Jumat, 09 Agustus 2013

RASIO-RASIONALITAS KAUM RASIONALIS



Sejenak Mengenang Pemikiran Descartes, Spinoza dan Leibniz Tentang Rasio-Rasionalitas

Pemikiran Descartez tentang rasio dan rasionalitas tidak jauh berbeda dengan rasio dan rasionalitas yang dipahami oleh Aristoteles. Akan tetapi, nanti akan terlihat perbedaan yang mencolok tentang metode yang digunakan. Lebih spesifiknya tentang rasionalitas yang ditawarkan.
               Pada tulisan sebelumnya telah dijelaskan bahwsanya Aristoteles memahami rasio manusia berada dan bersifat lebih dasar dibandingkan dengan rasionalitas. Rasio bagi Aristoteles adalah hal-hal yang bersifat induktif-empirik. Sedangkan rasionalitas baginya adalah logika. Sedangkan Palto mengatakan bahwa rasio manusia bisa dicapai melalui intuisi.
               Disini akan dibicarakan tentang Rene Descartes, salah seorang filosof rasionalis kenamaan. Sebenarnya, dia sepaham dengan Plato dan Aristoteles masalah kedudukan rasio atas rasionalitas. Akan tetapi dengan tesis “cogito ergo sum”nya, Descartes tampaknya ingin memperlihatkan sebuah pandangan baru tentang rasio dan rasionalitas itu sendiri. Dan memang nanti akan dapat dilihat bagaimana Descartes memberikan pemahaman baru terhadap rasio dan rasionalitas ini.
               Kembali lagi pada “cogito ergo sum”. Dengan kalimat itu sebenarnya sudah dapat ditangkap bagaimana Descartes memandang rasio dan rasionalitas. Keragu-raguan dan memepertanyakan segalanya adalah rasio yang harus dimiliki manusia. Karena menurut Descartes, dengan meragukan segala apa yang dia lihat dan dia rasakan, manusia akan dapat memperoleh pengetahuan yang sejati.
               Berpikir untuk mengetahui sesuatu yang hakiki inilah yang menjadi esensi bagi keberadaan manusia. Artinya, rasio oleh Descartes dianggap sebagai sesuatu yang esensial, yang berkaitan langsung dengan eksistensi manusia itu sendiri. Sedangkan “berpikir”nya Descartes didapat dari metode keragu-raguan. Dengan begitu, ragu-ragu adalah hal yang esensi dari manusia menurut Descartes.
               Semua yang telah saya tulis diatas adalah rasio dalam pengertian Descartes. Yang kalau boleh disimpulkan kembali, rasio adalah pikiran manusia. Satu-satunya elemen dalam diri manusia yang dapat memberikan pengetahuan sejati. Yang akan menyeleksi segala pengetahuan yang diperoleh oleh manusia. Adapun segala hal yang datang dri luar, adalah sesuatu yang harus terus menerus dipertanyakan dan diragukan.
               Lalu bagaimana dengan rasionalitas menurut Descartes? Kalau tadi dijelaskan bahwasanya rasio manusia adalah berpikir dan berasal dari dalam alam pikir manusia, yang didapat melalui metode kesangsian. Rasionalitas menurut Descartes adalah kemampuan manusia untuk mengetahui pengetahuan yang benar dengan bersandar pada prisnsip-prinsip yang dihasilkan oleh rasio.
               Rasionalitas manusia berangkat dari kesadaran tentang “aku” yang berpikir lalu ia pun mampu memahami kebenaran secara clear and distinc. Potensi dan kemampuan tersebutlah yang nantinya akan memilah dan memilih pengetahuan yang diperoleh. Mana pengetahuan yang benar dan mana pengetahuan yang salah. sekali lagi, tetap dengan memegang prinsip-prisnsip yang dihasilkan oleh rasio. Jadi, orang yang rasional adalah orang yang menyangsikan segalanya, orang yang hanya tahu bahwa dirinya sedang berpikir.
               Lalu datanglah Spinoza menyatakan ketidak setujuannya terhadap konsep dualisme yang diusung oleh Descartes. Sebelumnya Descartes mengatakan bahwa jiwa (pikiran) dan tubuh (keluasan) adalah dua substansi yang berbeda. Jiwa terperangkap dalam tubuh manusia, begitu kata Descartes. Pandangan ini tentu disebabkan kefanatikan yang luar biasa Descartes kepada rasio dan berpikir. Dan menafikan hal-hal yang berada diluar itu.
               Dengan konsep ini Spinoza mengalami kebuntuan berpikir atau mengalami suatu kegalauan. Bagaimana bisa keduanya berinteraksi atau saling bertautan dalam diri manusia ataupun tuhan? Dari pertanyaan itu kemudian Spinoza menawarkan sebuah pemahaman baru tentang rasio dan rasionalitas.
               Dari kebingungan yang telah saya ceritakan diatas, kemudian Spinoza berkeyakinan bahwa tuhan adalah segalanya. Dia menyatukan paham yang dibedakan oleh Decartes. Dia mengatakan Tuhan adalah segalanya, segalanya merupakan bagian dari Tuhan, begitupun alam. Keyakinan ini dikenal dengan nama “Pantheisme”.
               Dari pemahaman seperti ini, rasio menurut Spinoza adalah Tuhan yang merupakan segala-galanya. Dia tetap dan absolut. Sedangkan segala usaha manusia untuk memahami dan mengetahui kebersatuan ini (antara alam dan tuhan) adalah rasionalitasnya. Jadi, ketika seorang manusia paham akan adanya kebersatuan ini, maka ia dikatakan rasional. Jika tidak, maka sebaliknya. 
               Filosof rasionalis terakhir yang akan kita perbincangkan pada kesempatan kali ini adalah Leibniz. Dan sekaligus kita akan melihat kritik-kritiknya terhadap dua filosof sebelumnya, yaitu Descartes dan Spinoza tentang rasio dan rasionalitas. Yang dari kritiknya itu kemudian Leibniz menyusun filsafatnya sendiris.
               Kalau Plato dikenal dengan teori idenya, Aristoteles dengan logikanya, maka Leibniz dikenal karena teorinya yang bernama “Monad”. Monad Leibniz inilah nantinya yang akan menjelaskan semua pandangannya tentang pengetahuan manusia, tentghang rasio dan rasionalitas manusia.
               Menurut Leibniz, apa yang dipahami oleh Descartes dan Spinoza sama-sama memiliki kesalahan dan kebenaran. Salah disatu sisinya dan benar disatu sisinya. Oleh karena itu Leibniz pun mencoba melakukan perpaduan antara pemikiran Descartes yang terlalu radikal dalam memberikan batasan antara tubuh dan jiwa dengan pemikiran Spinoza yang terlalu bebas dalam memberikan batasan tersebut. Bahkan lebih jauh lagi Spinoza telah melakukan pengkaburan batas antara Tuhan, manusia dan alam.
               Dengan merekonstruksi substansi tunggal ala Spinoza, Leibniz pun menawarkan sebuah teori khusus tentang substansi. Yang dengan teori itu Leibniz dapat menjelaskan individualitas manusia, transendensi Tuhan dan kebebasan alam. Teori tersebut seperti yang telah saya singgung diatas bernama monad.
               Monad adalah gelembung-gelembung substansi yang membentuk atau membangun segala sesuatu di dunia ini. Sebenarnya, sekilas monad Leibniz mirip dengan atomnya Democritos. Akan tetapi, monad Leibniz lebih independen dan memiliki geraknya sendiri. Sedangkan atomnya Democritos adalah substansi mati, yang digerakkan oleh hal-hal yang berada diluarnya. Leibniz juga menyebut monad-monadnya sebagai jiwa (soul).
               Pandangannya tentang monad diawali dari sebuah asumsi bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini merupakan kumpulan atau gabungan dari berbagai substansi. Begitu juga manusia. karena merupakan gabungan, maka dipastikan terdiri dari satuan-satuan substansi sederhana. Substansi sederhana itulah yang dinamakan monad.
               Monad bersifat tertutup dan independen. Dia tidak memiliki kebutuhan atau keterkaitan dengan monad lainnya. Dia bergerak sendiri dan membentuk eksistensinya sendiri. monad tidak pula berbentuk, beukuran dan tidak terbatas. Dia hanya berupa titik yang metafisik. Tidak seperti atom yang memiliki mata kait untuk mengaitkan satu atom dengan atom lainnya yang kemudian membentuk sebuah benda. Monad berbeda.
               Lalu, jika memang monad bersifat independen dan tidak memiliki hubungan apa-apa dengan monad lainnya, bagaimana mereka bisa berintegrasi anta satu sama lain lalu membentuk sebuah kehidupan? Sebuah monad telah memiliki takdirnya sendiri sejak zaman azali. Dia sudah ditentukan untuk menjadi apa dan membangun apa. Jadi, meskipun monad bersifat independen dan tertutup dengan lainnya, mereka bekerja sama untuk menciptakan sebuah harmoni kehidupan. Sesuai dengan takdir yang mereka miliki dalam diri mereka masing-masing. Dengan begitu, harmonisasi kehidupan dunia pun tercipta. Sama seperti orkes simfoni atau teater orchestra yang memainkan sebuah harmonisasi lagu meskipun dengan alat music yang berbeda-beda. Gitar, piano, drum dan terompet adalah satu substansi yang independen dan tertutup. Masing-masing memiliki bunyinya sendiri dan tidak membutuhkan alat music lain untuk menciptakan sebuah nada. Akan tetapi, dalam orchestra seperti itu, sebuah harmoni lagu yang indah tercipta melalui berbagai alat music yang berbeda dan independen. Mengapa demikian? Karena setiap alat music sudah ditentukan nadanya atau partiturnya oleh sang dirijen. Demikian juga yang terjadi pada monad dalam membentuk harmoni alam.
Lalu siapa yang menentukan partitur-partitur monad tersebut? Atau gampangnya, siapa dirijennya? Yaitu Tuhan. Tuhanlah yang menentukan takdir setiap monad yang ada sejak awal penciptaanya. Oleh karena itu Leibniz mengatakan bahwa harmonisasi yang terjadi di alam adalah bukti sempurna akan keberadaan Tuhan.   
Dengan paparan singkat yang telah saya tulis diatas, dapat disimpulkan bahwa rasio menurut Leibniz adalah konsep monad dan Tuhan sebagai penentu. Sedangkan rasionalitas adalah kemampuan untuk memahami segala sesuatu melalui prinsip-prinsip pertama yang dihasilkan oleh rasio.

Wallahu ‘Alam bis Shawab…
              
                
                
                 

Selasa, 06 Agustus 2013

"MANUSIA : HAYAWANUN NATHIQ !" Telaah Pemikiran Filsafat Aristoteles Tentang Rasionalitas Sebagai Sebuah Specific Differentia


Al-insanu hayawanun nathiq, sebuah ungkapan yang familiar di telinga banyak orang. Khususnya mereka yang pernah mempelajari logika atau manthiq. Ya, ungkapan itu adalah ungkapan yang dilontarkan oleh Imam Al-Ghazali, salah seorang imam tercerdas yang pernah dimiliki oleh dunia islam khususnya madzhab ahlus sunnah wa-l-jama’ah.
               Manusia adalah binatang yang berakal atau binatang yang rasional. Sama-sama binatang, tapi manusia berbeda dengan binatang-binatang yang lain. Manusia merupakan satu spesies binatang langka yang memiliki keistimewaan. Yang dengan keistimewaannya itu manusia dinilai lebih berharga daripada binatang secara keseluruhan. Lalu pertanyaannya, apa yang menjadikan manusia begitu istimewa ?, begitu dibedakan seakan-akan manusia bukanlah satu species dari mahluk yang bernama binatang. Jawabannya adalah akal atau lebih bagus kalau kita sebut sebagai rasionalitas.
               Dengan akalnya, dengan rasionalitasnya itulah manusia memiliki nilai lebih dibandingkan binatang-binatang lainnya. Manusia adalah binatang yang mampu berpikir, menimbang-nimbang, memutuskan suatu putusan berdasarkan perhitungan dan melakukan apa yang dia pikir benar serta bermanfaat. Itu di satu sisi. Di sisi lainnya manusia memang termasuk jenis binatang. Itu dikarenakan manusia memiliki nafsu, syahwat dan sifat binatangi yang sangat kuat terhadap apa yang diinginkannya. Bahkan, manusia pun lebih keji daripada binatang kata Bang Iwan.
“Manusia sama saja dengan binatang selalu perlu makan. Namun caranya berbeda dalam memperoleh makanan. Binatang tak mempunyai akal dan pikiran, segala cara halalkan demi perut kenyang. Binatang tak pernah tau rasa belas kasihan, padahal disekitarnya tertatih berjalan pincang. Namun kadangkal ada manusia seperti binatang. bahkan manusia lebih keji dari binatang. Tampar kiri kanan alasan untuk makan, padahal semua tau dia serba kecukupan. Intip kiri kanan lalu curi jatah orang, peduli sahabat entah kurus kering kelaparan”, kata Bang Iwan lebih lanjut.
Nah, dengan begitu menjadi jelas bagi kita bahwasanya akal dan rasionalitas adalah sebuah ciri pembeda, yang membedakan manusia dengan binatang lainnya. Jadi ungkapan Imam Ghazali diatas ataupun Syair yang Bang Iwan lantunkan tersebut bukan tidak memiliki alasan, akan tetapi mengandung nilai filosofis yang sangat dalam (dengan kata lain, sebenarnya baik Imam Ghazali ataupun Iwan Fals adalah seorang penganut madzhab Aristoteles yang taat. he). Seperti juga yang tertuang dalam pemikiran filsafat Aristoteles, yang insyaallah akan saya bahas pada kesempatan kali ini.                
Sebelumnya telah dibicarakan tentang rasio rasionalitas dalam perspektif logika Aristoteles. Yaitu mendudukkan rasio lebih tinggi daripada rasionalitas. Dia menjadikan rasio sebagai dasar awal pijakan dan pemberi prinsip pertama bagi rasionalitas. Akan tetapi, yang ditekankan kali ini bukanlah bagimana peran rasio dan rasionalitas serta cara kerja keduanya dalam kegiatan berpikir manusia. yang lebih ditekankan adalah bagimana rasionalitas atau akal dapat menjadi esensi dan hakikat bagi manusia itu sendiri. Yang dengan sendirinya, mau tidak mau pembahasan tentang cara kerja rasionalitas dalam mewujudkan manusia yang sesungguhnya akan turut dibahas selanjutnya
Rasionalitas atau logos seperti yang telah dibahas sebelumnya adalah sebuah fakultas mental yang bertugas untuk menghasilkan sebuah putusan lengkap dengan argumentasi yang melatar belakangi putusan tersebut. Dalam tradisi Yunani kuno, logos termasuk satu dari tiga bagian “retorika”. Yaitu sebuah seni mempengaruhi orang dengan menggunakan pelbagai argumentasi yang masuk akal. Selain logos, ada pathos dan ethos. Pathos adalah merangsang si objek untuk mengubah sikap dan tindakan mereka. Sedangkan ethos adalah pembuktian kredibilitas untuk mempengaruhi orang. Artinya dengan menunjukkan kehebatan diri, si pelaku berusaha mempengaruhi objeknya dengan berbagai kesaktian yang dimilikinya. Tapi kedua hal itu tidak akan terllau dibahas.
Ketiga bagian diatas terus melakukan dialek, dengan begitu retorika pun akan tercapai. Lalu apa peran logos?. Logos berperan untuk mengetahui situasi, baik kondisi dimana ia akan mempraktekkan retorikanya maupun situasi orang yang akan menjadi korbannya. Dari sini kemudian dapat disimpulkan bahwa logos memiliki peran untuk menganalisa, menimbang dalam membuat putusan, melakukan perhitungan lalu kemudian menteoretisasi apa yang disimpulkan dan diputuskannya.
Logos oleh Aristoteles kemudian dituangkan dalam teori yang bernama “silogisme”. Dengan kata lain, rasionalisme manusia secara otomatis adalah berbentuk silogisme yang terdiri dari premis-premis. Dari pemahaman diatas, Aristoteles juga menyakini bahwasanya logos merupakan jiwa dari manusia itu sendiri. Suatu hal yang menjadi ciri khas bagi binatang untuk bisa dikatakan manusia. yang dengannya manusia dapat menimbang, memilah, memilih, mengukur dan menilai. Oleh karena itu, manusia disebut juga sebagai “mahluk intelektif”.     
  Setelah menyakini bahwasanya logos atau rasionalitas merupakan jiwa manusia itu sendiri, yang membedakannya dari binatang-binatang lain. Selanjutnya Aristoteles akan menjelaskan perbedaan antara jiwa manusia dengan jiwa binatang atau mahluk lainnya. Pemikiran filsafat yang dikenal rumit dan njlimet pun akan dimulai dari sini. Dari pembahasan tentang jiwa dalam perspektif Aristoteles rahimahullah.
Sebelum membahas masalah jiwa, Aristoteles menjelaskan terlebih dahulu mengenai sesuatu yang ada “being”. Apa itu ada? bagaimana sesuatu dikatakan ada? ciri khas apa yang harus dimiliki sesuatu untuk dikatakan ada?, semuanya akan diperjelas terlebih dahulu sebelum masuk pada permasalahan jiwa. Menurutnya, segala sesuatu dikatakan ada jika ia memiliki materi (hyle) dan bentuk (forma). Dalam bahasa kasar yang saya pahami, materi adalah sesuatu yang menjadi pusat pengkajian, sedangkan forma adalah aspek darimana kita melakukan kajian (perspektif). Contoh : kursi kayu dan meja kayu. Kayu adalah materi, baik kursi maupun meja adalah bentuk atau forma.
Jiwa adalah forma atau bentuk, sedangkan badan adalah materinya. Jiwa atau forma manusia berbeda dengan jiwa dan forma mahluk lainnya. Dengan forma-nya manusia memiliki potensi untuk berbeda dengan mahluk hidup lainnya. Dengan jiwanya itu manusia mampu bertindak rasional dalam menjalani kehidupannya, yang dengan ke-rasionalannya itu manusia sekali lagi dikatakan berbeda dengan mahluk lainnya. Materia atau badan hanyalah aktualisasi dari forma.
Sama halnya dengan kursi kayu. Kursi seperti yang sudah dijelaskan adalah forma, sedangkan kayu adalah materi. Jiwa manusia, esensi manusia adalah forma. Oleh karena itu ia berbeda dengan jiwa mahluk lainnya. Kursi sebagai forma memiliki potensi untuk menjadi alat istirahat, diduduki manusia, lain halnya dengan lemari yang tidak memiliki potensi sama sekali untuk menjadi benda yang diduduki.
Manusia pun sama begitu. Lalu ada materi berupa kayu. Kayu akan mempunyai fungsi menjadi sebuah alat untuk beristirahat dan diduduki hanya jika ia berbentuk kursi. Kalau kayu itu nantinya mempunyai bentuk lemari, fungsi itu (diduduki dan menjadi alat untuk beristirahat) tentu tidak akan didapat. Jadi jiwa dan badan, forma dan materi adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Badan hanyalah potensi mentah yang nantinya memungkinkan jiwa untuk beraktualisasi. Badan hanya menyediakan bahan, selanjutnya jiwa yang akan menentukan wujud dari badan tersebut. Jadi, sebenarnya Jiwa-lah yang menentukan mana manusia, mana binatang dan mana batu.
            Untuk lebih memperkuat analisisnya, Aristoteles mengkategorikan segala sesuatu yang ada (being) di dunia ini menjadi tiga kategori. (1) sesuatu yang terdiri dari materi belum tentu, (2) sesuatu sebagai esensi atau bentuk yang memungkinkan sebuah objek menjadi sesuatu tertentu, (3) sesuatu yang tergabung atau digabungkan oleh dirinya dan hal lain. Saya kurang paham bagaimana kelanjutan dari pengkategorian ini, serta cara membedakan dan mengkategorikannya.
           Dari pengkategorian diatas, Aristoteles lalu mendapatkan kesimpulan berupa keyakinan bahwa segala sesuatu pasti terdiri dari materi dan forma. Dengan keyakinan itu dia lalu memberikan ciri-ciri umum pada masing-masing keduanya. Materi ia dicirikan dalam kemungkinan, posibilitas, atau potensialitas. Forma dicirikan dalam realisasi, aktualisasi atau manifestasi. 
           Dari sini kemudian Aritoteles merumuskan tentang dunia determinisnya. Dia menyakini bahwa dunia ini selalu akan berjalan dan berwujud sebagai mana yang telah dia rumuskan. Oleh karena itu, untuk memahami alam beserta seluruh fenomena yang terjadi, Aristoteles membuat suatu aturan berpikir yang dia namakan logika.
            Logika ini kemudian yang menjadi ciri khas yang mewakili pemikiran filsafat Aristoteles. Atau dengan kata lain, logika merupakan satu hasil yang menggambarkan hasil berfilsafat ala Aristoteles. Kalau kata-kata logika disebut, tak lain yang dimaksud adalah filsafat Aristoteles.
              

RASIO DAN RASIONALITAS; Perbincangan Seputar Pengertian, Pergeseran Makna, Dasar Perumusan dan Kritik Terhadap Keduanya



Pendahuluan
Rasionalitas manusia merupakan unsur pertama yang menyusun kesadaran selain kehendak bebas. Dengan rasionalitas inilah manusia nantinya dapat mengetahui dan memahami realitas yang terjadi di sekitarnya. Dengan rasionalitas juga manusia mulai menginjakkan satu kakinya di tanah kesadaran. Akan tetapi, butuh kehendak bebas untuk menjadikan kesadaran tersebut utuh, dan itu akan dibahas nanti pada bab 3. Jadi, ada dua poin penting dalam membahas kesadaran manusia : (1) rasionalitas manusia yang berfungsi untuk memahami, (2) kehendak bebas manusia yang berfungsi untuk melihat dari berbagai sudut pandang.  
      Sebelum benar-benar masuk dan mengulas epistemology para filosof dalam merumuskan konsep rasionalitas tersebut, ada baiknya mengetahui terlebih dahulu istilah rasio dan rasionalitas. Apa perbedaan makna yang dikandung keduanya?, bagaimana peran keduanya dalam proses berpikir atau kesadaran manusia?, dan pergeseran makna yang terjadi diantara keduanya.
             Penelusuran akan kembali dilakukan untuk meniti jejak pemikiran para filosof mengenai pemahaman rasonalitas tersebut. Mulai dari pengertian rasionalitas dari Plato dan Aristoteles, rasionalitas para filosf abad pertengahan, rasionalitas menurut rasionalisme Descartes, Leibniz dan Spinoza, rasionalitas menurut pandangan Kant dan Hegel, rasionalitas dari Max Weber yang diturunkan kepada Bacon, rasionalitas menurut para filosof analitik dan diakhiri dengan pengertian rasionalitas menurut Jurgen Habermas.

Penelusuran Dimulai…
Dalam tradisi filsafat tradisional yang diprakarsai oleh Aristoteles dan Plato, Rasio menjadi wilayah yang lebih tinggi daripada rasionalitas. Artinya dalam proses berpikir manusia, rasio menjadi landasan yang paling dasar dibandingkan rasionalitas. Seperti yang diungkapkan Aristoteles “rasio adalah bagian dari jiwa manusia yang memiliki kapasitas untuk memahami dan mengatur diri sendiri”.
               Dalam perjalanan sejarah filsafat, rasio dan rasionalitas memang dibedakan sesuai dengan peran yang diemban oleh masing-masing keduanya dalam proses berpikir manusia. Didalam tradisi Yunani dikenal istilah nous dan logos. Dalam bahasa latin ditemukan istilah intellectus dan ratio. Dalam tradisi Jerman dikenal dengan istilah vernunt dan verstand. Dan dalam tradisi Inggris dikenal dengan nama reason dan rationality. Istilah yang pertama (nous, intellectus, vernunt dan reason) adalah nama lain dari rasio dan dianggap sebagai wilayah yang lebih tinggi daripada istilah yang kedua (logos, ratio, verstand dan rationality). Mengapa keduanya harus dibedakan ?
             Di dalam alam berpikir manusia atau alam sadar manusia, segala aktifitas yang berkaitan dengan berpikir filosofis dan keilmuan semuanya didapat melalui logos atau rasionalitas. Inti dari rasionalitas adalah argumen-argumen bagi pandangan atau pemikiran yang telah dihasilkan. Oleh karena itu, rasionalitas oleh para filosof terutama Plato dan Aristoteles dipahami sebagai “sebuah kapasitas yang memiliki kemampuan membuat suatu putusan, sekaligus mengandung alasan-alasan atau dasar-dasar argumentasi bagi putusan yang telah dibuat”.
     Silogisme Aritoteles dalam “logika”nya adalah perwujudan dari apa yang dia pahami dari peran rasionalitas ini. Seperti yang dikatakan tadi rasionalitas berisi masalah argumen atau alasan-alasan yang menjadi dasar bagi putusan yang dihasilkan, silogisme itulah yang menjadi argumen dan alasannya. Jadi dalam filsafat Aristoteles, premis-premis yang menjadi kerangka dalam silogisme adalah bentuk argumen yang menopang kebenaran putusan yang dihasilkan.
          Akan tetapi masalahnya adalah premis-premis disini masih memiliki kelemahan untuk menjadi semacam dasar bagi pengetahuan manusia. sebuah pernyataan dikatakan benar tentu jika didapat dari premis-premis yang benar pula. Apabila dalam silogisme yang disusun adalah premis-premis yang salah, maka pernyataan yang dihasilkan pun dengan otomatis dikatakan salah juga. Tentu akan menjadi masalah jika silogisme yang ditawarkan Aristoteles menjadi pijakan dasar dalam pengetahuan manusia. karena untuk menilai mana premis yang benar dan mana premis yang salah, rasionalitas belum memiliki landasan atau konsep yang jelas. lalu bagaimana jalan keluarnya ?
             Jalan keluarnya adalah dengan memberikan landasan dan pijakan dasar bagi premis-premis tersebut. Karena seperti tadi yang telah dikatakan, silogisme yang merupakan perwujudan dari rasonalitas bukanlah alasan yang tepat untuk menjadi pondasi dasar bagi pengetahuan manusia. logikanya jika rasionalitas atau silogisme bukanlah sesuatu yang menjadi dasar, tentu ada satu hal yang menjadi dasar atau pijakan bagi silogisme itu sendiri. Dan Aristoteles paham akan hal tersebut.
