Rasionalitas
manusia merupakan unsur pertama yang menyusun kesadaran selain kehendak bebas.
Dengan rasionalitas inilah manusia nantinya dapat mengetahui dan memahami
realitas yang terjadi di sekitarnya. Dengan rasionalitas juga manusia mulai
menginjakkan satu kakinya di tanah kesadaran. Akan tetapi, butuh kehendak bebas
untuk menjadikan kesadaran tersebut utuh, dan itu akan dibahas nanti pada bab
3. Jadi, ada dua poin penting dalam membahas kesadaran manusia : (1)
rasionalitas manusia yang berfungsi untuk memahami, (2) kehendak bebas manusia
yang berfungsi untuk melihat dari berbagai sudut pandang.
Sebelum
benar-benar masuk dan mengulas epistemology para filosof dalam merumuskan
konsep rasionalitas tersebut, ada baiknya mengetahui terlebih dahulu istilah
rasio dan rasionalitas. Apa perbedaan makna yang dikandung keduanya?, bagaimana
peran keduanya dalam proses berpikir atau kesadaran manusia?, dan pergeseran
makna yang terjadi diantara keduanya.
Penelusuran akan kembali dilakukan untuk meniti jejak pemikiran
para filosof mengenai pemahaman rasonalitas tersebut. Mulai dari pengertian
rasionalitas dari Plato dan Aristoteles, rasionalitas para filosf abad
pertengahan, rasionalitas menurut rasionalisme Descartes, Leibniz dan Spinoza,
rasionalitas menurut pandangan Kant dan Hegel, rasionalitas dari Max Weber yang
diturunkan kepada Bacon, rasionalitas menurut para filosof analitik dan
diakhiri dengan pengertian rasionalitas menurut Jurgen Habermas.
Penelusuran Dimulai…
Dalam tradisi filsafat tradisional yang diprakarsai
oleh Aristoteles dan Plato, Rasio menjadi wilayah yang lebih tinggi daripada
rasionalitas. Artinya dalam proses berpikir manusia, rasio menjadi landasan
yang paling dasar dibandingkan rasionalitas. Seperti yang diungkapkan
Aristoteles “rasio adalah bagian dari jiwa manusia yang memiliki kapasitas
untuk memahami dan mengatur diri sendiri”.
Dalam
perjalanan sejarah filsafat, rasio dan rasionalitas memang dibedakan sesuai
dengan peran yang diemban oleh masing-masing keduanya dalam proses berpikir
manusia. Didalam tradisi Yunani dikenal istilah nous dan logos. Dalam bahasa
latin ditemukan istilah intellectus dan ratio. Dalam tradisi Jerman dikenal
dengan istilah vernunt dan verstand. Dan dalam tradisi Inggris dikenal dengan
nama reason dan rationality. Istilah yang pertama (nous, intellectus, vernunt
dan reason) adalah nama lain dari rasio dan dianggap sebagai wilayah yang lebih
tinggi daripada istilah yang kedua (logos, ratio, verstand dan rationality).
Mengapa keduanya harus dibedakan ?
Di
dalam alam berpikir manusia atau alam sadar manusia, segala aktifitas yang
berkaitan dengan berpikir filosofis dan keilmuan semuanya didapat melalui logos
atau rasionalitas. Inti dari rasionalitas
adalah argumen-argumen bagi pandangan atau pemikiran yang telah dihasilkan.
Oleh karena itu, rasionalitas
oleh para filosof terutama Plato dan Aristoteles dipahami sebagai “sebuah
kapasitas yang memiliki kemampuan membuat suatu putusan, sekaligus mengandung
alasan-alasan atau dasar-dasar argumentasi bagi putusan yang telah dibuat”.
Silogisme Aritoteles dalam
“logika”nya adalah perwujudan dari apa yang dia pahami dari peran rasionalitas ini. Seperti yang dikatakan
tadi rasionalitas berisi masalah argumen atau alasan-alasan yang menjadi dasar
bagi putusan yang dihasilkan, silogisme itulah yang menjadi argumen dan
alasannya. Jadi dalam filsafat Aristoteles, premis-premis yang menjadi kerangka
dalam silogisme adalah bentuk argumen yang menopang kebenaran putusan yang
dihasilkan.
Akan
tetapi masalahnya adalah premis-premis disini masih memiliki kelemahan untuk
menjadi semacam dasar bagi pengetahuan manusia. sebuah pernyataan dikatakan
benar tentu jika didapat dari premis-premis yang benar pula. Apabila dalam
silogisme yang disusun adalah premis-premis yang salah, maka pernyataan yang
dihasilkan pun dengan otomatis dikatakan
salah juga. Tentu akan
menjadi masalah jika silogisme yang ditawarkan Aristoteles menjadi pijakan
dasar dalam pengetahuan manusia.
karena untuk menilai mana premis yang benar dan mana premis yang salah,
rasionalitas belum memiliki landasan atau konsep yang jelas. lalu
bagaimana jalan keluarnya ?
