Jumat, 02 November 2012

EPISTEMOLOGI part1


EPISTEMOLOGI : CARA MEMPEROLEH PENGETAHUAN YANG BENAR.
 
Aspek kedua dalam filsafat adalah aspek epistemologi. Yakni aspek yang membicarakan metode atau cara sesorang untuk mendapatkan pengetahuan yang benar dari objek yang dikajinya. Sebelum melangkah pada pembahasan utama tentang epistemologi ini, ada baiknya kita terlebih dahulu tahu akan sejarah manusia dengan metodenya dalam memperoleh pengetahuan yang benar. Lalu setelah itu, kita akan membahas hakikat pengetahuan itu sendiri. Baru setelah itu, kajian inti tentang metode pengetahuan atau ilmiah akan dimulai.
 
JARUM SEJARAH PENGETAHUAN 

Sejarah pengetahuan berjalan sejalan dengan perkembangan pemikiran manusia. Dengan mengetahui sejarah akan pengetahuan, kita akan dibantu bagaimana menetapkan suatu metode untuk memperoleh pengetahuan yang benar nantinya. Secara garis besar, sejarah pengetahuan terbagi menjadi tiga fase. Yaitu : pengetahuan abad primitif, pengetahuan abad penalaran (age of reason) dan terakhir adalah pengetahuan abad modern.

Pada abad primitif manusia sudah mulai mengenal dengan yang namanya pengetahuan. Mereka menfungsikan pengetahuan tersebut sebagai alat dan cara mereka untuk menyelesaikan masalah yang terjadi disekitar mereka. Akan tetapi, pada abad ini pengetahuan masih berupa satu kesatuan yang bulat. Tidak adanya pengklasifikasian antara suatu pengetahuan tertentu dengan pengetahuan yang lainnya. Akibatnya, pada masa itu, seorang yang dianggap mampu dibidang kedokteran, dia juga akan dianggap mampu dibidang pertanian, keagamaan, pemerintahan dan lainnya. Seorang pemimpin pada masa itu adalah mereka yang ahli atau pakar dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat yang berada dibawah kepemimpinanya.

Berlanjut pada abad penalaran (age of reason). Pada abad ini manusia telah mengalami perkembangan pemikiran yang cukup pesat setelah terlewatnya masa masa pemikiran primitif. Pada abad ini manusia mulai melakukan pembedaan pembedaan antara satu pengetahuan dengan pengetahuan yang lainnya. Mereka membedakan pengetahuan pengetahuan tersebut dalam wadahnya yang terpisah. Artinya, antara satu pengetahuan dengan pengetahuan yang lainnya memiliki ranahnya masing masing untuk dikaji. Tidak ada hubungan antara satu pengetahuan dengan pengetahuan yang lainnya dalam rangka menyelesaikan suatu masalah. Metode yang berkembangpun antara satu pengetahuan dengan pengetahuan yang lainnya sangat berbeda. Intinya, pada masa ini pengetahuan mengalami diferensiasi dan memiliki ranahnya masing masing tanpa berhubungan atau berkait dengan pengetahuan lainnya.

Fase terakhir ini adalah fase pengetahuan yang masih berlaku hingga sekarang ini. Manusia mulai menggabungkan antara metode primitif dengan metode yang digunakan oleh manusia masa penalaran. Dengan penggabungan dua cara tersebut, muncullah metode inter-disipliner dalam pengetahuan. Tidak seperti metode yang dipergunakan pada masa penalaran, masa ini, pengetahuan lebih diperlakukan sebagai suatu rangkaian penyelesaian masalah yang berkaitan antara satu pengetahuan dengan pengetahuan yang lainnya. Artinya, wilayah antara satu pengetahuan dengan pengetahuan yang lainnya tetap dibedakan untuk kajian telaahnya. Akan tetapi, dalam perannya sebagai alat untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi manusia, pengetahun memiliki semacam ikatan yang erat antara satu wilayah kajian keilmuan dengan yang lain. Contoh : dalam menghadapi bencana longsor. Jika yang dipergunakan adalah metode inter-disipliner maka, semua kajian keilmuan yang berkaitan dengan terjadinya bencana lonsor akan turut dihadirkan pula dalam rangka menyelesaikan masalah tersebut. Tidak hanya ahli dibidang tanah dan alam saja yang dituntut untuk meyelesaikan masalah ini, akan tetapi ahli agama, ahli psikologi, ahli social, ahli perhutanan, ahli cuaca dan lainnya juga turut disertakan. Dengan tujuan, agar didapatkan sebuah pemahaman komplek dari segala aspek masalah tersebut, yang nantinya berguna untuk menyelesaikan masalah tersebut secara menyeluruh. Inilah yang disebut dengan metode pengetahuan inter-disipliner.

Demikianlah jarum sejarah perjalanan pengetahuan dalam perannya sebagai alat untuk  menyelesaikan permasalahan permasalahan manusia yang terjadi pada kehidupan sehari hari.


PENGETAHUAN 

Seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa pengetahuan adalah alat bagi manusia untuk memahami apa yang ada di sekelilingnya, untuk menafsirkan gejala gejala alam yang terjadi dan untuk mencari penyelesaian terhadap masalah masalah kehidupan mereka.

Akan tetapi, yang perlu diperhatikan adalah : bahwasanya tidak semua pengetahuan dapat dikatakan sebagai ilmu. Ilmu merupakan satu bagian dari pengetahuan yang memiliki ciri ciri dan sifat sifat tertentu untuk pengetahuan itu dikatakan sebagai sebuah ilmu. Ilmu hanya mengkaji objek yang dapat ditangkap oleh pengalaman manusia. adapun pengetahuan yang berada diluar itu, jika hal itu bersifat diluar batas nalar atau pengalaman manusia maka itu adalah wilayah kajian agama. Jika pengetahuan itu lebih tertekan pada sisi emosi dan perasaan manusia, maka pengetahuan itu adalah wilayah kajian seni. Sedangkan ilmu, hanya mengkaji objek nyata yang dapat ditangkap oleh nalar dan pengalaman manusia saja. Atau lebih ringkasnya, ilmu adalah sebuah pengetahuan yang ilmiah.

Dengan ilmu inilah manusia ingin mengetahui hakikat kebenaran sesuatu. Dengan ilmu inilah manusia ingin mendapatkan jawaban yang benar terhadap persoalan kehidupan mereka sehari hari. Dan dengan ilmu inilah manusia ingin memahami dan menafsirkan gejala gejala alam yang terjadi disekeliling mereka, di bumi yang mereka huni. Sebab itulah, perlu adanya kajian tentang bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar?, Dan itu akan dibahas pada pembahasan epistemologi ilmu.

Namun, dalam membahas epistemology, aspek lainnya dalam ciri sebuah pengetahuan tidak bisa kita abaikan begitu saja. Ketiganya, ontology (apa), epistemology (bagaimana) dan aksiologi (untuk apa) harus sama sama kita pahami sebagai satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Jadi, dalam membahas epistemology ilmu, otomatis kita juga akan membahas tentang ontology dan aksiologi ilmu. 

Lalu, bagaimana kita menentukan epistemology yang benar terhadap suatu pokok permasalahan yang akan dikaji?. Yaitu dengan melihat ontology (apa) dan aksiologi (untuk apa) objek kajian tersebut. Epistemology tentang suatu permasalahan dengan epistemology permasalahan yang lainnya akan berbeda bila aspek ontology dan aksiologinya juga berbeda. Hubungan antara ketiganya itulah yang harus menjadi pusat perhatian dalam epistemology. Contoh : terjadinya banjir tahunan di Jakarta. Langkah pertama yang harus dilakukan untuk mendapatkan cara bagaimana penanggulangannya adalah mencari apa sebab awal dan sebab utama terjadinya banjir ini ?, disamping juga dilakukan pembahasan tentang tujuan akhir atau untuk apa kajian ini dilakukan ?. dengan memandang pada kedua aspek diatas, yakni aspek ontology dan aksiologinya, maka epistemology yang benar dan tepat juga akan diperoleh.

Usaha usaha seperti sudah dilakukan oleh nenek nenek moyang kita terdahulu. Sama dengan kita sekarang, mereka ingin menguasai alam yang mereka huni ini dengan memahaminya dan menafsirkannya. Entah usaha itu hanya terpaku pada pemahaman dan kepercayaan akan mitologi saja atau dengan menggunakan cara cara yang rasional, yang jelas pengetahuan yang mereka peroleh dari usaha itu dapat menjadi pegangan mereka dalam menjalani kehidupannya di alam ini. Sama seperti sejarah pada perkembangan pengetahuan dari masa ke masa. Metode epistemology juga berkembang seiring dengan berkembangnya cara berpikir manusia. Dimulai dengan nenek moyang kita yang hidup di masa masa purba yang mana masih sangat primitif. Usaha mereka dalam mendapatkan pengetahuan yang benar terutama dalam penafsiran dan memahami alam adalah dengan meletakkan dewa dewa pada setiap gejala yang terjadi di ala mini. Hujan deras yang merusak pertanda bahwa dewa hujan sedang dalam keadaan badmood. Entah itu karena manusia yang lupa memberikannya sesajen atau dia sedang ada masalah dengan dewa lainnya. 

Tahap selanjutnya adalah masa dimana manusia mulai berusaha untuk melepas belenggu mitos dalam setiap gejala alam yang mereka rasakan dan mereka lihat. Dari usaha ini berkembanglah epistemology common sense dan trial-and-error. Ada dua ciri dari epistemology manusia zaman ini untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Yang pertama dengan menggunakan common sense atau akal sehat. Pada tahap ini mereka mulai menggunakan akal mereka untuk menafsirkan alam dengan melepas belenggu belenggu mitos yang diwariskan generasi sebelumnya. Kedua adalah dengan trial-and-error yaitu metode praktek lapangan dengan mencoba mencoba. Artinya sebelum mengkaji tentang tentang sesuatu mereka masih belum dibekali dengan suatu teori tentang hal tersebut. Yang ada hanyalah bekal akal yang sehat dan keberanian untuk mencoba mencoba. Akibatnya system epistemology seperti ini tidaklah mendatangkan sebuah pengetahuan yang benar akan objek yang dikaji. Contoh : ketika Copernicus mengatakan bahwa bumilah yang mengelilingi matahari. Masyarakat setempat tidak mempercayainya. Sebab, menurut akal sehat mereka mataharilah yang mengelilingi bumi. Jadi, akal sehat selamanya tidak selalu memberikan kebenaran. Disamping banyaknya celah yang ada pada metode yang lainnya yaitu metode mencoba mencoba. Akan tetapi, epistemology seperti ini berperan penting dalam usaha manusia  untuk menemukan penjelasan mengenai berbagai gejala alam.

Dilanjutkan dengan tumbuh rasionalisme untuk merontokkan dasar dasar pikiran yang masih bersifat mitos. Lalu, karena adanya beberapa kelemahan pada metode seperti ini, berkembanglah empirisme. Sama seperti rasionalisme, empirisme juga terdapat celah celah dalam metode penemuan kebenarannya. Celah celah ini sudah dibahas pada bab sumber pengetahuan di depan.

Selanjutnya, muncullah metode eksperimen yang menengahi antara merode rasionalisme dan empirisme. Bagaimana kita mendapatkan pengetahuan yang benar ?, yaitu dengan mengadakan penjelasan penjelasan teoritis dalam ranah rasio dan melakukan pembuktian pembuktian dalam ranah empiris. Inilah yang disebut dengan metode eksperimen yang menjembatani antara rasionalisme dan empirisme. Konsep epistemology ini dikembangkan para sarjana muslim ketika masa keemasan islam dan dimasyarakatkan oleh francis bacon. Dari metode eksperimen inilah nanti timbul “metode ilmiah” yang menggabungkan antara cara berpikir deduktif dan cara berpikir induktif. Tentang metode ilmiah ini akan dibahas pada pembahasan selanjutnya.


Sabtu, 20 Oktober 2012

ONTOLOGI part-2 [habis]


PELUANG

Pembahasan ini menurut paham saya adalah lanjutan dari pembahasan sebelumnya tentang asumsi, tapi lebih kepada yang bersifat probabilistic atau asumsi yang masih mengandung peluang. 

Seperti yang dikatakan tadi, jika kita meninjau ulang kepada paham probabilistik, Setiap sesuatu itu pasti memiliki peluang. Baik peluang untuk menang ataupun peluang untuk kalah (contoh seperti kasus penembak jitu dan petani mabuk). Belum tentu sesuatu yang diunggulkan atau sesuatu yang diyakini menang (menurut hokum universalnya) pasti akan menang kala bertanding dengan sesuatu yang tingkatannya mungkin lebih rendah daripada yang pertama. Contohnya begini : dalam perlombaan kicau burung umpamanya, di kelas eksekutif kelas cendet A. Ada burung cendet bernama ratu yang dikenal memiliki suara dan power yang luar biasa, serta sudah menjadi langganan juara di ajang ajang lomba kicau burung baik skala local maupun nasional. Di sisi yang lain, ada cendet muda pemula yang baru kali itu mengikuti lomba kicau burung, sebut saja namanya raja. Ditengah pertandingan, ternyata si ratu mati dan si raja pun yang menjadi pemenangnya. Kejadian seperti ini mengindikasikan bahwa terdapat sesuatu dibalik suatu kejadian, yang menyebabkan adanya atau timbulnya sesuatu yang dinamakan “peluang” tadi.

Intinya, pada pembahasan ini kita diajak untuk menghitung peluang yang ada dari dua kemungkinan yang akan terjadi. Mana yang peluangnya lebih besar dan mana yang peluangnya lebih sedikit.


BEBERAPA ASUMSI TENTANG ILMU

Setelah diawal dibahas tentang asumsi asumsi akan objek yang kita kaji, pada pembahasan kali ini lebih khusus kepada asumsi asumsi akan ilmu.

Pengembangan asumsi asumsi memang perlu dilakukan seseorang sebelum mengkaji hakikat objek yang dia kaji. Asumsi asumsi ini dapat mengantarkan mereka kepada pemahaman yang sempurna terhadap objek yang dikaji, ketimbang mereka yang mengkaji suatu objek tanpa didasari asumsi asumsi terlebih dahulu. Akan tetapi, yang perlu dipahami adalah, langkah lanjutan yang harus dilakukan setelah menerapkan asumsi asumsi tersebut. Entah itu dengan melakukan beberapa kegiatan berpikir atau mengumpulkan data data lalu mengkajinya secara analitik.

Dalam pengambangan asumsi ini, harus diperhatikan beberapa hal. Pertama, asumsi asumsi ini harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin keilmuan. Karena yang dikaji adalah ilmu, maka asumsi asumsi yang dibangun terhadapnya pun harus selaras dan berada di wilayah kajian ilmu. Kedua, asumsi asumsi ini harus disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya” bukan “bagaimana keadaan yang seharusnya”. Jadi, asumsi asumsi yang dibangun haruslah bersifat objektif dengan melihat keadaan atau fakta yang terjadi di lapangan, bukan atas dasar teori yang ada dalam pikiran yang mengharuskan fakta di lapangan sesuai dengan teori atau asumsi yang kita bangun. Dengan melihat dua hal penting yang harus diperhatikan dalam pengembangan asumsi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa, asumsi yang pertama lebih kepada bersifat analitik atau ilmiah, sedangkan asumsi yang kedua lebih kepada asumsi yang bersifat moralitas. Dengan begitu, asumsi asumsi yang kita bangun dalam mengkaji ilmu haruslah melingkupi batas telaah ilmiah dan moral.


BATAS BATAS PENJELAJAHAN ILMU

Pembahasan ini adalah pembahasan terakhir dari ontologi. Membahas tentang sejauh mana ilmu itu dapat kita jelajahi? Sampai manakah ruang lingkup ilmu yang mampu kita kaji? Lalu seperti apakah batas batas antara kajian ilmu dengan bidang pengetahuan lainnya dalam mengkaji suatu objek?. Semuanya akan dibahas pada bab terkahir ini.

Batas batas penjelajahan ilmu tergantung dengan kemajuan zaman akan kajian kompeherensif yang dilakukan terhadap satu bidang keilmuan. Dulu, sebelum manusia mengkaji lebih dalam akan satu bidang keilmuan, ruang lingkup penjelajahan ilmu begitu luas. Karena masih belum adanya peng-klasifikasian terhadap satu bidang ilmu tertentu. Setelah manusia dan peradabannya mulai berkembang pesat, mereka mulai melakukan pengklasifikasian terhadap bidang keilmuan dan mulai mengkaji secara kompehensif tiap bidang keilmua tersebut. Oleh karena itu, ruang kajian ilmu semakin sempit dan terbatas. 

Dewasa ini, diperkirakan terdapat 650 cabang keilmuan yang dikaji secara mendalam satu persatu oleh para ilmuan. Dengan tujuan, dengan melakukan spesialisasi seperti itu diharapkan  pada setiap bidang keilmuan tersebut mereka akan dapat melakukan kajian yang mendalam dan menyeluruh. Untuk selanjutnya diadakan semacam kajian multi-disipliner yang bersifat konstuktif antara bidang keilmuan yang satu dengan yang lainnya dalam menyelesaikan suatu masalah.

Lebih umumnya lagi, penjelajahan ilmu hanyalah sebatas apa yang didapat dari pengalaman manusia. Tidak mungkin ilmu membahas perihal surga dan neraka yang jauh dari jangkauan akal dan pengalaman manusia. Hanyalah sesuatu yang bersifat konkret dan berdasarkan pengalaman manusialah yang dapat dijelajah oleh kajian ilmu.


ONTOLOGI part-1


METAFISIKA

Menginjak pada pembahasan pertama tentang ontologi. Ontologi adalah bagian dari filsafat yang membahas tentang hakikat objek yang dikaji. Tidak jauh dengan pengertian ontologi, metafisika juga membicarakan tentang problem watak yang sangat mendasar dari realitas benda atau objek yang dikaji. Apakah sebenarnya hakikat dari benda atau objek yang kita kaji?, apakah hal itu bersifat ghaib atau mistis?, Ataukah objek yang kita kaji itu hanyalah sebuah gejala alam saja yang bersifat kimia-fisika?. Berikut beberapa tafsiran tafsiran mengenai metafisika :

1.    tafsiran yang pertama mengenai hakikat alam ini adalah paham animisme yang didasarkan pada pemikiran supranaturalisme. Paham ini menyakini bahwa dibalik semua kejadian atau benda benda di dunia ini, terdapat sesuatu yang bersifat ghaib yang menggerakkan itu semua. Entah itu berupa roh roh atau mahluk mahluk ghaib. Paham ini merupakan paham tertua tentang metafisika.

2.     berbeda dengan paham animisme diatas, kaum materialis berpendapat bahwa benda benda atau gejala gejala alam di dunia ini bukanlah digerakkan oleh sesuatu yang bersifat ghaib yang tidak kita ketahui secara jelas. Akan tetapi, semua gejala alam yang terjadi tersebut disebabkan dari kekuatan alam itu sendiri. Oleh karena itu, kita dapat mempelajarinya. Paham materialisme ini didasarkan pada pemikiran naturalisme yang pertama kali dikembangkan oleh democritos (460-370 SM) melalui teori atomnya. 

3.      paham mekanistik, adalah paham yang meyakini bahwa gejala gejala yang terjadi di alam ini hanyalah sebuah proses kimia-fisika semata. Hal ini dibantah oleh kaum vitalistik yang meyakini bahwa, terdapat sesuatu yang unik dibalik gejala gejala atau kejadian kejadian di alam ini daripada sekedar gejala kimia-fisika sebagaimana yang dikatakan oleh kaum mekanistik. Ada kejadian kejadian alam (yang menurut kaum vitalistik) tidak dapat diketahui hanya dengan mempelajari kimia atau fisika saja.

Setelah pembahasan tentang hakikat dari objek yang dikaji diatas, lalu muncul pertnyaan yang berkaitan dengan hubungan antara pikiran sebagai alat untuk mengkaji suatu objek dengan objek yang dikaji tersebut. Apakah antara pikiran dan zat yang dipikirkan adalah satu kesatuan yang tidak bias dipisahkan?, atau keduanya meurpakan suatu yang berbeda antara satu dengan yang lainnya?. Ada dua pandangan mengenai hal ini :

1.    pandangan kaum monistik. Mereka berpendapat bahwa pikiran dan zat adalah hal yang satu dan tidak dapat dibedakan. Keduanya sama sama merupakan sesuatu yang bersifat nyata. Hanya saja, mereka berbeda dalam hal gejala gejala yang disebabkan proses yang berlainan.

2.   pandangan kaum dualistik. Mereka membedakan antara zat dan pikiran, kebalikan dari paham monistik diatas yang mengatakan bahwa zat dan pikiran adalah satu. Terminology dualisme ini mula mula dipakai oleh Thomas hyde (1700) dan Christian wolff (1679-1754). Dan para filsuf yang menganut paham ini antara lain : rene Descartes (1596-1650), john locke (1632-1714) dan george Berkeley (1685-1753). Mereka berkeyakinan bahwa sesuatu yang nyata adalah yang ada dalam pikiran manusia, bukan zat yang didapat dari pengalaman empiris. Sebab kata locke, pikiran manusia diibaratkan sebagai lempengan lilin, dimana pengalaman pengalaman inderawi menempel pada lempengan itu. Jadi, semakin banyak pengalaman indera manusia yang menempel pada lempengan lilin pikiran itu, maka semakin beragam dan semakin rumit pula ide ide yang dihasilkan.


ASUMSI

Pembahasan kedua tentang ontology adalah asumsi. Asumsi adalah praduga awal tentang objek yang dikaji, yang kebenarannya masih belum bisa dipastikan. Artinya, ada dugaan dugaan yang timbul dari diri seseorang sebelum dia memutuskan suatu hal terhadap suatu perkara dengan berpijak pada data data atau nilai nilai. Contoh di buku sangat jelas menurut saya, tentang lomba adu tembak antara petani gila yang mabuk vs penembak jitu dengan rekor 30 tanding 30 menang TM. 

Lalu, sebab asumsi itulah timbul pemikiran tentang ketundukan gejala gejala yang terjadi dialam ini. Apakah gejala gejala yang terjadi di ala mini tunduk kepada hokum kepastian?, ataukah ia tunduk pada pilihan bebas yang dikehendaki manusia? Atau yang lainnya?. Berikut tiga pandangan tentang hokum ketundukan gejala alam :

1.      paham determinisme, yaitu sebuah paham yang menyakini bahwa segala gejala yang terjadi di alam ini tunduk pada hukum universal. Maksud hukum universal disini adalah hokum alam yang bersifat umum atau bersifat “biasanya”. Andaikan ada petani gila yang mabuk bertanding adu tembak melawan penembak jitu handal, maka hokum universalnya adalah kemenangan akan berada dipihak si penembak jitu, dan si petani mabuk akan mati. Paham ini dikembangkan oleh William Hamilton (1788-1856) dari doktrin yang diberikan Thomas hobbes (1588-1679). Paham ini berlawanan dengan paham fatalisme dan paham pilihan bebas.

2.  paham pilihan bebas, berkebalikan dengan paham determinasi diatas. Adalah paham yang mengatakan bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam menentukan pilihannya, tidak ada kaitannya sama sekali dengan hokum alam. atau dengan kata lain, mereka (kaum berpaham pilihan bebas) menyakini bahwa tidak ada sebab dari setiap gejala yang terjadi di alam, semuanya sesuai dengan kehendak manusia. Jadi andaikan petani mabuk dan penembak jitu bertanding, jika si petani berkehendak dia pasti bisa mengalahkan si penembak jitu. Dan si penembak jitu justru yang akan menemui ajalnya.

3.    paham probabilistik, yaitu paham akan asumsi yang menengahi antara paham determinasi dan paham pilihan bebas. Paham yang bersifat probabilistik ini lebih kepada peluang iya atau tidak, atau dengan kata lain fifty fifty. Artinya, jika ada duel adu tembak antara petani mabuk melawan penembak jitu, maka tidak pasti si penembak jitu yang akan menang, atau tidak pasti si petani mabuk yang kan kalah dan terbunuh. Masing masing dari mereka berdua masih memiliki peluang untuk menang dan kalah. Begitu juga dengan dugaan dugaan atau asumsi terhadap apa pun selain duel adu tembak tadi. Pembahasan tentang peluang ini akan lebih diterangkan pada pembahasan selanjutnya.