    Oleh karena itu dia dan gurunya sepakat untuk meletakkan rasio atau nous sebagai dasar yang paling fondasional bagi pengetahuan manusia. rasio inilah yang nantinya akan memberikan pijakan dasar bagi rasionalitas atau dalam istilah bagus takwin memberikan semacam prinsip awal bagi rasionalitas. Walaupun keduanya sepakat bahwa rasio merupakan sesuatu yang lebih fondasional daripada rasionalitas, Plato dan Aristoteles berselisih pendapat paham tentang bentuk rasio tersebut. Plato berpendapat bahwa rasio dapat dibedakan dengan fakulas pikiran lainnya hanya dengan “intuisi”. Sedangkan Aristoteles lebih percaya bahwa rasio itu haruslah berupa pengamatan induktif. Jadi dapat dibedakan bagaimana kerja pikiran manusia dalam perspektif dua filosof besar ini.
                Plato dengan teori idea-nya tentu lebih yakin bahwa intuisilah yang menjadi rasio manusia. karena memang dalam pandangannya, apa yang hakiki adalah apa yang ada di dalam ide manusia, bukan apa yang dipersepsikan oleh indera manusia. Dengan intuisi inilah manusia dapat membentuk atau menyusun premis-premis yang benar, atau dengan kata lain premis dalam pandangan Plato dapat dikatakan benar jika ia dihasilkan dari intuisi. Dengan didapatnya premis-premis yang benar, maka pernyataan yang dihasilkan dari premis itu bernilai benar juga. Jadi jelas dalam pandangan Plato bahwa rasio manusia = intuisi manusia/ide manusia.
               Lain halnya dengan Plato, Aristoteles lebih memberikan porsi dalam filsafatnya kepada alam nyata di dunia ini. Akan tetapi, tetap memegang prinsip yang ditelurkan oleh sang guru. Di sinilah baru saya pahami maksud filsafat Aristoteles yang percaya bahwasanya alam ini adalah sumber pengetahuan, disamping juga ia tetap memegang teguh keyakinan bahwa pengetahuan yang benar atau hakiki hanya bisa diperoleh melalui pikiran manusia atau idea (dalam istilah Plato). seperti yang dikatakan diatas, Aristoteles berpendapat bahwa rasio manusia haruslah berupa pengamatan induktif.
     Jadi sebelum melakukan proses rasionalitasnya, manusia dituntut terlebih dahulu untuk melakukan pengamatan inderawi atau persepsi terhadap alam sekitarnya. Dengan pengamatan itulah nantinya premis-premis dalam silogime akan didapat lalu disusun. Dan dengan begitu pula, sebuah pernyataan yang benar akan diperoleh dengan sendirinya. Pemikiran Plato dan Aristoteles adalah perbincangan awal seputar rasio dan rasionalitas menusia khususnya dalam tradisi filsafat tradisional.
           Selanjutnya datang seorang filosof bernama Francis Bacon. Dia menambahkan dan mengkritik pemikiran Aristoteles tentang rasio dan rasionalitas. Dia menegaskan bahwasanya bukan hanya rasio saja yang harusnya dibentuk melalui pengamatan induktif. Rasionalitas pun harus dibentuk dari pengamatan induktif juga, bukan dari premis-premis silogisme yang dibentuk Aristoteles. Dengan begitu, pernyataan yang dihasilkan akan mengandung kebenaran yang lebih kuat. Dari sinilah makna dan pendefinisian rasio dan rasionalitas mulai mengalami pergeseran.
             Lalu datang Immanuel Kant, salah seorang filosof madzhab kritis merombak besar-besaran terhadap pengertian rasio dan rasionalitas yang telah disusun oleh filosof tradisional. Dalam istilah k
Kant rasio disebut vernunt dan rasionalitas disebut verstand. Menurut Kant, bukanlah vernunt yang menjadi dasar dan memberikan prinsip awal bagi verstand, akan tetapi sebaliknya. Verstand-lah yang menjadi dasar dan memberikan prinsip awal bagi vernunt. Dengan begitu dapat dipahami bahwasanya kant mendudukkan rasionalitas sebagai dasar atau landasan yang lebih tinggi daripada rasio.
   Sejauh yang saya pahami, ini disebabkan oleh sikapnya yang memberikan porsi seimbang bagi rasionalisme dan empirisme dalam pemikiran filsafatnya. Sebagaimana yang telah diketahui, Kant percaya bahwa manusia hanya dapat mengetahui hal-hal yang fenomena atau dapat dipersepsi. Sedangkan hal-hal yang hakikat atau nomena, mustahil diketahui oleh manusia. Hal ini berdampak pada pemahamannya terhadap rasio dan rasionalitas. Mengapa ia dudukkan rasionalitas sebagai fakultas yang lebih tinggi daripada rasio?, Tak lain adalah karena kepercayaan Kant akan kemampuan manusia mengetahui hal-hal yang fenomena. Dia ingin menekan kepercayaan rasionalisme (Plato dan Aristoteles) yang terlalu berlebihan dalam mendefinisikan peran ide, dengan mendudukkan rasio yang oleh para tokoh filosof diatas diletakkan pada tempat yang tertinggi, di tempat yang lebih rendah dibawah rasionalisme.
   Menurut Kant, rasio hanyalah berperan sebagai penghias bagi ide-ide yang dihasilkan oleh rasionlaitas. Rasionalitaslah yang menjadi dasar, pemberi prinsip awal, dan bahkan rasionalitaslah yang membentuk pikiran manusia. Pada pemikiran Kant inilah lengkap sudah kisah pergeseran makna yang dilalui oleh rasio dan rasionalitas. Dari sini lalu muncul berbagai pandangan yang terkesan mengabaikan rasio. Seperti Feyerabend yang mengatakan “farewell to reason”. Bahkan filosof posmodernisme seperti Wittgenstein, lebih jauh lagi menolak secara total keberadaan rasio manusia.
               Lalu apa yang ditawarkan para filosof posmodernisme terhadap pendefinisian dan pengkategorian dari rasionalitas setelah ucapan selamat tinggal mereka pada rasio?. Dari pemikiran tokoh posmodernisme seperti Jean Francois Lyotard dapat dipahami bahwasanya para filosof posmodernisme percaya akan adanya rasionalitas yang plural atau pluralitas paradigma. Dan seperti yang telah dibahas pada tulisan sebelumnya, bahwa dalam pluralitas paradigma Lyotard meniscayakan adanya kebebasan dalam keberagaman tersebut.
   Artinya dia bermaksud membiarkan masyarakat atau manusia berada dalam keberagaman rasionalitas tersebut. Karena seperti yang diyakininya, pada setiap rasionalitas atau paradigma yang muncul tersebut selalu mengandung nilai kebenaran walaupun hanya berupa potongan-potongan kecil saja. Dan karena manusia adalah tipe masyarakat yang plural, berbagai paradigma atau rasionalitas yang muncul tersebut tidak bisa begitu saja direduksi antara satu dengan lainnya, tidak bisa diakumulasi menjadi satu rasionalitas dan satu paradigma, karena setiap paradigma yang muncul memiliki prinsip dan konsepnya sendiri. Dengan begitu, biarlah rasionalitas menari-nari dalam keberagaman tersebut.
               Habermas sebagai tandingan Lyotard dalam tulisan sebelumnya juga menyakini adanya pluralitas paradigma atau rasionalitas. Akan tetapi, berbeda dengan filosof posmodernisme yang mengemukakan jenis-jenis yang jauh lebih banyak atau mungkin tak terhingga dari rasionalitas, ke-plural-an rasionalitas ini oleh Habermas hanya dikategorikan menjadi tiga macam: (1) rasionalitas kognitif, (2) rasionalitas moral, (3) rasionalitas estetika. Ketiga jenis ini juga dipahami oleh Habermas sebagai konsep yang memiliki cara pandang yang otonom didasari oleh prinsip-prinsip dan metodenya sendiri.
              
Kesimpulan
Dari penelusuran yang telan dilakukan diatas dapat ditangkap beberapa point penting mengenai perbincangan rasio rasionalitas dikalangan para filosof, baik dari pemahamannya, pergeseran makna yang terjadi, kritik-kritik yang mewarnai serta dasar-dasar perumusannya. Pertama, bahwa perbincangan masalah rasio dan rasionalitas sudah ada sejak periode filsafat tradisional yang dimotori oleh Plato dan Aristoteles. Mereka menempatkan rasio sebagai dasar atau konsep yang lebih tinggi daripada rasionalitas dalam alam berpikir manusia, walaupun dalam masalah penetapan rasio keduanya berbeda pendapat. Kedua, Immanuel Kant memutar balikkan apa yang diyakini oleh dua filosof tradisional tersebut dengan mendudukkan rasionalitas sebagai dasar yang paling tinggi daripada rasio. Ketiga, rasio mulai ditinggalkan bahkan dibuang dengan kedatangan filosof posmodernisme. Rasionalitaslah yang akhirnya mendapatkan porsi total sebagai dasar legitimasi bagi kesadaran manusia.