Jalan
keluarnya adalah dengan memberikan landasan dan pijakan dasar bagi premis-premis tersebut. Karena
seperti tadi yang telah dikatakan, silogisme yang merupakan perwujudan dari
rasonalitas bukanlah alasan yang tepat untuk menjadi pondasi dasar bagi pengetahuan manusia. logikanya
jika rasionalitas atau silogisme bukanlah sesuatu yang menjadi dasar, tentu ada
satu hal yang menjadi dasar atau pijakan bagi silogisme itu sendiri. Dan Aristoteles
paham akan hal tersebut.
Oleh karena itu dia dan gurunya
sepakat untuk meletakkan rasio atau nous sebagai dasar yang paling fondasional
bagi pengetahuan manusia. rasio inilah yang nantinya akan memberikan pijakan
dasar bagi rasionalitas atau dalam istilah bagus takwin memberikan semacam prinsip
awal bagi rasionalitas. Walaupun keduanya sepakat bahwa rasio merupakan sesuatu
yang lebih fondasional daripada rasionalitas, Plato dan Aristoteles berselisih
pendapat paham tentang bentuk
rasio tersebut. Plato berpendapat bahwa rasio dapat dibedakan dengan fakulas
pikiran lainnya hanya dengan “intuisi”. Sedangkan Aristoteles lebih percaya
bahwa rasio itu haruslah berupa pengamatan induktif. Jadi
dapat dibedakan bagaimana kerja pikiran manusia dalam perspektif dua filosof
besar ini.
Plato
dengan teori idea-nya tentu lebih yakin bahwa intuisilah yang menjadi rasio
manusia. karena memang dalam pandangannya, apa yang hakiki adalah apa yang ada
di dalam ide manusia, bukan apa yang
dipersepsikan oleh indera manusia. Dengan
intuisi inilah manusia dapat membentuk atau menyusun premis-premis yang benar,
atau dengan kata lain premis dalam pandangan Plato dapat dikatakan benar jika
ia dihasilkan dari intuisi. Dengan didapatnya premis-premis yang benar, maka
pernyataan yang dihasilkan dari premis itu bernilai benar juga. Jadi jelas dalam pandangan Plato bahwa rasio manusia = intuisi
manusia/ide manusia.
Lain
halnya dengan Plato, Aristoteles lebih memberikan porsi dalam filsafatnya
kepada alam nyata di dunia ini. Akan tetapi, tetap memegang prinsip yang ditelurkan oleh
sang guru. Di sinilah baru saya
pahami maksud filsafat Aristoteles yang percaya bahwasanya alam ini adalah
sumber pengetahuan, disamping juga ia tetap memegang teguh keyakinan bahwa
pengetahuan yang benar atau hakiki hanya bisa diperoleh melalui pikiran manusia atau idea (dalam istilah Plato).
seperti yang dikatakan diatas, Aristoteles berpendapat bahwa rasio manusia haruslah berupa pengamatan
induktif.
Jadi sebelum melakukan proses
rasionalitasnya, manusia
dituntut terlebih dahulu untuk melakukan pengamatan inderawi atau persepsi
terhadap alam sekitarnya. Dengan pengamatan itulah nantinya premis-premis dalam
silogime akan didapat lalu disusun. Dan dengan begitu pula, sebuah
pernyataan yang benar akan
diperoleh dengan sendirinya. Pemikiran
Plato dan Aristoteles adalah perbincangan awal seputar rasio dan rasionalitas menusia
khususnya dalam tradisi
filsafat tradisional.
Selanjutnya
datang seorang filosof
bernama Francis Bacon. Dia menambahkan dan mengkritik pemikiran Aristoteles
tentang rasio dan rasionalitas. Dia menegaskan bahwasanya bukan hanya rasio
saja yang harusnya dibentuk
melalui pengamatan induktif.
Rasionalitas pun harus dibentuk dari pengamatan induktif juga, bukan dari
premis-premis silogisme yang dibentuk Aristoteles. Dengan begitu, pernyataan
yang dihasilkan akan mengandung kebenaran yang lebih kuat. Dari sinilah makna dan pendefinisian rasio dan rasionalitas
mulai mengalami pergeseran.
Lalu
datang Immanuel Kant, salah
seorang filosof madzhab kritis merombak besar-besaran terhadap pengertian rasio
dan rasionalitas yang telah disusun oleh filosof tradisional. Dalam istilah k
Kant
rasio disebut vernunt dan rasionalitas disebut verstand. Menurut Kant, bukanlah vernunt yang menjadi dasar
dan memberikan prinsip awal
bagi verstand, akan tetapi sebaliknya. Verstand-lah yang menjadi dasar dan
memberikan prinsip awal bagi vernunt. Dengan begitu dapat dipahami bahwasanya kant mendudukkan rasionalitas
sebagai dasar atau landasan yang lebih
tinggi daripada rasio.
Sejauh yang saya pahami, ini disebabkan oleh
sikapnya yang memberikan porsi seimbang bagi rasionalisme dan empirisme dalam
pemikiran filsafatnya. Sebagaimana yang telah diketahui, Kant percaya bahwa manusia hanya dapat
mengetahui hal-hal yang fenomena atau dapat dipersepsi. Sedangkan hal-hal yang
hakikat atau nomena, mustahil
diketahui oleh manusia. Hal ini
berdampak pada pemahamannya terhadap rasio dan rasionalitas. Mengapa ia
dudukkan rasionalitas sebagai fakultas yang lebih tinggi daripada rasio?, Tak lain
adalah karena kepercayaan Kant
akan kemampuan manusia mengetahui hal-hal yang fenomena. Dia ingin menekan
kepercayaan rasionalisme (Plato dan Aristoteles) yang terlalu berlebihan dalam
mendefinisikan peran ide,
dengan mendudukkan rasio yang oleh para tokoh filosof diatas diletakkan pada
tempat yang tertinggi, di tempat yang lebih rendah dibawah rasionalisme.
Menurut Kant, rasio hanyalah
berperan sebagai penghias bagi ide-ide yang dihasilkan oleh rasionlaitas. Rasionalitaslah yang
menjadi dasar, pemberi prinsip awal, dan bahkan rasionalitaslah yang membentuk pikiran manusia. Pada
pemikiran Kant inilah lengkap sudah kisah pergeseran makna yang dilalui oleh
rasio dan rasionalitas. Dari sini lalu muncul berbagai pandangan yang terkesan
mengabaikan rasio. Seperti Feyerabend yang mengatakan “farewell to reason”.
Bahkan filosof posmodernisme seperti Wittgenstein, lebih jauh lagi menolak
secara total keberadaan rasio manusia.
Lalu
apa yang ditawarkan para filosof posmodernisme terhadap pendefinisian dan
pengkategorian dari rasionalitas
setelah ucapan selamat tinggal mereka pada rasio?. Dari pemikiran tokoh posmodernisme seperti
Jean Francois Lyotard dapat dipahami bahwasanya para filosof posmodernisme
percaya akan adanya rasionalitas yang plural atau pluralitas paradigma. Dan
seperti yang telah dibahas pada tulisan sebelumnya, bahwa dalam pluralitas paradigma Lyotard meniscayakan adanya kebebasan
dalam keberagaman tersebut.
Artinya dia bermaksud membiarkan masyarakat atau manusia berada dalam
keberagaman rasionalitas tersebut. Karena seperti yang diyakininya, pada setiap
rasionalitas atau paradigma yang muncul tersebut selalu mengandung nilai
kebenaran walaupun hanya berupa potongan-potongan kecil saja. Dan karena
manusia adalah tipe masyarakat yang plural, berbagai paradigma atau rasionalitas
yang muncul tersebut tidak bisa begitu saja direduksi antara satu dengan
lainnya, tidak bisa diakumulasi menjadi satu rasionalitas dan satu paradigma,
karena setiap paradigma yang muncul memiliki prinsip dan konsepnya sendiri.
Dengan begitu, biarlah rasionalitas menari-nari dalam keberagaman tersebut.
Habermas sebagai tandingan
Lyotard dalam tulisan sebelumnya juga menyakini adanya pluralitas paradigma
atau rasionalitas. Akan tetapi, berbeda dengan filosof posmodernisme yang
mengemukakan jenis-jenis yang jauh lebih banyak atau mungkin tak terhingga dari
rasionalitas, ke-plural-an rasionalitas ini oleh Habermas hanya dikategorikan
menjadi tiga macam: (1) rasionalitas kognitif, (2) rasionalitas moral, (3)
rasionalitas estetika. Ketiga jenis ini juga dipahami oleh Habermas sebagai
konsep yang memiliki cara pandang yang otonom didasari oleh prinsip-prinsip dan
metodenya sendiri.
Kesimpulan
Dari
penelusuran yang telan dilakukan diatas dapat ditangkap beberapa point penting
mengenai perbincangan rasio rasionalitas dikalangan para filosof, baik dari
pemahamannya, pergeseran makna yang terjadi, kritik-kritik yang mewarnai serta
dasar-dasar perumusannya. Pertama, bahwa perbincangan masalah rasio dan
rasionalitas sudah ada sejak periode filsafat tradisional yang dimotori oleh
Plato dan Aristoteles. Mereka menempatkan rasio sebagai dasar atau konsep yang
lebih tinggi daripada rasionalitas dalam alam berpikir manusia, walaupun dalam
masalah penetapan rasio keduanya berbeda pendapat. Kedua, Immanuel Kant memutar
balikkan apa yang diyakini oleh dua filosof tradisional tersebut dengan
mendudukkan rasionalitas sebagai dasar yang paling tinggi daripada rasio.
Ketiga, rasio mulai ditinggalkan bahkan dibuang dengan kedatangan filosof
posmodernisme. Rasionalitaslah yang akhirnya mendapatkan porsi total sebagai
dasar legitimasi bagi kesadaran manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar