EPISTEMOLOGI : CARA MEMPEROLEH PENGETAHUAN
YANG BENAR.
Aspek kedua dalam filsafat adalah aspek epistemologi.
Yakni aspek yang membicarakan metode atau cara sesorang untuk mendapatkan
pengetahuan yang benar dari objek yang dikajinya. Sebelum melangkah pada
pembahasan utama tentang epistemologi ini, ada baiknya kita terlebih dahulu
tahu akan sejarah manusia dengan metodenya dalam memperoleh pengetahuan yang benar.
Lalu setelah itu, kita akan membahas hakikat pengetahuan itu sendiri. Baru
setelah itu, kajian inti tentang metode pengetahuan atau ilmiah akan dimulai.
JARUM SEJARAH PENGETAHUAN
Sejarah pengetahuan berjalan sejalan dengan
perkembangan pemikiran manusia. Dengan mengetahui sejarah akan pengetahuan,
kita akan dibantu bagaimana menetapkan suatu metode untuk memperoleh
pengetahuan yang benar nantinya. Secara garis besar, sejarah pengetahuan terbagi
menjadi tiga fase. Yaitu : pengetahuan abad primitif, pengetahuan abad
penalaran (age of reason) dan terakhir adalah pengetahuan abad modern.
Pada abad primitif manusia sudah mulai
mengenal dengan yang namanya pengetahuan. Mereka menfungsikan pengetahuan
tersebut sebagai alat dan cara mereka untuk menyelesaikan masalah yang terjadi
disekitar mereka. Akan tetapi, pada abad ini pengetahuan masih berupa satu
kesatuan yang bulat. Tidak adanya pengklasifikasian antara suatu pengetahuan
tertentu dengan pengetahuan yang lainnya. Akibatnya, pada masa itu, seorang
yang dianggap mampu dibidang kedokteran, dia juga akan dianggap mampu dibidang
pertanian, keagamaan, pemerintahan dan lainnya. Seorang pemimpin pada masa itu
adalah mereka yang ahli atau pakar dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat
yang berada dibawah kepemimpinanya.
Berlanjut pada abad penalaran (age of
reason). Pada abad ini manusia telah mengalami perkembangan pemikiran yang
cukup pesat setelah terlewatnya masa masa pemikiran primitif. Pada abad ini
manusia mulai melakukan pembedaan pembedaan antara satu pengetahuan dengan
pengetahuan yang lainnya. Mereka membedakan pengetahuan pengetahuan tersebut
dalam wadahnya yang terpisah. Artinya, antara satu pengetahuan dengan
pengetahuan yang lainnya memiliki ranahnya masing masing untuk dikaji. Tidak
ada hubungan antara satu pengetahuan dengan pengetahuan yang lainnya dalam
rangka menyelesaikan suatu masalah. Metode yang berkembangpun antara satu
pengetahuan dengan pengetahuan yang lainnya sangat berbeda. Intinya, pada masa
ini pengetahuan mengalami diferensiasi dan memiliki ranahnya masing masing
tanpa berhubungan atau berkait dengan pengetahuan lainnya.
Fase terakhir ini adalah fase pengetahuan
yang masih berlaku hingga sekarang ini. Manusia mulai menggabungkan antara
metode primitif dengan metode yang digunakan oleh manusia masa penalaran.
Dengan penggabungan dua cara tersebut, muncullah metode inter-disipliner dalam
pengetahuan. Tidak seperti metode yang dipergunakan pada masa penalaran, masa
ini, pengetahuan lebih diperlakukan sebagai suatu rangkaian penyelesaian
masalah yang berkaitan antara satu pengetahuan dengan pengetahuan yang lainnya.
Artinya, wilayah antara satu pengetahuan dengan pengetahuan yang lainnya tetap
dibedakan untuk kajian telaahnya. Akan tetapi, dalam perannya sebagai alat
untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi manusia, pengetahun memiliki semacam
ikatan yang erat antara satu wilayah kajian keilmuan dengan yang lain. Contoh :
dalam menghadapi bencana longsor. Jika yang dipergunakan adalah metode
inter-disipliner maka, semua kajian keilmuan yang berkaitan dengan terjadinya
bencana lonsor akan turut dihadirkan pula dalam rangka menyelesaikan masalah
tersebut. Tidak hanya ahli dibidang tanah dan alam saja yang dituntut untuk
meyelesaikan masalah ini, akan tetapi ahli agama, ahli psikologi, ahli social,
ahli perhutanan, ahli cuaca dan lainnya juga turut disertakan. Dengan tujuan,
agar didapatkan sebuah pemahaman komplek dari segala aspek masalah tersebut,
yang nantinya berguna untuk menyelesaikan masalah tersebut secara menyeluruh. Inilah
yang disebut dengan metode pengetahuan inter-disipliner.
Demikianlah jarum sejarah perjalanan
pengetahuan dalam perannya sebagai alat untuk
menyelesaikan permasalahan permasalahan manusia yang terjadi pada
kehidupan sehari hari.
PENGETAHUAN
Seperti yang telah dikatakan sebelumnya
bahwa pengetahuan adalah alat bagi manusia untuk memahami apa yang ada di
sekelilingnya, untuk menafsirkan gejala gejala alam yang terjadi dan untuk
mencari penyelesaian terhadap masalah masalah kehidupan mereka.
Akan tetapi, yang perlu diperhatikan adalah
: bahwasanya tidak semua pengetahuan dapat dikatakan sebagai ilmu. Ilmu
merupakan satu bagian dari pengetahuan yang memiliki ciri ciri dan sifat sifat
tertentu untuk pengetahuan itu dikatakan sebagai sebuah ilmu. Ilmu hanya
mengkaji objek yang dapat ditangkap oleh pengalaman manusia. adapun pengetahuan
yang berada diluar itu, jika hal itu bersifat diluar batas nalar atau
pengalaman manusia maka itu adalah wilayah kajian agama. Jika pengetahuan itu
lebih tertekan pada sisi emosi dan perasaan manusia, maka pengetahuan itu
adalah wilayah kajian seni. Sedangkan ilmu, hanya mengkaji objek nyata yang
dapat ditangkap oleh nalar dan pengalaman manusia saja. Atau lebih ringkasnya,
ilmu adalah sebuah pengetahuan yang ilmiah.
Dengan ilmu inilah manusia ingin mengetahui
hakikat kebenaran sesuatu. Dengan ilmu inilah manusia ingin mendapatkan jawaban
yang benar terhadap persoalan kehidupan mereka sehari hari. Dan dengan ilmu
inilah manusia ingin memahami dan menafsirkan gejala gejala alam yang terjadi
disekeliling mereka, di bumi yang mereka huni. Sebab itulah, perlu adanya
kajian tentang bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar?, Dan itu akan
dibahas pada pembahasan epistemologi ilmu.
Namun, dalam membahas epistemology, aspek
lainnya dalam ciri sebuah pengetahuan tidak bisa kita abaikan begitu saja. Ketiganya,
ontology (apa), epistemology (bagaimana) dan aksiologi (untuk apa) harus sama
sama kita pahami sebagai satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Jadi, dalam
membahas epistemology ilmu, otomatis kita juga akan membahas tentang ontology
dan aksiologi ilmu.
Lalu, bagaimana kita menentukan
epistemology yang benar terhadap suatu pokok permasalahan yang akan dikaji?.
Yaitu dengan melihat ontology (apa) dan aksiologi (untuk apa) objek kajian
tersebut. Epistemology tentang suatu permasalahan dengan epistemology
permasalahan yang lainnya akan berbeda bila aspek ontology dan aksiologinya
juga berbeda. Hubungan antara ketiganya itulah yang harus menjadi pusat
perhatian dalam epistemology. Contoh : terjadinya banjir tahunan di Jakarta. Langkah
pertama yang harus dilakukan untuk mendapatkan cara bagaimana penanggulangannya
adalah mencari apa sebab awal dan sebab utama terjadinya banjir ini ?,
disamping juga dilakukan pembahasan tentang tujuan akhir atau untuk apa kajian
ini dilakukan ?. dengan memandang pada kedua aspek diatas, yakni aspek ontology
dan aksiologinya, maka epistemology yang benar dan tepat juga akan diperoleh.
Usaha usaha seperti sudah dilakukan oleh
nenek nenek moyang kita terdahulu. Sama dengan kita sekarang, mereka ingin
menguasai alam yang mereka huni ini dengan memahaminya dan menafsirkannya.
Entah usaha itu hanya terpaku pada pemahaman dan kepercayaan akan mitologi saja
atau dengan menggunakan cara cara yang rasional, yang jelas pengetahuan yang
mereka peroleh dari usaha itu dapat menjadi pegangan mereka dalam menjalani
kehidupannya di alam ini. Sama seperti sejarah pada perkembangan pengetahuan
dari masa ke masa. Metode epistemology juga berkembang seiring dengan
berkembangnya cara berpikir manusia. Dimulai dengan nenek moyang kita yang
hidup di masa masa purba yang mana masih sangat primitif. Usaha mereka dalam
mendapatkan pengetahuan yang benar terutama dalam penafsiran dan memahami alam adalah
dengan meletakkan dewa dewa pada setiap gejala yang terjadi di ala mini. Hujan
deras yang merusak pertanda bahwa dewa hujan sedang dalam keadaan badmood.
Entah itu karena manusia yang lupa memberikannya sesajen atau dia sedang ada
masalah dengan dewa lainnya.
Tahap selanjutnya adalah masa dimana
manusia mulai berusaha untuk melepas belenggu mitos dalam setiap gejala alam
yang mereka rasakan dan mereka lihat. Dari usaha ini berkembanglah epistemology
common sense dan trial-and-error. Ada dua ciri dari epistemology manusia zaman
ini untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Yang pertama dengan menggunakan
common sense atau akal sehat. Pada tahap ini mereka mulai menggunakan akal
mereka untuk menafsirkan alam dengan melepas belenggu belenggu mitos yang diwariskan
generasi sebelumnya. Kedua adalah dengan trial-and-error yaitu metode praktek
lapangan dengan mencoba mencoba. Artinya sebelum mengkaji tentang tentang
sesuatu mereka masih belum dibekali dengan suatu teori tentang hal tersebut.
Yang ada hanyalah bekal akal yang sehat dan keberanian untuk mencoba mencoba.
Akibatnya system epistemology seperti ini tidaklah mendatangkan sebuah
pengetahuan yang benar akan objek yang dikaji. Contoh : ketika Copernicus
mengatakan bahwa bumilah yang mengelilingi matahari. Masyarakat setempat tidak
mempercayainya. Sebab, menurut akal sehat mereka mataharilah yang mengelilingi
bumi. Jadi, akal sehat selamanya tidak selalu memberikan kebenaran. Disamping
banyaknya celah yang ada pada metode yang lainnya yaitu metode mencoba mencoba.
Akan tetapi, epistemology seperti ini berperan penting dalam usaha manusia untuk menemukan penjelasan mengenai berbagai
gejala alam.
Dilanjutkan dengan tumbuh rasionalisme
untuk merontokkan dasar dasar pikiran yang masih bersifat mitos. Lalu, karena
adanya beberapa kelemahan pada metode seperti ini, berkembanglah empirisme.
Sama seperti rasionalisme, empirisme juga terdapat celah celah dalam metode
penemuan kebenarannya. Celah celah ini sudah dibahas pada bab sumber
pengetahuan di depan.
Selanjutnya, muncullah metode eksperimen
yang menengahi antara merode rasionalisme dan empirisme. Bagaimana kita
mendapatkan pengetahuan yang benar ?, yaitu dengan mengadakan penjelasan
penjelasan teoritis dalam ranah rasio dan melakukan pembuktian pembuktian dalam
ranah empiris. Inilah yang disebut dengan metode eksperimen yang menjembatani
antara rasionalisme dan empirisme. Konsep epistemology ini dikembangkan para
sarjana muslim ketika masa keemasan islam dan dimasyarakatkan oleh francis
bacon. Dari metode eksperimen inilah nanti timbul “metode ilmiah” yang
menggabungkan antara cara berpikir deduktif dan cara berpikir induktif. Tentang
metode ilmiah ini akan dibahas pada pembahasan selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar