PENALARAN DAN HAKIKAT PENALARAN
Pembahasan pembahasan berikut masih
merupakan pengantar sebelum beranjak pada pembahasan utama yang pertama yakni
ontologi ilmu. Yakni, pembahasan tentang penalaran dan hakikatnya, logika,
sumber sumber pengetahuan dan kriteria kriteria untuk pengetahuan tersebut bias
dikatakan benar.
Penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir
untuk menemukan sebuah pengetahuan dengan melalui cara cara yang logis dan
analitis. manusia berpikir dengan menggunakan akalnya melalui rangkaian
rangkaian metode berpikir untuk mengembangkan segala sesuatu yang ada disekitar
mereka, dan rangkaian seperti inilah yang disebut penalaran. Sebuah pengetahuan
yang tidak diperoleh dari proses menalar lebih disebut sebagai insting, seperti
halnya hewan dan mahluk selain manusia. Karena memang, dengan pengetahuan itu
hewan hewan hanya bertujuan untuk sebuah kelangsungan hidup saja, tidak lebih.
Penalaran terkait erat dengan rasio manusia atau akal manusia, adapun
pengetahuan yang didapat dengan tanpa melalui proses berpikir dengan akal dan
rasio tidak disebut proses bernalar atau penalaran. Jadi, membahas “bernalar”
berarti kita membahas seputar akal, rasio manusia saja.
Telah disebutkan diatas, hakikat dari
sebuah proses bernalar adalah berpikir dengan rangkaian alur berpikir melalui
cara cara yang logis dan analitis. Logis dalam artian, berpikir atau bernalar
melalui sebuah pola berpikir tertentu (logika tertentu) sesuai logika yang ada.
Atau lebih gampangnya kita sebut “masuk akal”. Jadi, hal hal yang tidak sesuai
dengan akal manusia, seperti hal hal yang ghaib tidak dapat disebut sebuah
proses bernalar.
Hakikat yang kedua dari sebuah proses
bernalar adalah analitis yakni bersifat perhitungan atau penguraian. Jadi,
bernalar adalah suatu proses atau kegiatan berpikir yang harus melalui
penguraian penguraian atau perhitungan perhitungan terlebih dahulu dari sebuah
masalah yang dipikirkan, sebelum memutuskan apakah hasil dari penalaran
tersebut merupakan sebuah pengetahuan. Bukanlah sebuah proses bernalar yang
analitik, apabila pengetahuan itu didapat dengan tanpa mengurai terlebih dahulu
permasalah yang ada atau didapat secara spontanitas. dalam tata bahasa arab, spontanitas seperti
ini disebut “dzauq”.
Dua sifat bernalar diatas bukanlah
merupakan dua hal yang berbeda atau memiliki ranahnya tersendiri. Dua hal
tersebut berkaitan erat dan harus selaras dalam sebuah kegiatan berpikir yang
dinamakan logika. Karena pada hakikatnya menurut jujun s. Sumantri, sebuah
analisa mustahil akan terjadi tanpa kita mengikuti sebuah pola berpikir
tertentu atau logika tertentu.
LOGIKA
Diatas beberapa kali disebut kata logis
atau logika. Sebenarnya apakah logika tersebut ?, seperti yang dikatakan tadi,
bernalar adalah suatu proses berpikir untuk menghasilkan sebuah pengetahuan.
Pengetahuan yang kita hasilkan tersebut akan disebut benar manakal proses
bernalar yang kita lakukan melalui cara cara atau alur tertentu. Proses penarikan
kesimpulan dengan cara cara tertentu itulah yang disebut logika. Dalam proses
penarikan kesimpulan dari sebuah kegiatan bernalar, terdapat dua metode yang
dapat dilakukan. Pertama adalah logika induktif dan kedua adalah logika
deduktif.
Logika induktif adalah metode penarikan
kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual.
Artinya, kita sendiri melakukan pengkajian terhadap suatu kasus, yang nantinya
hasil dari kajian itu akan membuahkan sebuah kesimpulan atau pengetahuan yang
tidak hanya teruntukkan bagi kita sendiri sebagai orang yang mengkaji, tapi
juga untuk khalayak umum. Seperti contoh yang telah disebutkan dalam buku. Ada
dua manfaat dari penggunaan metode induktif ini. Pertama adalah bersifat
ekonomis, artinya, dari beraneka ragam bentuk kehidupan di dunia ini dapat
disimpulkan dengan sebuah bentuk pernyataan logis. Kedua adalah, adanya
kemungkinan proses penalaran lanjutan yang akan dilakukan dari pernyataan yang
pertama ini, baik itu bernalar melaui metode induktif atupun deduktif.
Logika deduktif adalah sebuah metode
penarikan kesimpulan yang bersifat khusus dari berbagai kasus atau pernyataan
yang bersifat umum. Penarikan kesimpulan secara deduktif ini biasanya
mempergunakan sebuah pola yang dinamakan silogisme. Silogisme disusun
dari dua pernyataan yakni sebuah premis mayor dan sebuah premis minor serta
diakhiri dengan sebuah kesimpulan. Contohnya : A sama dengan B (premis mayor),
B sama dengan C (premis minor), jadi A sama dengan C (kesimpulan). Pertanyaannya,
apakah semua kesimpulan yang disimpulkan dari kedua premis dapat sikatakan
benar secara pasti ?, jawabannya adalah tidak. Di buku dijelaskan bahwa
kebenaran kedua premis tidak memastikan sebuah kesimpulan yang benar. Mungkin
saja kesimpulan itu salah, sekiranya cara penarikan kesimpulannya adalah tidak
sah.
SUMBER PENGETAHUAN
Ditinjau dari cara cara kita menarik
kesimpulan dari proses bernalar untuk mendapatkan sebuah pengetahuan, maka
sumber pengetahuan dapat dibagi menjadi dua, yakni melalui rasio atau akal dan
kedua adalah melalui pengalaman. Rasio atau akal sebagai sumber pengetahuan
lebih menekankan kepada metode logika deduktif dalam penyimpulan proses
bernalar. Atau dengan kata lain, logika deduktif = rasionalisme. Sedangkan
pengalaman sebagai sumber pengetahuan lebih menekankan kepada metode logika
induktif dalam penyimpulan proses bernalar. Atau dengan kata lain, logika
induktif = empirisme.
Kaum rasionalis dengan pahamnya
rasionalisme mengatakan bahwa pengetahuan bersumber dari akal, bukan
pengalaman. Didalam proses penalarannya, mereka menggunakan premis premis yang
dihasilkan ole hide ide mereka sendiri yang mereka anggap benar dan jelas.
Mereka menyakini bahwa ide ide ini ada sebelum pikiran manusia sendiri
diciptakan, paham ini kita kenal dengan nama idealisme. Mereka juga menyakini
bahwa manusia dengan akalnya hanya diberi tugas untuk mengetahui atau
mengeluarkan ide ide tersebut dengan kemampuan bernalarnya. Jadi, ide bagi
mereka adalah sumber pengetahuan yang prapengalaman yang didapat manusia
melalui proses bernalar, bukan pengalaman.
Tapi, dengan menyakini hal itu, jujun
mengatakan bahwa terdapat masalah pada cara berpikir yang seperti itu. Ini
disebabkan oleh perbedaan ide yang dimiliki seseorang dengan seseorang lainnya.
Mungkin menurut si A ide tentang tempe (umpamanya) jelas dan dapat dipercaya,
tapi menurut si B ide itu tidak jelas dan tidak dapat dipercaya, sebab si B
melakukan sebuah penalaran lain yang berbeda dengan si A, dengan menggunakan
ide yang menurut dia jelas dan dapat dipercaya. Oleh karena itu, dalam satu
objek penalaran akan banyak didapatkan pengetahuan pengetahuan yang berbeda.
Dalam hal ini menurut jujun, pemikiran rasioanal cenderung untuk bersifat
subjektif dan solipsistik (ke-aku-an atau individual).
Bagaimana dengan kaum empiris ?, mereka
mengatakan bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman yang bersifat konkret,
bukan didapat dari penalaran logika yang bersifat abstrak. Pengalaman yang
dikatakan kaum empiris lebih menekankan kepada pengalaman indera manusia.
Seperti melihat, mencium, mendengar dan lainnya. Metode yang dipakai kaum
empiris adalah metode induktif, kebalikan dari metode yang dipakai oleh
rasionalis. Terdapat beberapa kharakteristik dalam penalaran kaum empiriss ini,
yaitu pertama, mengamati keteraturan pola yang terjadi pada objek tertentu.
Contohnya : setiap mendung akan diikuti oleh turunnya hujan, awal bulan akan
diikuti oleh turunnya gaji, dll. Yang kedua, adanya kesamaan dan pengulangan pengulangan
tentang apa yang terjadi pada objek tersebut. Contohnya : setiap logam yang
dipanaskan pasti akan memanjang.
Tetapi sekali lagi, jujun mengemukakan
tentang masalah masalah atau celah celah yang terdapat dalam metode berpikir
seperti ini. Masalah utama yang disebutkan oleh jujun tentang cara berpikir
empiris yakni hasil yang diperoleh cenderung merupakan kumpulan fakta fakta
tentang objek yang dikaji, daripada sebuah pengetahuan tentang objek tersebut.
Ini mengindikasikan bahwa pengetahuan yang didapat dari proses bernalar seperti
ini tidaklah bersifat tetap atau konsisten, masih ada ruang untuk timbulnya
kontradiksi kontradiksi dari proses bernalar yang dipakai.
Disisi lain, dari anggapan kaum empiris
perihal bahwasanya dunia fisik ini adalah sesuatu yang nyata karena tertangkap
oleh indera, jujun mengemukakan lagi dua masalah. Masalah yang pertama adalah
hubungan antara satu fakta dengan fakta yang lainnya tidaklah senyata apa yang
dianggapkan. Perlu adanya kerangka pemikiran untuk dapat mengetahui hubungan
yang terjalin diantara dua fata atau obje tersebut. Contohnya : hubungan antara
intelegensi manusia dengan rambut keriting. Sekilas, andaikan kita hanya
bertumpu pada pengalaman indera saja, kita tidak akan menemukan hubungan logis
antara dua fakta diatas.
Masalah kedua adalah tentang hakikat
pengalaman dan panca indera sebagai alatnya dalam menemukan sebuah pengetahuan.
Karena, bagaimanapun juga indera manusia mempunyai batasan batasan yang dengan
batasan itu indera tidak dapat menjangkau semua fakta untuk disimpulkan menjadi
sebuah pengetahuan. Contohnya : pensil yang diletakkan didalam air akan
terlihat bengkok. Kalau kita menyimpulkan bahwasanya setiap benda padat yang
dimasukkan kedalam air akan bengkok, kesimpulan tersebut akan salah. Itulah
batas batas indera yang dipermasalahkna jujun dalam proses mendapatkan
pengetahuan ala empiris ini.
Disamping dua hal tersebut, empirisme dan
rasionalisme, masih terdapat sumber sumber yang dapat memberikan pengetahuan
kepada manusia. Yaitu intuisi dan wahyu. Tapi, keduanya tidak dapat diandalan
untuk menjadi semacam tumpuan dalam proses menmperoleh pengetahuan yang benar.
Disamping kedua hal tersebut lebih kepada bersifat individual, kedua hal
tersebut juga bersifat ghaib atau tidak konkret.
KRITERIA KEBENARAN
Disini akan dibahas seperti apakah kriteria
kebenaran yang dapat diterima dan dapat dikatakan kebenaran tentunya.
terdapat beberapa teori yang akan
mengantarkan kita kepada pengetahuan tentang nilai nilai kebenaran suatu
penalaran. Dalam buku disebutkan tiga teori tentang criteria kebenaran. Pertama
adalah teori koherensi, yang kedua adalah teori korespondensi dan yang terakhir
adalah teori pragmatis. Terkait dengan metode penalaran atau logika yang telah
dibahas sebelumnya yakni deduktif dan induktif, teori koherensi cenderung
kepada logika deduktif, sedangkan teori pragmatis cenderung kepada logika
induktif.
Suatu pernyataan dapat dikatakan benar
menurut teori koherensi, apabila pernyataan tersebut sesuai atau selaras dengan
pernyataan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Suatu pernyataan tidak
bisa dikatakan benar bila pernyataan itu bertentangan atau tidak koheren dengan
pernyataan pernyataan sebelumnya yang telah dianggap benar. Teori ini adalah
teori yang menjadi landasan bagi matematika.
Yang kedua adalah teori korespondensi
(teori berhubungan). Artinya, suatu pernyataan dapat dikatakan benar bila
pernyataan itu sesuai atau berhubungan dengan fakta yang terjadi di lapangan.
Misalnya : UIN Syarif Hidayatullah berada di Ciputat. Pernyataan tersebut benar
karena memang uin syarif hidayatullah terletak atau berada di daerah Ciputat.
Merupakan suatu pernyataan yang salah, apabila dikatakan bahwa UIN Syarif
Hidayatullah terletak di Bondowoso.
Dan teori yang terakhir adalah teori
pragmatis yang berlandaskan kepada
logika induktif sebagaimana yang telah dikatakan diatas. Teori ini mengatakan
bahwa pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang bersifat fungsional. Dalam
artian, pengetahuan tersebut akan mendampakkan sebuah manfaat yang jelas bagi kehidupan
manusia. Dikatakan berlandaskan logika induktif, karena memang teori ini
melakukan sebuah proses pembuktian kebenaran dengan mengumpulkan fakta fakta
yang akan mendukung kepada satu pernyataan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar