Jumat, 10 Januari 2014

Problem Islam dan Politik Perspektif “Kritik Nalar Politik” Muhammad Abed al-Jabiri [1]

Ahmad Baso

“Menurut saya seharusnya kita menghindari sebutan “ilmaniyah” (sekularisme) dari kamus pemikiran (politik) Arab. Sebagai gantinya, kita memakai wacana “demokrasi” dan “rasinalisme”, karena keduanya ini menunjukkan dengan tepat kebutuhan masyarakat Arab. Demokrasi berarti penghargaan atas hak-hak individu dan kelompok; sedang rasionalisme berarti bahwa sebuah prilaku politik menjadikan akal, ukuran logika dan nilai-nilai etika sebagi prinsip dasarnya, bukan atas dasar ambisi, fanatisme, dan interes-interes pribadi. ...demokrasi dan rasionalisme (dalam politik) tidaklah mesti berarti mengabaikan faktor Islam...”
__ Muhammad Abed al-Jabiri

Muhammad Abed al-Jabiri, pemikir asal Maroko kelahiran 1936, lebih dikenal dengan proyek “Kritik Nalar Arab”-nya. Dalam membangun tradisi kritik dalam pemikiran Islam ini al-Jabiri membutuhkan tak kurang dari 20 tahun, sejak awal 1970-an, yang dihabiskan untuk menghasilkan sebuah buku, di antaranya yang terkenal adalah trilogi Naqd al-‘Aql al-‘Arabi (terdiri dari 1200 halaman lebih).[1] Belakangan ini, al-Jabiri mulai menekuni persoalan hubungan antara Islam dan politik, atau apa yang disebutnya sebagai “al-‘Aql al-Siyasi al-‘Arabi”.[2]

Kendati dalam seri ketiga triloginya itu ia telah memaparkan latar belakang historis formasi pembentukan nalar politik Arab sejak masa Rasulullah, namun dalam karya terakhirnya, berjudul Wijhah al-Nazhr nahw ‘I’adah Bina’ Qadlaya al-Fikr al-Arabi al-Mu’ashir (1992), ia lebih jauh mengelaborasi kritik nalar politik tersebut. Termasuk tawaran-tawaran konseptual menyangkut hubungan agama dan politik seperti yang menjadi persoalan di kalangan masyarakat Islam pada umumnya. Yang dimaksud al-Jabiri dengan “nalar politik Arab” atau “aql al-waqi’ al-araby”, adalah “batasan-batasan prilaku politik beserta manisfestasinya dalam kebudayaan Arab dan Islam sejak masa Rasul hingga kini”. Bila dalam kritik nalar Arab yang ditekankan adalah bagaimana akal memproduksi dan mereproduksi pengetahuan, maka dalam kritik nalar politik ini yang digaris bawahi adalah proses berpolitik yang dilakukan kalangan umat Islam untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan.

Islam, Din wa Daulah
Persoalan pertama yang dihadapi al-Jabiri adalah bagaimana memahami problem yang sering diangkat di kalangan Islamis dalam politik, yaitu Islam sebagai din (agama) dan daulah (negara). Di sini, ia berupaya menghindari pertanyaan relasi din dan daulah tersebut dari sisi yang dipahami selama ini. Misalnya bahwa Islam adalah din, bukan daulah, seperti yang dipahami kalangan liberal dan sekularis, atau bahwa Islam din dan daulah sekaligus, seperti yang dianut kaum Islamis. Ia justru ingin mempertanyakan makna dualisme din/daulah ini: benarkah Islam dalam sejarahnya mengenal dualisme tersebut, ataukan dualisme itu sebenarnya hasil dari konstruksi yang keliru dari cara pandang umat saat ini dalam melihat kaitan Islam dan politik? Bila konstruksi tersebut keliru, lalu bagaimana kita memahami doktrin “Islam din wa daulah” tersebut?
            
Dari sini al-Jabiri mulai menganalisa sejarah politik Islam sejak masa Nabi. Analisa historis seperti ini telah dilakukan dalam al-Aql al-Siyasi al-Arabiy. Namun ada satu hal yang ingin diangkatnya dalam konteks dualisme din/daulah ini, yaitu faktor penting pertemuan kaum Muhajirin dan kaum Anshar dalam Saqifah Bani Saidah setelah wafatnya Nabi untuk menentukan khalifah. Pertemuan tersebut, menurut al-Jabiri, merupakan kerangka rujukan utama (ithar marji’iy ra’isiy) bagi kaum Sunni dalam membangun sistem khalifah dan prilaku politik mayoritas kaum Muslim hingga kini. Ada tida poin yang dicatat al-Jabiri sebagai “fondasi teoritis” (ashl) dari pertemuan Saqifah itu bagi nalar politik Arab:
            
Pertama, persoalan politik umat Islam saat itu dibatasi pada soal figur yang akan menjadi penguasa bagi kaum Muslimin, dan bukan pada negara sebagai sebuah institusi dan sistem. Figur ini diangkat berdasarkan bai’ah, mengikuti aturan Quran dan Hadist, dan memangku jabatan dalam tempo yang tidak terbatas. Serta ia tidak pula terikat dengan syarat-syarat yang berkaitan dengan soal kelembagaan, sarana dan sistem, sehingga memungkinkannya mengendalikan kekuasaan mutlak yang ada pada adanya. Soalnya, kaum Muslimin menyerahkan sepenuhnya kepadanya kewenangan melaksanakan administrasi pemerintahan, mulai dari soal pengangkatan pejabat pembantu, menteri dan gubernur, serta tidak pula mengharuskan adanya pengawasan kepada penguasa tersebut. Karena, setelah berlangsungnya sumpah setia atau bai’at tersebut, ia sepenuhnya bertanggung jawab kepada Tuhan, dan bukan kepada yang membai’atnya. Kewajiban mereka hanyalah mentaati khalifah, selama tidak memerintahkan hal-hal yang bersifat kedurhakaan kepada Tuhan (la tha’ah li makhluqin fi mas’shiyah al-khaliq).
             
Kedua, teori politik Sunni mengharuskan adanya penguasa atau khalifah tunggal. Artinya, hanya satu khalifah yang dibenarkan berkuasa di dunia Islam. Bisa saja ada menteri atau gubernur yang berfungsi menggantikan fungsi khalifah dalam fungsi-fungsi tertentu. Tapi, secara teoritis fiqhiyah, khalifah tetap harus satu. Kendati dalam kenyataannya umat Islam juga mengenal sejumlah khalifah dalam waktu yang sama, sepetti kekhalifahan Umayyah di Andalus, Fathimiyah di Kairo, dan Abbasiyah di Baghdad.
             
Ketiga, menurut kaum Sunni, khalifah ditentukan berdasarkan pemilihan atau ikhtiyar, dan bukan dengan wasiat atau nash sepetti yang diyakini kaum Syi’ah. Soalnya, menurut mereka, selama para shahabat berselisih dalam soal pengganti Nabi dan lalu bersepakat pada Abu Bakar selaku pemimpin mereka, maka itu berarti Nabi tidak memberi pesan atau menentukan apapun soal penggantinya setelah wafat. Implikasinya, untuk menentukan siapa yang berhak menjadi khalifah, yang jadi pertimbangan adalah soal kemampuan dan kekuatan. Maka, berlakulah doktrin berikut: barang siapa yang maju menghendaki jabatan khalifah, punya kekuatan yang riil, serta punya massa yang mendukungnya, ikhlas atau terpaksa, maka ia berhak menjadi khalifah. Mayoritas umat di abad-abad pertama menghendaki khalifah berasal dari suku Quraisy, namu akhirnya dikritik kelompok Islam lainnya yang tidak berasal dari suku tersebut. Namun demikian, seperti dikatakan al-Jabiri, yang menjadi faktor penentu pada akhirnya adalah faktor kekuatan, dan bukan faktor keturunan. Sebagaimana halnya dengan bai’ah yang sebenarnya baru berlaku setelah orang yang menuntut kursi khalifah berhasil merebut kekuasaan. Singkatnya, secara praktis, bai’ah hanya merupakan ungkapan lain dari sikap pasrah atas status quo.[3]
            
Maka, sebagai kesimpulan, al-jabiri menyatakan bahwa teori khilafah Sunni secara umum merupakan upaya untuk melegalisir status quo, dan bukan berorientasi trasnformasi yang ditujukan untuk merubahnya. Sehingga praktis tidak ada perbedaan antara teori-teori kaum fuqaha tentang khilafah dan kenyataan politik umat Islam. Sesuatu yang pasti secara syar’i dalam konteks di atas adalah keharusan adanya waliyul amri yang akan melaksanakan hukum-hukum agama. Sedang menyangkut persoalan negara, yang ditekankan sejak pertemuan Saqifah adalah terwujudnya pemerintahan yang didasarkan pada pertimbangan kekuatan dan kekuasaan, baik kekuatan materiil maupun non-materiil. Dan karena semuanya adalah kaum muslimin, problem hubungan din dan dulah tidak pernah dibayangkan atau terpikirkan. Sebab, segala sesuatunya di kalangan masyarakat Islam saat itu adalah berasaskan Islam, selain yang diharamkan Allah swt. Baik melalui Qur’an maupun penegasan Nabi. Apalagi dimungkinkan bagi umat Islam, seperti dinyatakan sebagian tokoh aliran-aliran dalam Islam, untuk tidak butuh terhadap khalifah atau daulah selama masing-masing anggota masyarakat saling memenuhi kebutuhannya, tanpa mesti melalui daulah.[4]
            
Bila ini yang tergambar dalam tradisi politik Islam klasik, lalu dari mana berasal problem kaitan din wa daulah yang hingga kini mempengaruhi nalar politik atau pandangan dan prilaku politik bangsa Arab dan umat Islam umumnya? Dari sini al-Jabiri melihat bahwa akar-akar tumbuhnya problem tersebut muncul sejak perkenalan umat Islam, khusunya masyarakat Arab, dengan kemajuan peradaban Barat di satu pihak dan kemunduran dunia Islam di pihak lain. Tepatnya para paruh akhir abad 19 di mana umat Islam berada dalam kekuasaan Utsmani yang saat itu mengalami dekadensi. Yang memunculkan persoalan tersebut tampaknya adalah tulisan Botrus al-Bustani, penganut Kristen kelahiran Libanon dan pelopor Nahdlah (Kebangkitan Bangsa Arab Modern), dalam koran Nafir Suriyah tahun 1860. Al-Bustani menulis demikian:

            “Selama masyarakat Arab kita tidak bisa membedakan antara urusan agama, adyan, yang berkaitan dengan hubungan hamba dengan Tuhannya, dan urusan madaniyah, yang berkaitan dengan hubungan antara sesama manusia, antara sesama warga dalam satu negara, termasuk soal-soal politik dan kemasyarakatan, serta tidak bisa pula mereka bisa membedakan antara keduanya secara tegas dan pasti, maka mereka niscaya tak bakalan memperoleh keberhasilan, baik dalam salah satunya maupun kedua-duanya...
Dengan demikian, harus ada pemisahan yang tegas antara riyasah, yaitu kekuasaan spiritual, dan siyasah atau kekuasaan politik. Karena riyasah berkaitan dengan urusan batin yang tidak mengalami perubahan selama-lamanya. Sementara siyasah berkaitan dengan urusan yang bersifat ke luar, lahiriah, yang senantiasa berubah di setiap waktu dan tempat. Mencampur adukkan antara kedua jenis kekuasaan ini... tentu akan membawa kepada konflik di antara sesama kita, serta bakal membawa petaka dalam urusan agama dan undang-undang kita. Sehingga tidak berlebihan bila kami katakan, adalah musthil bila kedua urusan yang dicampuraduk itu akan membawa kepada tumbuh dan berkembangnya peradaban (yang maju)”[5]

Teks di atas menunjukkan dengan tegas upaya sekularisasi seperti dikenal Barat: antara kekuasaan agama dan kekuasaan politik, antara apa yang berlaku bagi Kaisar dengan apa yang berlaku bagi Tuhan. Dan sekularisasi semacam inilah yang dijadikan syarat kebangkita kaum Arab, seperti yang dipahami al-Bustani. Namun al-Jabiri tidak ingin memahami secara harfiyah teks di atas: ia ingin melacak akar-akar sejarah yang melatarbelakangi mmunculnya ide pemisahan antara yang bersifat din dan madani di atas. Al-Bustani hidup di masa ketika Libanon saat itu sedang dilanda konflik berdarah antara beberapa kelompok agama, khususnya antara Kristen Maronit dan kelompok Druz. Saat itu pula negeri kecil ini berada di bawah kekuasaan pemerintahan khalifah Utsmaniyah yang memerintah secara despotik atas nama Islam. Maka, satu-satunya jalan mencapai tujuan yang diidealkan, yakni Nahdlah atau kemajuan bangsa Arab, dalam bayangan al-Bustani, adalah “pemisahan atau kemerdekaan negeri Libanon dari kekuasaan agama kaum Turki Utsmani” di satu sisi, dan “meredakan konflik politik berbau agama dalam negeri dengan memisahkan urusan agama dengan urusan politik” di sisi lainnya.[6] Dengan demikian, simpul al-Jabiri, ada tiga faktor awal yang melatarbelakangi munculnya ide sekularisasi, persoalan konflik sektarianisme antara kelompok-kelompok agama, dan kesadaran tentang Nahdlah yang dikaitkan dengan pemisahan din dan daulah. Ketiga faktor inilah yang membedakan hubungan din dan daulah di masa Islam klasik.
  
Lalu, bagaimana konsekuensi dari ide pemisahan din dan daulah seperti  yang diajukan al-Bustani itu? Bagi al-Jabiri, ide tersebut lebih bersifat lokal, yakni negeri Libanon, yang membutuhkan penanganan yang spesifik pula. Karena bersifat lokal, maka tawaran yang diajukannya pun terbatas pada kondisi sejarah dan sosial dari lokalitas tersebut, dan tidak mencakup negeri-negeri lainnya. Libanon, misalnya, lanjut al-Jabiri, menghadapi persoalan konflik antara beberapa kelompok berdasar agama, seperti Kristen Maronit, yang merupakan kelompok mayoritas dan cukup berpengaruh, Druz, Kaum Syiah, kaum Sunni, dsb. Dari sekian konflik tersebut, Libanon akhirnya sampi pada titik perimbangan, sejak dekade 1940-an, di mana Maronit memperoleh kekuasaan atas kelompok-kelompok lainnya yang juga menikmati keuntungan-keuntungan tertentu. Sehingga secara relatif Libanon saat itu berada dalam situasi yang cukup demokratis. Namun, pada tahun-tahun selanjutnya, perimbangan tersebut terganggu karena Maronit tetap ingin mempertahankan status quo, baik politik maupun ekonomi, sementara kelompok-kelompok lainnya, yang sudah menikmati sedikit kemakmuran dan juga maju secara kultural, ekonomi dan demografis, tetap diabaikan hak-haknya dalam kekuasaan formal negara. Akibatnya, iklim demokrasi yang telah tercipta di tahun 40-an akhirnya tercabik-cabik dan tidak bisa lagi memenuhi tuntutan perkembangan masyarakat akan keadilan sosial dan demokrasi politik. Sementara proses sekularisasi dan iklim kebebasan berpikir tidak mampu meredam ketegangan antar berbagai kelompok sektarian dan primordial yang kian mengeras itu, serta tidak pula kuasa mengatasi persoalan otoriterianisme kekuasaan kaum Maronit. Maka, perang saudara akan terus berlanjut bila penduduk Libanon belum menemukan strategi yang tepat untuk membangun iklim demokrasi baru yang bisa memenuhi tuntutan perkembangan.[7]
   
Sementara di negeri-negeri lainnya yang tidak mengalami konflik antar berbagai kelompok agama, ada yang menuntut demokrasi dan keadilan sosial dengan slogan dan wacana yang berbeda-beda: ada yang mengangkat wacana demokrasi, ada yang mengangkat wacana “pengakuan atas hak-hak minoritas”, dan ada pula “revolusi menentang feodalisme”. Singkatnya, menurut al-Jabiri, ide sekularisasi atau pemisahan antara din dan daulah sebenarnya merupakan konstruksi yang keliru atas realitas: ia tidak menggambarkan secara umum kondisi permasalahan yang dihadapi masyarakat Arab atau masyarakat Islam di beberapa wilayah dunia Islam.[8] Ia tidak mengangkat ide atau konsep demokrasi karena yang terakhir ini dipahami sebagai pemerintahan mayoritas, sementara mereka berasal dari kalangan minoritas sehingga memungkinkan digusurnya hak-hak mereka sebagai minoritas.[9]
   
Kenyataan serupa juga dialami kelompok-kelompok Islam yang menghendaki “hukumah Islamiyyah” (pemerintahan Islam) atau “khilafah Islamiyyah” (kekhalifahan Islam), yang lebih dikenal dengan kelompok yang pro-doktrin “Islam, din wa daulah”, yang muncul di beberapa negara Arab, dan juga di wilayah Asia Tenggara. Mereka tentu saja menentang ide sekularisasi, bukan hanya karena dalam bayangan mereka bertentangan dengan doktrin agama Islam, tapi lebih dari itu karena ide tersebut bisa berarti mengancam persatuan umat Islam yang disimbolkan dalam keutuhan kekuasaan Utsmani dan juga bisa mengancam kekuasaan para ulama yang menempati posisi ahl al-hall wal al-‘aqd dalam kekuasaan.[10] Maka, wacana yang diangkat adalah “penerapan syariah Islam” atau “Syura”, dan bukan demokrasi, karena dalam anggapan mereka, istilah yang terakhir ini lebih merujuk pada pengalaman Eropa di mana kekuasaan tokoh-tokoh agama disingkirkan, dan diambilalih oleh kekuasaan kalangan awam agama yang sekuler. Dan itu berarti, dalam iklim demokrasi, kekuasaan para ulama, yakni yang menempati posisi ahl al-hall wa al-‘aqd dalam konteks Kekhalifahan Utsmaniyah, bakal tergusur.[11]

Bersambung...



Catatan:

[1] Triloginya tersebut terdiri dari tiga buku, yang masing-masing berjudul: Takwin al-‘Aql al-Arabi (Formasi Nalar Arab, 1982), Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi (Struktur Nalar Arab, 1986) dan al-‘Aql al-Siyasi al-Arabi (Nalar Politik Arab, 1990). Semuanya diterbitkan oleh Markaz Dirasah al-Wihdah al-Arabiyah, Beirut, Libanon.

[2] Al-Jabiri menimba konsep “naqd al-aql al-siyasi”-nya dari filsuf Perancis Michel Foucault, dan dari pemikir Marxis Regis Debray. Lihat M. Foucault, “Omnus et singulatum: Vers une critique de la raison politique”. “Le Debat (Paris)., no. 44, November 1986, dan R. Debay, Critique de la raison politique (Paris: Gallimard, 1981).

[3] Muhammad Abed al-Jabiri, Wijhah al-Nazhr nahw ‘I’adah Bina’ Qadlaya al-Fikr al-Arabi al-Mu’ashir, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafy al-Arabiy, 1992), h. 83-90. Uraian lengkap dan detail tentang proses sejaran kemunculan konsep-konsep yang berkaitan dengan nalar politik Arab, lihat al-Jabiri, al-‘Aql al-Siyasi al-Arabiy: Muhaddidah wa Tajalliyatuh, (Beirut: Markaz al-Wihdah al-Arabiyyah, 1992) cet. II.

[4] Al-Jabiri, Wijhah, op, cit., h. 89.

[5] Seperti dikutip dalam Ibid., h. 101. Tentang kritik analisa wacana atas teks di atas lihat Muhammad Abed al-Jabiri, al-Khithab al-Arabiy al-Mu’ashir: Dirasah Tahliliyah Naqdiyyah (Wacana Pemikiran Arab Kontemporer) (Beirut: Markaz al-Wihdah al-Arabiyyah, 1992), h. 67-68.

[6] Al-Jabiri, Wijhah, op, cit., h. 103.

[7] Ibid., h. 107-108.

[8] Ibid., h. 108.

[9] Al-Jabiri, al-Khithab, op, cit., h. 100.

[10] Al-Jabiri, Wijhah, op, cit., h. 110, dan Al-Jabiri, al-Khithab, op, cit., h. 99-100.

[11] Uraian lengkap tentang adanya sesuatu yang tak terkatakan (not-said atau never-said) dalam wacana politik Arab ketika mengangkat wacana “sekularisasi” dan “syura”, dan bukan “demokrasi”, lihat al-Jabiri, Al-Jabiri, al-Khithab, op, cit., h. 65-103.