Senin, 29 Juli 2013

Seri Sejarah Epistemologi Filsafat [1]: Penelusuran konsep Kesadaran



Penelusuran Peta Pemikiran Filsafat Tentang “Kosep Kesadaran dan Keterbukaan Manusia” Mulai Periode Yunani hingga Abad Modern.

Berbicara tentang konsep kesadaran manusia berarti akan dibicarakan juga tentang konsep pikiran dan rasio manusia. Karena sebagaimana yang telah diketahui sebelumnya, kesadaran atau sadar merupakan salah satu bentuk kerja atau aktivitas dari berpikir pada otak manusia. Oleh karena itulah penelusuran konsep kesadaran manusia akan dimulai dari peta pemikiran filsafat tentang alam pikiran manusia, rasio manusia sejak periode yunani, yang akan dilanjutkan oleh pemikiran para filosof selanjutnya hingga abad ke-20. Berikut adalah penelusuran secara kronologis tentang konsep kesadaran manusia mulai periode yunani hingga abad modern.

Konsep Kesadaran Periode Yunani hingga Abad Pertengahan
Plato [427 SM-347 SM] adalah salah seorang dari tiga filosof Athena. Dia dilahirkan di Athena dan hidup selama lebih kurang 80 tahun lalu meninggal pula disana pada tahun 347 SM. Sejak berumur 20 tahun plato telah mengikuti pelajaran dan menjadi murid setia dari Socrates. Jadi tidak mengherankan jika soctares mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pandangan-pandangannya, bahkan menjadi panutan hingga akhir hayatnya.
               Dalam pemikiran filsafatnya tentang pikiran manusia, plato berkeyakinan bahwa dunia lahir adalah dunia pengalaman yang selalu berubah-ubah dan berwarna-warni. Kesemuanya itu adalah bayangan dari dunia ide. Sebagai suatu bayangan, hakikatnya adalah tiruan dari yang asali yaitu dunia ide manusia. Oleh karena sebuah tiruan, dunia lahir dapat berubah-ubah dan menyesuaikan diri. Pandangan ini dikenal dengan nama teori idea. Yakni bahwasanya yang benar-benar hakiki ialah apa yang ada dalam ide manusia, bukan apa yang dia lihat dari dunia kenyataan yang dialaminya. Dari sinilah plato dikenal sebagai salah seorang pelopor rasionalisme, yang nantinya akan dilanjutkan oleh Descartes pada abad modern. Dengan memandang manusia sebagai mahluk rasional, plato meyakini bahwa rasio dan jiwa manusia merupakan satu-satunya yang mampu memahami kenyataan dan kebenaran sejati. Dalam pandangannya juga, fungsi rasio manusia merupakan salah satu fungsi yang terdapat dalam kesadaran. Oleh karena itu, rasio atau intelek menjadi penentu dimana manusia mampu menyadari dirinya sendiri dan dunia yang ada disekitarnya baik secara konkret maupun abstrak. Bukan dari pengalaman atau apa yang dilihatnya, melainkan dari apa yang dipikirkannya. Dan mengetahui, bahwasanya dunia yang dialaminya hanyalah sebentuk dari pantulan yang dihasilkan oleh alam ide itulah, manusia dapat dikatakan sadar dan menyadari.    
               Akan tetapi, bagus takwin dalam bukunya ini menyatakan bahwa pandangan yang ditawarkan plato dan para pengikutnya merupakan suatu model kesadaran yang tertutup. Dalam artian, manusia hanya ditekankan untuk memandang ke dalam jiwanya sendiri untuk mengetahui suatu kenyataan yang sejati dan untuk dikatakan sadar akan kebenaran yang hakiki. Bukan memandang ke luar jiwanya. Yakni bahwasanya apa yang terdapat dalam dirinya, jiwanya dan idenya merupakan satu kebenaran dan kenyataan yang hakiki, sedangkan hal-hal, atau kenyataan di luar dirinya, yang terpampang pada kenyataan yang dialami dan terlihat oleh matanya adalah satu bentuk kepalsuan dan hanyalah tiruan dari apa yang ada dalam idenya. Inilah yang dikatakan bagus takwin sebagai kesadaran tertutup. Tertutup hanya sebatas dirinya sendiri.
               Aristoteles [384 SM-322 SM]. Lahir di stageira pada semenanjung kalkidike di trasia dan meninggal pada usia 63 tahun di kalkis. Dia adalah salah seorang dari murid di academia plato. Setalah kematian ayahnya pada saat dia berumur 18 tahun dia lalu berangkat menuju Athena untuk belajar disana. Selama kurang lebih dua puluh tahun dia bergelut dengan pemikiran plato dan bergaul dengannya, serta mengumpulkan dan membaca banyak buku. Disamping juga dia banyak mengikuti kajian untuk memperluas pengetahuannya di luar academia. Salah satunya dia juga memperdalam ilmu astronomi kepada euxodos dan kalippos waktu itu.
               Gagasannya tentang “kesadaran” sebanarnya tidak jauh dari apa yang dipahami gurunya plato. Akan tetapi, dia mengkritik gurunya tersebut yang terlalu berlebihan membela dunia ide tanpa mengindahkan adanya alam inderawi yang terlihat dan dapat dirasakan. Menurut aristoteles alam nyata atau dunia lahir juga merupakan salah satu sumber pengetahuan bagi manusia untuk mengetahui kenyataan dan kebenaran yang sejati. Walaupun pada akhirnya aristoteles juga kembali kepada prinsip yang diusung oleh gurunya tersebut, yakni bahwasanya yang dapat memberikan manusia kebenaran dan kenyataan sejati hanyalah alam ide. Selain itu palsu. Dan oleh karenanya manusia disebut sadar. Dengan penolakan sekaligus pembenaran terhadap pandangan gurunya itu kemudian aristoteles mengemukakan sebuah konsep yang dikenal dengan nama logika. Aristoteles menyatakan bahwasanya alam inderawi merupakan sumber pengetahuan bagi manusia. Akan tetapi untuk menemukan dan mengetahui kebenaran yang sejati, seseorang haruslah mengikuti cara-cara yang diajukannya, yakni dengan menggunakan rasionalitasnya.
               Selain itu aristoteles juga menegaskan bahwasanya segala yang ada di dunia ini terkena prinsip teleologis ; segala sesuatu bergerak menuju satu tujuan, yaitu kepada satu penggerak yang tak tergerakkan, yang disebut sebagai prima causa. Begitu juga manusia. Manusia sejak kemunculannya di dunia ini sudah terkena hokum determinisme. Segala sesuatu yang berkaitan dengannya sudah ditentukan oleh kekuatan yang ada di luar dirinya, yakni prima causa tadi. Dengan begitu, rasio dan logika manusia mau tidak mau juga menuju kepada satu titik tersebut. Karena itulah, rasio yang digagas oleh aristoteles menurut bagus takwin merupakan rasio tertutup.
               Santo Augustinus [354-430 M] lahir di Tagasta, Numidia Algeria pada tanggal 13 November 354 M dan meninggal pada tanggal 28 Agustus 430 M. sejak lahir augustinus sudah mendapatkan berbagai macam pelajaran tentang ke-kristenan dan tuhan. Hal ini dapat dimaklumi karena memang ia terlahir dari orang tua penganut Kristen yang taat. Ayahnya paticius adalah salah satu pejabat kekaisaran romawi, sedangkan ibunya monica adalah salah seorang perempuan yang dikenal taat terhadap aturan dan ajaran agama Kristen. Tak heran pada akhirnya augustinus menjadi seorang pendeta karena desakan yang besar dari penduduk di tempat tinggalnya.
               Dalam pandangannya tentang tuhan dan realita yang hakiki, augustinus memang terpengaruh oleh filsafat yang diperkenalkan plato. Ini terlihat dati keyakinannya bahwa tidak ada realitas di luar tuhan. Bedanya, plato beranggapan bahwasanya kebenaran yang hakiki terletak pada dunia ide, sedangkan augustinus lebih meyakini bahwa kebenaran dan realita hakiki hanyalah dimiliki oleh tuhan semata. Mengapa bisa demikian?, dia mengatakan bahwasanya hakikat yang sebenarnya adalah sebab awal, asal muasal yang paling asali. Sedangkan menurut dia tidak ada sesuatu yang dapat menjadi sebab awal kecuali tuhan. Oleh karena itulah tuhan merupakan hakikat sebenarnya, realitas dan esensi yang paling hakiki. Selebihnya, hal-hal yang berada di luar dan terpisah dari tuhan merupakan sesuatu yang fana dan palsu.
               Disisi lain ia juga meyakini bahwasanya pemikiran dapat mengenal kebenaran. Sebab itulah dia menolak skeptisisme. Adapun hal-hal yang berkaitan dengan beragamnya kebenaran tentang benar, kebenaran tentang indah atau kebenaran tentang baik, akan mendesak manusia untuk dapat menentukan ukuran kebenaran yang absolut dan memperolehnya, yaitu tuhan. Pada intinya, ajaran atau pandangan augustinus terfokus pada pembahasan tentang Tuhan. Dan sejauh yang saya pahami pandangan augustinus juga merupakan rasio tertutup. Karena dia hanya memfokuskan pandangannya hanya pada satu titik yakni tuhan. Adapun hal-hal yang berada di luarnya, tidak dia bahas secara merinci.    
               Thomas Aquinas menggunakan apa yang dinamakannya dengan common sense untuk memberi pengertian pada konsep kesadaran. Dalam bukunya bagus takwin tidak menjelaskan secara luas perihal pandangan Aquinas tentang konsep kesadaran manusia. Intinya, Aquinas meyakini bahwasanya manusia dapat menyadari sesuatu dengan pengalaman inderawi dan persepsinya. Akan tetapi itu tidak cukup bagi dia untuk dikatakan sadar atau menyadari. Masih dibutuhkan akal sehat atau common sense sebagai satu bagian dimana manusia dapat secara utuh menyadari hal-hal yang berada di luar dirinya. Akal sehat disini berfungsi sebagai alat pengindera bagi pengalaman inderawi manusia. Seperti contoh yang diberikan : yakni semisal seseorang yang adapat melihat bahwasanya dia sedang melihat sesuatu. Proses penginderaan oleh akan sehat terhadap pengalaman inderawi itulah yang disebut Aquinas sebagai kesadaran.
Konsep Kesadaran Abad Modern
Pada periode ini konsep tentang tahu, mengetahui dan pengetahuan manusia berkutat diseputar pertarungan antara filosof rasionalisme dan empirisme semisal Descartes, Leibniz, John Locke dan David Hume, yang kemudian didamaikan oleh kritisme Immanuel Kant. Pertarungan tentang konsep tahu, mengetahui dan pengetahuan manusia inilah nantinya yang akan berimbas besar pada pengenalan tentang konsep kesadaran pada abad modern. Berikut ulasannya :
               Rene Descartes [1596-1650 M] dikenal sebagai bapak filsafat modern. Dengan meneruskan tarekat filsafat yang diusung plato, Descartes dikenal sebagai filosof yang sangat berpengaruh bagi pemikiran-pemikiran filsafat setelahnya. Sebagaimana yang diyakini oleh mursyidnya yaitu plato, dia juga meyakini bahwasanya akal atau rasio manusia adalah satu-satunya sumber kebenaran. Dia menegaskan bahwasanya kebenaran hanya akan diperoleh dari satu tindakan akal yang dia sebut sebagai ideas claires el distinctes, yakni satu tindakan akal yang terang benderang dan terpilah-pilah. Pikiran yang terang benderang ini adalah pemberian tuhan sejak sebelum seseorang dilahirkan yang Descartes namakan dengan ideas innatae atau ide bawaan. Jadi mustahil tidak benar.  
               Disamping itu dia juga menetapkan satu metode dalam filsafatnya sebagai jalan untuk mendapatkan hasil yang benar-benar logis, yakni suatu metode yang dikenal sebagai metode keragu-raguan. Tesisnya “cogitio ergo sum” mengindikasikan dua hal. Pertama, bahwa dengan meragukan segala sesuatu, manusia akan dapat memperoleh kebenaran yang hakiki. Kedua, mengisyaratkan bahwasanya rasio yang memandang diri sendiri adalah penentu bagi keberadaan subjek dan benda-benda disekitarnya.
               Pertama “dengan keraguan, manusia akan memperoleh kebenaran hakiki”. Disini Descartes menyuruh kita untuk terus menerus melakukan “keraguan” terhadap pengetahuan yang kita miliki, termasuk kebenaran-kebenaran yang kini dianggap telah final dan pasti. Dan pada akhirnya segala sesuatu mau tidak mau harus ditempatkan dalam genggaman keragu-raguan, kecuali tentang diri kita sendiri yang sedang berpikir dan beragu-ragu ria. Artinya, kita boleh saja meragukan benda-benda yang terhampar dihadapan kita, mempertanyakan apakah benda tersebut sama dengan apa yang kita sadari ataukah hanya ilusi inderawi belaka., namun kita tidak mungkin meragukan keberadaan diri kita yang sedang meragukan benda-benda tadi. Setidaknya inilah pemahaman pertama dari cogito ergo sum diatas. Kedua, tesis itu juga mengisyaratkan bahwa sadar atau melakukan refleksi terhadap diri sendiri merupakan penentu bagi keberadaan subjek dan benda-benda disekitarnya. Didalam pembahasan filsafat modern, cogito disini lebih dipahami sebagai menyadari daripada hanya sekedar berpikir. Oleh karena itu dapat dipahami, “aku sadar, maka aku ada”, benda-benda akan “ada” karena aku sadari, begitu juga diriku, akan “ada” ketika aku menyadarinya. Sebaliknya, ketika tidak sadar, maka si subjek ataupun benda-benda yang ada disekitarnya dianggap tidak ada. Dengan demikian kesadaran saja merupakan syarat cukup (sufficient condition) dan sekaligus syarat niscaya (necessary condition) dari pengetahuan manusia.
               Akan tetapi, disamping keraguan yang terus menerus dilakukannya itu Descartes meyakini bahwa ada kebenaran yang tidak patut diragukan lagi. Kebenaran yang sudah ada pada diri manusia sejak ia lahir, kebenaran yang dianugrahkan oleh tuhan ke dalam diri manusia, kebenaran yang seperti saya katakan diatas merupakan sebuah ideas innatae atau ide bawaan dalam pandangan Descartes. Yaitu : Tuhan, pemikiran, dan keluasan. Ketiga hal inilah yang ditawarkan Descartes sebagai sesuatu yang clear and distinct, suatu perkara yang sangat mendasar, dimana tidak aka nada lagi akar terdalam yang dapat ditemukan manusia kecuali tiga hal tersebut. Mengapa demikian?, karena klaim kebenaran tentang apa pun, sejalan dengan tak tergugatnya diri sebagai subjek berpikir, hanya akan ditemukan validitasnya didalam keterampilan nalar didalam diri subjek yang berpikir itu sendiri, bukan pada objek yang diamati. Apa yang aku sadari terdapat dalam kesadaranku, kepalaku. Tak ada alasan untuk mempercayai penampakan buram dari objek yang kita amati. Karena itulah, sesuatu yang jelas dan tegas, Ideas innatae merupakan sesuatu yang paling mendasar dan tak perlu dipertanyakan lagi kebenarannya.  Kesimpulannya, apa yang dinamakan kesadaran menurut Descartes adalah sebuah refleksi atau introspeksi kritis yang mempertanyakan refleksi diri manusia.
Leibniz [1646-1716 M] tidak berbeda jauh dengan apa yang ditegaskan oleh Descartes. Dia juga mengatakan bahwasanya kebenaran substansial hanya bisa diperoleh dengan akal atau rasio manusia. Akan tetapi Leibniz memiliki konsep tersendiri dalam merumuskan pandangannya tentang kesadaran manusia, yang dinamakan konsep monad (gelembung). Rasio manusia menurut Leibniz adalah sekumpulan monad, yang antara satu monad dengan monad yang lainnya berbeda dan beragam. Dia mengatakan persepsi manusia adalah representasi dari benda eksternal pada tataran dalam monad, sedangkan kesadaran manusia merupakan sebuah pengetahuan reflektif dari tataran dalam monad. Dari sini dapat dipahami bahwasanya kesadaran manusia merupakan suatu hasil atau tindak lanjut dari proses representasionalisasi tataran dalam monad terhadap benda-benda eksternal, yang kemudian melahirkan sebuah pengetahuan reflektif yang disebut sebagai kesadaran akan benda-benda tersebut. Jadi, baik persepsi maupun kesadaran manusia semuanya berpusat pada kumpulan monad tersebut. Kesimpulannya, karena monad berada dalam subjek yang berfikir dan sekaligus menjadi sumber pengetahuan baginya, maka bagus takwin juga menggolongkan rasio Leibniz kedalam rasio yang tertutup.
John Locke [1632-1704 M] adalah seorang empiris yang menentang ajaran kaum rasionalis. Di tidak sepakat dengan filosof rasionalis yang telah disebutkan sebelumnya dalam beberapa hal. Pertama, dia menolak bahwa dengan melakukan refleksi kritis tehadap refleksinya, manusia akan menemukan ide yang paling murni tentang keberadaannya. Lebih jauh, dia menolak bahwa rasio adalah alat satu-satunya dalam memproleh pengetahuan sejati. Kedua, dia juga menolak terhadap apa yang disebut ideas innate-nya Descartes, adequate ideas-nya Spinoza dan truth of reason-nya Leibniz. Dia beranggapan, yang dinamakan ide bawaan itu tidak ada.
Pertama ia menolak bahwasanya rasio adalah satu-satunya alat bagi manusia untuk memperoleh pengetahuan sejati. Locke beranggapan bahwasanya manusia akan dapat mengetahui sesuatu dengan panca inderanya. Dengan konsepnya yang dinamakan representasionalisasi, locke menjelaskan cara kerja indera dalam perannya sebagai sumber bagi pengetahuan sejati manusia. Pertama-tama, dia menjelaskan bahwa objek atau benda-benda memiliki semacam daya yang nantinya akan memunculkan kesan subjektif dalam diri manusia. Lalu akal dan budi manusia yang dianggap seumpama dengan lembaran kertas kosong, mulai membaca data mental yang telah ditarnsmisikan oleh kerja keras indera tersebut. Jadilah persepsi manusia mendudukkan data mental tersebut sebagai objek langsungnya. Dengan begitu, manusia dikatakan sadar, sekalipun benda atau objek yang diluar sana tidak lagi dianggap selain sekelebat kehadiran representasinya sebagai ide yang hadir bagi kesadaran manusia. Kedua, Locke juga mambantah dengan tegas bahwa tidak ada ide bawaan pada diri manusia. Seperti yang telah dijelaskan diatas. Budi atau akal setelah lahir menurut Locke adalah serupa lembaran kertas kosong putih yang masih bersih dari coretan-coretan atau goresan-goresan pena. Jadi tidak ada ceritanya, setelah lahir bayi memiliki ide atau akal yang telah ditulisi dengan apa yang dianggapkan oleh Descartes. Semuanya masih bersih, masih kosong setelah mereka lahir. Nah, pengalaman inderawilah yang nantinya akan mewarnai, mencorat-coret lembaran budi mereka, selama masa kehidupan yang akan mereka alami di dunia ini. Dengan inderalah seorang manusia memperoleh pengetahuan dan mendapatkan kebenaran tentang sesuatu, bukan rasio. Kata John Locke.
David Hume [1711-1776 M] adalah seorang empiris yang paling radikal dalam mengaplikasikan prinsip-prinsip empiristis. Dia bukan hanya memandang bahwasanya manusia dapat memperoleh kebenaran dan pengetahuan sejati dengan pengalaman inderawinya, dan membantah anggapan bahwa rasio merupakan satu-satunya sumber pengatahuan sejati bagi manusia. Lebih jauh lagi dia menolak adanya rasio. Hume menganggap rasio hanyalah bualan dan hayalan para kaum rasionalis belaka. Ia menganggap rasio hanyalah sebuah penamaan saja, tak lebih, dan bukan suatu hal yang nyata. Yang nyata menurut hume adalah pengalaman-pengalaman yang dialami manusia, yang datang silih berganti, yang dapat dipilah-pilah satuannya. Manusia bagi hume tak lebih hanyalah sekumpulan persepsi yang berubah-ubah setiap harinya. Seseorang tidak akan dapat mendapati dirinya tetap, melainkan dirinya yang terus berubah, yang terus mengalami setiap saatnya. Dengan pandangan ini otomatis Hume menolak bahwa manusia adalah mahluk yang rasional. Rasio baginya hanyalah hal yang pasif, dan seperti yang dikatakan diatas, dia menolak mentah-mentah rasio.
Immanuel Kant [1724-1804 M] adalah filosof yang mengusung madzhab kritisisme yang nantinya akan melahirkan aliran filsafat kantianisme. Dia dalam filsafatnya berupaya untuk mendamaikan, dan mengadakan penyelesaian atas pertikaian yang terjadi antara kaum rasionalis dan kaum empiris.
Kant membagi pemahaman dan pengalaman manusia menjadi dua bagian. Pertama pemahaman dan pengalaman empirical (apersepsi empirik), kedua pemahaman dan pengalaman transedental (apersepsi transendental). Apersepsi empiric dipengaruhi oleh keadaan-keadaan luar diri manusia. Oleh karena itu penampakannya bersifat pasang surut dan terus berubah-ubah. Pandangan ini didasarkan pada anggapan kaum empiris bahwasanya pengalaman inderawi adalah sumber pengetahuan bagi manusia. Sedangkan apersepsi transedental sebaliknya, tidak terpengaruh oleh hal-hal yang berada diluar diri manusia. Dia bersemayam dalam diri manusia sebagai sebuah kesadaran murni sejak lahir, kant menyebutnya kesadaran murni. Oleh karena itu sifatnya ajeg dan tidak berubah-ubah. Pemahaman ini oleh kant didasarkan kepada anggapan kaum rasionalis bahwa rasio merupakan satu-satunya alat bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang sejati. Dari sini menjadi jelas bahwa kant memang sedang mengupayakan adanya perdamaian diantara dua kaum diatas. Dia menganggap masing-masing dari kaum rasionalis dan empiris terlau banyak memberikan porsi atau melebih-lebihkan terhadap konsep yang mereka tawarkan dalam rangka mendefinisikan sumber pengetahuan sejati bagi manusia.   
Gampangnya, kant membagi hal-hal yang berada diluar diri manusia menjadi dua macam, nomena dan fenomena. Fenomena adalah penampakan inderawi dari obejk-objek yang bisa diamati oleh persepsi manusia. Semisal bentuk kursi, mobil, gunung, dan lain-lain. Sedangkan nomena adalah substansi yang ada dalam objek atau penampakan tersebut. Subsatnsi yang hakiki, yang oleh kant dinamakan das ding an sich atau sesuatu yang terdapat didalam, syai’ fi dzatihi. Menurut kant, manusia hanya akan dapat mengetahui penampakan-penampakan fenomenal saja, dari benda-benda yang mereka amati. Adapun masalah nomena benda tersebut, mustahil bagi manusia untuk mengetahuinya, kata kant.