politik. Namun demikian, meskipun Amerika adalah negara sekuler atau konstitusinya sekuler namun bukan berarti agama tidak memiliki peran. Agama tetap menjadi faktor dalam banyak kehidupan bernegara. Jadi, Amerika memisahkan hubungan antara agama dan politik baik secara struktural maupun organisasional. Negara menyerahkan segala hal terkait dengan agama pada masyarakat sebagai persoalan yang privat-individual. Sebaliknya, agama menyerahkan segala hal terkait dengan politik dan kekuasaan yang mengelilinginya kepada pemerintah yang dalam prosesnya dipilih secara langsung melalui pemilihan umum. Praktek sekularisasi di Amerika ini berjalan secara konsisten hingga saat ini, sehingga kita jarang mendengar adanya konflik antara agama dan negara karena berebut pengaruh dan kewenangan. 
Hubungan Negara dan Agama: Pengalaman Islam Indonesia
Indonesia dikenal sebagai negeri Muslim terbesar di dunia. Uniknya Indonesia bukanlah sebuah negara Islam. Dari keunikan ini perdebatan pola hubungan Islam dan negara di Indonesia merupakan perdebatan politik yang tak kunjung selesai. Perdebatan soal pola hubungan Islam dan negara ini telah muncul dalam perdebatan publik telah dimulai sebelum Indonesia merdeka. Perdebatan tentang Islam dan nasionalisme Indonesia antara tokoh nasionalis Muslim dan nasionalis sekuler pada 1920-an merupakan babak awal pergumulan Islam dan negara pada kurun-kurun selanjutnya. Tulisan-tulisan tentang Islam dan watak nasionalisme Indonesia menghiasi suarat kabar pergerakan nasional pada waktu itu, menanggapi pandangan dan paham sekuler yang dilontarkan kalangan tokoh nasionalis sekuler. Perdebatan Islam dan nasionalisme dan konsep negara sekuler diwakili masing-masing oleh tokoh Muslim Mohammad Natsir dan Ir. Soekarno dari kelompok nasionalis sekuler.
Perdebatan Islam dan konsep-konsep ideologi sekuler menemukan titik klimaksnya pada persidangan formal dalam sidang-sidang majelis Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) bentukan pemerintah Jepang pada 1945. Perdebatan konstitusional tentang hubungan Islam dan negara kembali menghangat di kalangan kelompok nasionalis Muslim dan nasionalis sekuler. Para tokoh nasionalis Muslim seperti H. Agus Salim, KH. Mas Mansur, KH. Wachid Hasyim, menyuarakan suara aspirasi Islam dengan mengajukan usul konsep negara Islam dengan menjadikan Islam sebagai dasar negara bagi Indonesia merdeka. Usulan menjadikan Islam sebagai konsep negara dari kelompok nasionalis Muslim bersandar pada alasan sosiologis bangsa Indonesia yang mayoritas memeluk Islam sebagai agama dan keyakinannnya.
Alasan ini ditepis oleh kelangan nasionalis sekuler yang mengajukan konsep negara sekuler. Menurut kaum nasionalis sekuler, kemajemukan Indonesia dan perasaan senasib melawan penjajah mendasari alasan mereka menolak konsep negara agama (Islam) yang diajukan oleh kalangan nasionalis muslim. Bagi mereka, Indonesia yang majemuk baik agama, suku dan bahasa harus melandasi berdirinya negara non-agama (sekuler). Pada kesempatan perhelatan konstitusional ini, Soekarno merujuk pengalaman Turki modern di bawah Kemal Attaturk dengan konsep negara sekulernya. Lebih lanjut Soekarno kembali menyuarakan konsepnya tentang lima dasar negara Indonesia, yang kemudian dikenal dengan Pancasila.
Tentu saja paham kebangsaan Pancasila tidak mudah diterima kelompok nasionalis muslim. Bagi mereka, selain alasan mayoritas penduduk Indonesia memeluk Islam, Islam sebagai agama ciptaan Al­lah yang bersifat universal dan lengkap harus dijadikan dasar dalam tata kehidupan kenegaraan dan kebangsaan Indonesia. Akhir dari perdebatan konstitusional BPUPKI menghasilkan kehawatiran bagi kelompok nasionalis di luar muslim, khususnya dari nasionalis kristen dari kawasan Indonesia Timur. Kehawatiran mereka diwujudkan melalui keinginan mereka mendirikan negara sendiri dengan memisahkan diri dari konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Akhir dari perdebatan di sidang BPUPKI berakhir dengan kesediaan kalangan nasionalis muslim untuk memaksakan kehen­dak mereka menjadikan Islam sebagai dasar negara Indonesia. Demi persatuan dan kesatuan serta terselengga­rakannya kemer­dekaan bagi bangsa Indo­nesia dari cengkraman penjajah, mereka menerima konsep negara yang diajukan kalangan nasionalis sekuler, dangan catatan negara menjamin dijalan­kannya syari'at Islam bagi pemeluk Islam di Indonesia. Hasil dari kompromi antara kelompok nasionalis muslim dengan nasionalis sekuler dikenal dengan nama the gentlemen agreement yang tertuang dalam Piagam Jakarta (Jakarta Charter) yang menyebutkan bahwa Negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.
Setelah merdeka hubungan Islam dan negara dibawah kepemimpinan Presiden Soekarno kembali mengalami kete­gangan. Sebagai negara yang baru merdeka Indonesia masih menghadapi rongrongan baik dari pihak penjajah yang hendak kembali mencengkramkan kekuasaannya maupun ancaman disintegrasi dari dalam negeri yang merasa tidak puas dengan kebijakan pemerintah nasional dibawah Presiden Soekarno (1945-1950). Pada kurun antara 1950-1959, ketika Indonesia menjalan­kan prinsip demokrasi parlementer, ketegangan Islam dan kelompok nasionalis sekuler kembali terulang dalam bentuk perseteruan sengit antara kelompok partai politik Islam, seperti partai Masyumi dan partai NU, dengan partai politik sekuler: Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Nasionalis Indo­nesia (PNI dan sebagainya). Perseteruan ideologis Islam versus ideologi sekuler kembali terjadi dalam persidangan Konstituante hasil pemilu demokratis yang pertama pada 1955.
Pemilu yang dinilai banyak ahli sebagai pemilu paling demokratis dalam sejarah politik nasional Indonesia ternyata tidak menjamin terselenggarakannya proses pembuatan konstitusi dengan baik. Sekalipun Majelis Konstituante hampir rampung menyelesaikan tugas-tugas konstitusionalnya, ketidak stabilan politik dan ancaman disintegrasi dianggap oleh Presiden Soekarno sebagai dampak langsung dari Demokrasi Parlementer yang diadopsi dari Barat. Menurut Soekarno, demokrasi ala Barat tidak sesuai dengan ikiim politik Indo­nesia. Perseteruan sengit antara partai-partai politik harus diahiri dengan memberlakukan kembali UUD 1945 di bawah sistem Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy) melalui dekritpresiden 5Juli 1959. Sejak saat itu Presiden Soekarno memiliki kekuasaan yang tak terbatas bahkan dinobatkan sebagai Presiden seumur hidup.
Untuk menjalankan kepemimpinannya Presiden Soekarno menjalankan prinsip fusi politik ciptaannya, Nasakom (nasionalis, agama, komunis). Nasakom terdiri atas tiga komponen penting dari hasil pemilu 1955: PNI, Islam (diwakili NU) dan PKI. Keberadaan PK1 sangat penting bagi pemerintahan Soekarno karena perolehan suaranya yang sangat signifikan dalam Pemilu. Model kepemimpinan "tiga kaki" presiden Soekarno ini menimbulkan kecemburuan politik dikalangan kelompok militer dibawahjenderal AH. Nasution. Perseteruan politik dan ideologi antara TNI (Tentara Nasional Indonesia) dengan PK1 berdampak pada pesekutuan politik antara kelompok Islam dengan militer untuk menghadapi PK1 yang tengah dekat dengan Presiden Soekarno. Seperti perseteruan ideologi sebelumnya, Ideologi sosialis komunis menjadi alasan utama kelompok Islam untuk berkoalisi dengan TNI melawan paham komunis.
Sistem Demokrasi Terpimpin ala Presiden Soekarno berakhir dengan peristiwa politik yang tragis, Gerakan 30 September 1965. Cerakan makar ini menurut beberapa ahli merupakan buah dari Perseteruan ideologis panjang antara PKI dengan TNI Angkatan Darat, yang berujung pada pembunuhan sejumlah elit pimpinan TNI di Lubang Buaya, Halim, Jakarta. Peristiwa ini sekaligus merupakan awal kejatuhan politik Presiden Soekarno dan awal naiknya kiprah politik Presiden Soeharto. Melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). panglima Kostrad (Komando Strategis AD) Letnan Jenderal Soeharto kala itu memimpin pemulihan keamanan nasional dengan melakukan penumpasan terhadap semua unsur komunis di Indonesia. Dalam pemberantasan PKI peran ummat Islam tidak sedikit; bersama TNI ummat Islam di sejumlah daerah terlibat pembunuhan anggota PKI dan simpatisannya.
Akhir masa pemulihan keamanan berhasil menaikkan Panglima Kostrad Letnan Jenderal Soeharto ke tampuk kepemimpian nasional yang disahkan oleh Sidang Umum MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) di bawah pimpinan Jenderal AH. Nasution pada tahun 1968. Dengan slogan kembali ke Pancasila secara murni dan konsekuen, Presiden Soeharto memulai kiprah kepemimpina nasionalnya dengan sebutan Orde Baru, sebagai pengganti Orde Lama yang dianggap telah menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945.


  Islam dan Negara Orde Baru: Dari Antagonistik ke Akomodatif

Naiknya Presiden Soeharto melahirkan babak baru hubungan Is­lam dan negara di Indonesia. Menurut Imam Aziz, pola hubungan antara keduanya secara umum dapat digolongkan ke dalam 2 (dua) pola: antagonistic dan akomodatif. Hubungan antagonistikmerupakan sifat hubungan yang mencirikan adanya ketegangan antara Islam dan negara Orde Baru; sedangkan atomodar/fmenunjukkan kecenderungan saling membutuhkan antara kelompok Islam dan negara Orde Baru, bahkan terdapat kesamaan untuk mengurangi konflik antara keduanya. Namun demikian, sebelum mencapai pola akomodatif, menurut Abdul Aziz Thaba, telah terjadi hubungan agama dan negara Orde Baru yang bersifat resiprokal-kritis, yakni awal dimulainya penurunan ketegangan antara agama dan negara di Indonesia.
Hubungan antagonis antara negara Orde Baru dengan kelompok Islam dapat dilihat dari kecurigaan yang berlebih dan pengekangan kekuatan Islam yang berlebihan yang dilakukan Prediden Soeharto. Sikap serupa merupakan kelanjutan dari sikap kalangan nasionalis sekuler terhadap kelompok Islam, khususnya di era 1950-an.       
Sikap curiga dan kehawatiran terhadap kekuatan Islam membawa implikasi terhadap keinginan negara untuk berusaha menghalangi dan melakukan domestikasi (pendangkalan dan penyempitan) gerak politik Islam, baik semasa Orde Lama maupun Orde Baru. Sebagai hasil dari kebijakan semacam ini, bukan saja para pemimpin dan aktivis politik Islam gagal untuk menjadikan Islam sebagai ideologi dan atau agama negara (pada 1945 dan dekade 1950-an), tetapi mereka juga sering disebut sebagai kelompok yang secara politik "minoritas" atau "out­sider. Lebih dari itu, bahkan politik Islam, menurut Bahtiar Effendy, sering dicurigai oleh negara sebagai anti ideologi negara Pancasila.
Menurut Effendy, akar antagonisme hubungan politik antara Islam dan negara tak dapat dilepaskan dari konteks kecenderungan pemahaman keagamaan ummat Islam yang berbeda. Kecendrungan menggunakan Islam sebagai symbol politik dikalangan aktivis muslim di awal kekuasaan Orde Baru telah melahirkan kecurigaan dari pihak penguasa yang berakibat pada peminggiran Islam dari arena politik nasional. Kebijakan politik kontrol dan represif terhadap kekuatan politik Islam mewarnai arah dan kecendrungan politik Orde Baru. Kecenderungan pendekatan politik keamanan (security approaches) yang dilakukan Orde Baru dapat ditengarai pada sejumlah peristiwa kekerasan negara atas kelompok Islam di era 1980-an yang dianggap sebagai penentangAsasTunggal Pancasila ciptaan Orde Baru. Kekerasan politik dan peminggiran Islam dari pentas politik nasional yang dilakukan rejim Orde Baru atas kekuatan Islam melahirkan kesimpulan dikalangan ahli akan sifat antagonistik hubungan Islam dan negara Orde Baru. Sejak awal berdirinnya Orde Baru hingga awal 1980-an Islam dianggap sebagai ancaman serius bagi keberlangsungan kekuasaan Orde Baru.
Pertengahan 1980-an merupakan awal perubahan pendulum hubungan Islam dan rezim Orde Baru. Hal ini ditandai dengan lahirnya kebijakan-kebijakan politik Presiden Soeharto yang dinilai positifbagi umat Islam. Menurut Effendi, kebijakan-kebijakan Orde Baru memiliki dampak luas bagi perkembangan politik Islam selanjutnya baik struktural maupun kultural.
Kecenderungan akomodasi negara terhadap Islam juga—menurut Affan Gaffar— ditengarai dengan adanya kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan dan keagamaan serta kondisi dan kecenderungan akomodasionis umat Islam sendiri. Pemerintah mulai menyadari akan potensi umat Islam sebagai kekuatan politik yang potensial. Sedangkan menurut Thaba, sikap akomodatif negara terhadap Islam lebih disebabkan oleh pemahaman negara terhadap perubahan sikap politik umat Islam terhadap kebijakan negara, terutama dalam konteks pemberlakuan dan penerimaan asas tunggal Pancasila. Perubahan sikap ummat Islam pada paruh kedua 1980-an, dari menentang menjadi menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bersinergi dengan sejumlah kebijakan Orde    Kekerasan politik dan peminggiran Islam daripentas politik nasional yang dilakukan rejim Orde Baru atas kekuatan Islam melahirkan kesimpulan dikalangan ahli akan sifat antagonistik hubungan Islam dan negara Orde Baru. Sejak awal berdirinnya Orde Baru bingga awal 1980-an Islam dianggap sebagai ancaman serins bagi keberlangsungan kekuasaan Orde Baru yang menguntungakan ummat Islam pada masa selanjutnya.
Pengesahan RUU Pendidikan Nasional, pengesahan RUU Peradilan Agama, Pembolehan pemakaian jilbab bagi siswi muslim di sekolah umum, kemunculan organisasi Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), dan lahirnya Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila yang langsung dipimpin oleh Presiden Soeharto merupakan indikator adanya hubungan akomodatifyang dilakukan elit penguasa Orde Baru terhadap Islam.
Perilaku santun dalam berdemokrasi dapat diwujudkan melalui sikap menghindarkan diri dari tindakan main hakim sendiri, lebih-lebih dengan mengatasnamakan agama, kelompok, maupun partai politik tertentu. 
Islam dan Negara: Bersama Membangun Demokrasi dan Mencegah Disintegrasi Bangsa
Peran agama, khususnya Islam, di Indonesia sangat strategis bagi proses transformasi demokrasi saat ini. Pada saatyang sama Islam dapat berperan mencegah ancaman disintegrasi bangsa sepanjang pemeluknya mampu bersikap inklusif dan toleran terhadap kodrat kemajemukan Indonesia. Sebaliknya, jika ummat Islam bersikap eksklusif dan cenderung memaksakan kehendak, dengan alasan mayoritas, tidak mustahil kemayoritasan ummat Islam akan lebih berpotensi menjelma sebagai ancaman disintegrasi daripada kekuatan integratif bangsa.
Hal senada berlaku pula bagi negara. Negara memiliki potensi sebagai penopang proses demokrasi yang telah menjelma sebagai tuntutan global dewasa ini. Namun di sisi lain, negara pun berpotensi menjadi ancaman bagi proses demokrasi jika ia tampil sebagai kekuatan represif dan mendominasi berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Lahirnya kekuatan demokrasi yang diperankan oleh berbagai komponen masyarakat madani di Indonesia, seperti LSM, ormas sosial keagamaan, partai politik, mahasiswa, pers, asosiasi profesi dan sebagainya, harus disikapi oleh negara secara demokratis dan terbuka sepanjang tidak mengancam disintegrasi bangsa dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Untuk mewujudkan pola hubungan yang dinamis antara agama dan negara di Indonesia, kedua komponen Indonesia tersebut seyogyanya mengedepankan cara-cara dialogis manakala terjadi perselisihan pandangan antara kelompok masyarakat sipil dengan negara. Untuk menopang proses demokratisasi negara sebagai komponen penting di dalamnya harus menyediakan fasilitas demokrasi seperti kebebasan pers, kebebasan berorganisasi, kebebasan berbicara dan mengluarakan pendapat serta peningkatan fasiltas umum maupun kawasan publik bebas (free public sphere) untuk memfasilitasi beragam opini warga negara.
Pada saat yang bersamaan, unsur-unsur masyarakat sipil di atas dituntut untuk bertanggung jawab dalam menggunakan hak-hak kebebasannya secara santun dan beradab. Perilaku santun dalam berdemokrasi dapatdiwujudkan melalui sikap menghindarkan diri dari tindakan main hakim sendiri, lebih-lebih dengan mengatasnamakan agama, kelompok. maupun partai politik tertentu, sekadar untuk memaksakan kehendak-nya atas nama individu maupun kelompok lain. Searah dengan tuntutan kedewasaan mengungkapkan pendapat di kalangan komunitas agama, peranan pers dan kelompok intelektual (pelajar, mahasiswa, ormas dan orpol) dalam menyuarakan pendapat publik secara santun, seimbang danjujur adalah mutlak dalam praktik berdemokrasi.
Tindakan main hakim sendiri sangatlah berlawanan dengan prinsip demokrasi yang lebih mengedepankan cara-cara musyawarah atau menyerahkan segala sengketa hukum antarwarganegara maupun antara warganegara dengan negara kepada lembaga hukum. Sikap mengancam atau merusak fasilitas umum dalam mengeluarkan pendapat, lebih-lebihmenggantikan peran penegak hukum atau melakukan tindakan teror terhadap aparat hukum dalam upaya pencarian keadilan, sama sekali bertentangan dengan semangat penegakan demokrasi dan keseimbangan hak dan kewajiban warga negara.
Dengan ungkapan lain, negara dan agama, melalui kekuatan masyarakat sipilnya, adalah dua komponen utama dalam proses membangun demokrasi di Indonesia yang berkeadaban. Membangun demokrasi adalah proses membangun kepercayaan (trust) diantara sesama warga negara maupun antara warga negara dan negara. Demokrasi yang dicita-citakan para pendiri bangsa Indonesia adalah tidak sekedar kebebasan tanpa batas, tetapi kebebasan yang bertanggungjawab. Agama, seperti diyakini oleh pemeluknya, banyak memberikan ajaran moral tentang tanggung jawab individu dan social