Al-insanu hayawanun nathiq, sebuah ungkapan yang
familiar di telinga banyak orang. Khususnya mereka yang pernah mempelajari logika
atau manthiq. Ya, ungkapan itu adalah ungkapan yang dilontarkan oleh Imam
Al-Ghazali, salah seorang imam tercerdas yang pernah dimiliki oleh dunia islam
khususnya madzhab ahlus sunnah wa-l-jama’ah.
Manusia
adalah binatang yang berakal atau binatang yang rasional. Sama-sama binatang,
tapi manusia berbeda dengan binatang-binatang yang lain. Manusia merupakan satu
spesies binatang langka yang memiliki keistimewaan. Yang dengan keistimewaannya
itu manusia dinilai lebih berharga daripada binatang secara keseluruhan. Lalu
pertanyaannya, apa yang menjadikan manusia begitu istimewa ?, begitu dibedakan
seakan-akan manusia bukanlah satu species dari mahluk yang bernama binatang.
Jawabannya adalah akal atau lebih bagus kalau kita sebut sebagai rasionalitas.
Dengan
akalnya, dengan rasionalitasnya itulah manusia memiliki nilai lebih
dibandingkan binatang-binatang lainnya. Manusia adalah binatang yang mampu
berpikir, menimbang-nimbang, memutuskan suatu putusan berdasarkan perhitungan
dan melakukan apa yang dia pikir benar serta bermanfaat. Itu di satu sisi. Di
sisi lainnya manusia memang termasuk jenis binatang. Itu dikarenakan manusia
memiliki nafsu, syahwat dan sifat binatangi yang sangat kuat terhadap apa yang
diinginkannya. Bahkan, manusia pun lebih keji daripada binatang kata Bang Iwan.
“Manusia sama saja dengan
binatang selalu perlu makan. Namun caranya berbeda dalam memperoleh makanan.
Binatang tak mempunyai akal dan pikiran, segala cara halalkan demi perut
kenyang. Binatang tak pernah tau rasa belas kasihan, padahal disekitarnya
tertatih berjalan pincang. Namun kadangkal ada manusia seperti binatang. bahkan
manusia lebih keji dari binatang. Tampar kiri kanan alasan untuk makan, padahal
semua tau dia serba kecukupan. Intip kiri kanan lalu curi jatah orang, peduli
sahabat entah kurus kering kelaparan”, kata Bang Iwan lebih lanjut.
Nah, dengan begitu menjadi jelas
bagi kita bahwasanya akal dan rasionalitas adalah sebuah ciri pembeda, yang
membedakan manusia dengan binatang lainnya. Jadi ungkapan Imam Ghazali diatas
ataupun Syair yang Bang Iwan lantunkan tersebut bukan tidak memiliki alasan,
akan tetapi mengandung nilai filosofis yang sangat dalam (dengan kata lain,
sebenarnya baik Imam Ghazali ataupun Iwan Fals adalah seorang penganut madzhab
Aristoteles yang taat. he). Seperti juga yang tertuang dalam pemikiran filsafat
Aristoteles, yang insyaallah akan saya bahas pada kesempatan kali ini.
Sebelumnya telah dibicarakan
tentang rasio rasionalitas dalam perspektif logika Aristoteles. Yaitu
mendudukkan rasio lebih tinggi daripada rasionalitas. Dia menjadikan rasio
sebagai dasar awal pijakan dan pemberi prinsip pertama bagi rasionalitas. Akan
tetapi, yang ditekankan kali ini bukanlah bagimana peran rasio dan rasionalitas
serta cara kerja keduanya dalam kegiatan berpikir manusia. yang lebih
ditekankan adalah bagimana rasionalitas atau akal dapat menjadi esensi dan
hakikat bagi manusia itu sendiri. Yang dengan sendirinya, mau tidak mau
pembahasan tentang cara kerja rasionalitas dalam mewujudkan manusia yang sesungguhnya
akan turut dibahas selanjutnya
Rasionalitas atau logos seperti
yang telah dibahas sebelumnya adalah sebuah fakultas mental yang bertugas untuk
menghasilkan sebuah putusan lengkap dengan argumentasi yang melatar belakangi
putusan tersebut. Dalam tradisi Yunani kuno, logos termasuk satu dari tiga
bagian “retorika”. Yaitu sebuah seni mempengaruhi orang dengan menggunakan
pelbagai argumentasi yang masuk akal. Selain logos, ada pathos dan ethos.
Pathos adalah merangsang si objek untuk mengubah sikap dan tindakan mereka.
Sedangkan ethos adalah pembuktian kredibilitas untuk mempengaruhi orang.
Artinya dengan menunjukkan kehebatan diri, si pelaku berusaha mempengaruhi
objeknya dengan berbagai kesaktian yang dimilikinya. Tapi kedua hal itu tidak
akan terllau dibahas.
Ketiga bagian diatas terus
melakukan dialek, dengan begitu retorika pun akan tercapai. Lalu apa peran
logos?. Logos berperan untuk mengetahui situasi, baik kondisi dimana ia akan
mempraktekkan retorikanya maupun situasi orang yang akan menjadi korbannya. Dari
sini kemudian dapat disimpulkan bahwa logos memiliki peran untuk menganalisa,
menimbang dalam membuat putusan, melakukan perhitungan lalu kemudian menteoretisasi
apa yang disimpulkan dan diputuskannya.
Logos oleh Aristoteles kemudian
dituangkan dalam teori yang bernama “silogisme”. Dengan kata lain, rasionalisme
manusia secara otomatis adalah berbentuk silogisme yang terdiri dari
premis-premis. Dari pemahaman diatas, Aristoteles juga menyakini bahwasanya
logos merupakan jiwa dari manusia itu sendiri. Suatu hal yang menjadi ciri khas
bagi binatang untuk bisa dikatakan manusia. yang dengannya manusia dapat
menimbang, memilah, memilih, mengukur dan menilai. Oleh karena itu, manusia
disebut juga sebagai “mahluk intelektif”.
Setelah menyakini bahwasanya logos atau rasionalitas merupakan jiwa
manusia itu sendiri, yang membedakannya dari binatang-binatang lain.
Selanjutnya Aristoteles akan menjelaskan perbedaan antara jiwa manusia dengan
jiwa binatang atau mahluk lainnya. Pemikiran filsafat yang dikenal rumit dan
njlimet pun akan dimulai dari sini. Dari pembahasan tentang jiwa dalam
perspektif Aristoteles rahimahullah.
Sebelum membahas masalah jiwa,
Aristoteles menjelaskan terlebih dahulu mengenai sesuatu yang ada “being”. Apa
itu ada? bagaimana sesuatu dikatakan ada? ciri khas apa yang harus dimiliki
sesuatu untuk dikatakan ada?, semuanya akan diperjelas terlebih dahulu sebelum
masuk pada permasalahan jiwa. Menurutnya, segala sesuatu dikatakan ada jika ia
memiliki materi (hyle) dan bentuk (forma). Dalam bahasa kasar yang saya pahami,
materi adalah sesuatu yang menjadi pusat pengkajian, sedangkan forma adalah
aspek darimana kita melakukan kajian (perspektif). Contoh : kursi kayu dan meja
kayu. Kayu adalah materi, baik kursi maupun meja adalah bentuk atau forma.
Jiwa adalah forma atau bentuk,
sedangkan badan adalah materinya. Jiwa atau forma manusia berbeda dengan jiwa
dan forma mahluk lainnya. Dengan forma-nya manusia memiliki potensi untuk
berbeda dengan mahluk hidup lainnya. Dengan jiwanya itu manusia mampu bertindak
rasional dalam menjalani kehidupannya, yang dengan ke-rasionalannya itu manusia
sekali lagi dikatakan berbeda dengan mahluk lainnya. Materia atau badan
hanyalah aktualisasi dari forma.
Sama halnya dengan kursi kayu.
Kursi seperti yang sudah dijelaskan adalah forma, sedangkan kayu adalah materi.
Jiwa manusia, esensi manusia adalah forma. Oleh karena itu ia berbeda dengan
jiwa mahluk lainnya. Kursi sebagai forma memiliki potensi untuk menjadi alat
istirahat, diduduki manusia, lain halnya dengan lemari yang tidak memiliki
potensi sama sekali untuk menjadi benda yang diduduki.
Manusia pun sama begitu. Lalu
ada materi berupa kayu. Kayu akan mempunyai fungsi menjadi sebuah alat untuk
beristirahat dan diduduki hanya jika ia berbentuk kursi. Kalau kayu itu
nantinya mempunyai bentuk lemari, fungsi itu (diduduki dan menjadi alat untuk
beristirahat) tentu tidak akan didapat. Jadi jiwa dan badan, forma dan materi
adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Badan hanyalah potensi mentah
yang nantinya memungkinkan jiwa untuk beraktualisasi. Badan hanya menyediakan
bahan, selanjutnya jiwa yang akan menentukan wujud dari badan tersebut. Jadi,
sebenarnya Jiwa-lah yang menentukan mana manusia, mana binatang dan mana batu.
Untuk
lebih memperkuat analisisnya, Aristoteles mengkategorikan segala sesuatu yang
ada (being) di dunia ini menjadi tiga kategori. (1) sesuatu yang terdiri dari
materi belum tentu, (2) sesuatu sebagai esensi atau bentuk yang memungkinkan
sebuah objek menjadi sesuatu tertentu, (3) sesuatu yang tergabung atau
digabungkan oleh dirinya dan hal lain. Saya kurang paham bagaimana kelanjutan
dari pengkategorian ini, serta cara membedakan dan mengkategorikannya.
Dari
pengkategorian diatas, Aristoteles lalu mendapatkan kesimpulan berupa keyakinan
bahwa segala sesuatu pasti terdiri dari materi dan forma. Dengan keyakinan itu
dia lalu memberikan ciri-ciri umum pada masing-masing keduanya. Materi ia
dicirikan dalam kemungkinan, posibilitas, atau potensialitas. Forma dicirikan
dalam realisasi, aktualisasi atau manifestasi.
Dari
sini kemudian Aritoteles merumuskan tentang dunia determinisnya. Dia menyakini
bahwa dunia ini selalu akan berjalan dan berwujud sebagai mana yang telah dia
rumuskan. Oleh karena itu, untuk memahami alam beserta seluruh fenomena yang
terjadi, Aristoteles membuat suatu aturan berpikir yang dia namakan logika.
Logika
ini kemudian yang menjadi ciri khas yang mewakili pemikiran filsafat
Aristoteles. Atau dengan kata lain, logika merupakan satu hasil yang
menggambarkan hasil berfilsafat ala Aristoteles. Kalau kata-kata logika
disebut, tak lain yang dimaksud adalah filsafat Aristoteles.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar