Penelusuran Peta Pemikiran Filsafat Tentang “Kosep
Kesadaran dan Keterbukaan Manusia” Mulai Periode Yunani hingga Abad Modern.
Berbicara tentang konsep kesadaran manusia berarti
akan dibicarakan juga tentang konsep pikiran dan rasio manusia. Karena
sebagaimana yang telah diketahui sebelumnya, kesadaran atau sadar merupakan
salah satu bentuk kerja atau aktivitas dari berpikir pada otak manusia. Oleh
karena itulah penelusuran konsep kesadaran manusia akan dimulai dari peta
pemikiran filsafat tentang alam pikiran manusia, rasio manusia sejak periode
yunani, yang akan dilanjutkan oleh pemikiran para filosof selanjutnya hingga
abad ke-20. Berikut adalah penelusuran secara kronologis tentang konsep
kesadaran manusia mulai periode yunani hingga abad modern.
Konsep Kesadaran Periode Yunani hingga Abad
Pertengahan
Plato [427 SM-347 SM]
adalah salah seorang dari tiga filosof Athena. Dia dilahirkan di Athena dan
hidup selama lebih kurang 80 tahun lalu meninggal pula disana pada tahun 347
SM. Sejak berumur 20 tahun plato telah mengikuti pelajaran dan menjadi murid
setia dari Socrates. Jadi tidak mengherankan jika soctares mempunyai pengaruh
yang sangat besar dalam pandangan-pandangannya, bahkan menjadi panutan hingga
akhir hayatnya.
Dalam
pemikiran filsafatnya tentang pikiran manusia, plato berkeyakinan bahwa dunia
lahir adalah dunia pengalaman yang selalu berubah-ubah dan berwarna-warni.
Kesemuanya itu adalah bayangan dari dunia ide. Sebagai suatu bayangan,
hakikatnya adalah tiruan dari yang asali yaitu dunia ide manusia. Oleh karena
sebuah tiruan, dunia lahir dapat berubah-ubah dan menyesuaikan diri. Pandangan
ini dikenal dengan nama teori idea. Yakni bahwasanya yang benar-benar
hakiki ialah apa yang ada dalam ide manusia, bukan apa yang dia lihat dari
dunia kenyataan yang dialaminya. Dari sinilah plato dikenal sebagai salah
seorang pelopor rasionalisme, yang nantinya akan dilanjutkan oleh Descartes
pada abad modern. Dengan memandang manusia sebagai mahluk rasional, plato
meyakini bahwa rasio dan jiwa manusia merupakan satu-satunya yang mampu
memahami kenyataan dan kebenaran sejati. Dalam pandangannya juga, fungsi rasio
manusia merupakan salah satu fungsi yang terdapat dalam kesadaran. Oleh karena
itu, rasio atau intelek menjadi penentu dimana manusia mampu menyadari dirinya
sendiri dan dunia yang ada disekitarnya baik secara konkret maupun abstrak.
Bukan dari pengalaman atau apa yang dilihatnya, melainkan dari apa yang
dipikirkannya. Dan mengetahui, bahwasanya dunia yang dialaminya hanyalah sebentuk
dari pantulan yang dihasilkan oleh alam ide itulah, manusia dapat dikatakan
sadar dan menyadari.
Akan
tetapi, bagus takwin dalam bukunya ini menyatakan bahwa pandangan yang
ditawarkan plato dan para pengikutnya merupakan suatu model kesadaran yang
tertutup. Dalam artian, manusia hanya ditekankan untuk memandang ke dalam
jiwanya sendiri untuk mengetahui suatu kenyataan yang sejati dan untuk
dikatakan sadar akan kebenaran yang hakiki. Bukan memandang ke luar jiwanya.
Yakni bahwasanya apa yang terdapat dalam dirinya, jiwanya dan idenya merupakan
satu kebenaran dan kenyataan yang hakiki, sedangkan hal-hal, atau kenyataan di
luar dirinya, yang terpampang pada kenyataan yang dialami dan terlihat oleh matanya
adalah satu bentuk kepalsuan dan hanyalah tiruan dari apa yang ada dalam
idenya. Inilah yang dikatakan bagus takwin sebagai kesadaran tertutup. Tertutup
hanya sebatas dirinya sendiri.
Aristoteles
[384 SM-322 SM]. Lahir di stageira pada semenanjung kalkidike di trasia dan
meninggal pada usia 63 tahun di kalkis. Dia adalah salah seorang dari murid di
academia plato. Setalah kematian ayahnya pada saat dia berumur 18 tahun dia
lalu berangkat menuju Athena untuk belajar disana. Selama kurang lebih dua
puluh tahun dia bergelut dengan pemikiran plato dan bergaul dengannya, serta
mengumpulkan dan membaca banyak buku. Disamping juga dia banyak mengikuti
kajian untuk memperluas pengetahuannya di luar academia. Salah satunya dia juga
memperdalam ilmu astronomi kepada euxodos dan kalippos waktu itu.
Gagasannya
tentang “kesadaran” sebanarnya tidak jauh dari apa yang dipahami gurunya plato.
Akan tetapi, dia mengkritik gurunya tersebut yang terlalu berlebihan membela
dunia ide tanpa mengindahkan adanya alam inderawi yang terlihat dan dapat
dirasakan. Menurut aristoteles alam nyata atau dunia lahir juga merupakan salah
satu sumber pengetahuan bagi manusia untuk mengetahui kenyataan dan kebenaran
yang sejati. Walaupun pada akhirnya aristoteles juga kembali kepada prinsip
yang diusung oleh gurunya tersebut, yakni bahwasanya yang dapat memberikan
manusia kebenaran dan kenyataan sejati hanyalah alam ide. Selain itu palsu. Dan
oleh karenanya manusia disebut sadar. Dengan penolakan sekaligus pembenaran
terhadap pandangan gurunya itu kemudian aristoteles mengemukakan sebuah konsep
yang dikenal dengan nama logika. Aristoteles menyatakan bahwasanya alam
inderawi merupakan sumber pengetahuan bagi manusia. Akan tetapi untuk menemukan
dan mengetahui kebenaran yang sejati, seseorang haruslah mengikuti cara-cara
yang diajukannya, yakni dengan menggunakan rasionalitasnya.
Selain
itu aristoteles juga menegaskan bahwasanya segala yang ada di dunia ini terkena
prinsip teleologis ; segala sesuatu bergerak menuju satu tujuan, yaitu kepada
satu penggerak yang tak tergerakkan, yang disebut sebagai prima causa. Begitu
juga manusia. Manusia sejak kemunculannya di dunia ini sudah terkena hokum
determinisme. Segala sesuatu yang berkaitan dengannya sudah ditentukan oleh
kekuatan yang ada di luar dirinya, yakni prima causa tadi. Dengan begitu, rasio
dan logika manusia mau tidak mau juga menuju kepada satu titik tersebut. Karena
itulah, rasio yang digagas oleh aristoteles menurut bagus takwin merupakan
rasio tertutup.
Santo
Augustinus [354-430 M] lahir di Tagasta, Numidia Algeria pada tanggal 13
November 354 M dan meninggal pada tanggal 28 Agustus 430 M. sejak lahir
augustinus sudah mendapatkan berbagai macam pelajaran tentang ke-kristenan dan
tuhan. Hal ini dapat dimaklumi karena memang ia terlahir dari orang tua
penganut Kristen yang taat. Ayahnya paticius adalah salah satu pejabat
kekaisaran romawi, sedangkan ibunya monica adalah salah seorang perempuan yang
dikenal taat terhadap aturan dan ajaran agama Kristen. Tak heran pada akhirnya
augustinus menjadi seorang pendeta karena desakan yang besar dari penduduk di
tempat tinggalnya.
Dalam
pandangannya tentang tuhan dan realita yang hakiki, augustinus memang
terpengaruh oleh filsafat yang diperkenalkan plato. Ini terlihat dati
keyakinannya bahwa tidak ada realitas di luar tuhan. Bedanya, plato beranggapan
bahwasanya kebenaran yang hakiki terletak pada dunia ide, sedangkan augustinus
lebih meyakini bahwa kebenaran dan realita hakiki hanyalah dimiliki oleh tuhan
semata. Mengapa bisa demikian?, dia mengatakan bahwasanya hakikat yang
sebenarnya adalah sebab awal, asal muasal yang paling asali. Sedangkan menurut
dia tidak ada sesuatu yang dapat menjadi sebab awal kecuali tuhan. Oleh karena
itulah tuhan merupakan hakikat sebenarnya, realitas dan esensi yang paling
hakiki. Selebihnya, hal-hal yang berada di luar dan terpisah dari tuhan
merupakan sesuatu yang fana dan palsu.
Disisi
lain ia juga meyakini bahwasanya pemikiran dapat mengenal kebenaran. Sebab
itulah dia menolak skeptisisme. Adapun hal-hal yang berkaitan dengan beragamnya
kebenaran tentang benar, kebenaran tentang indah atau kebenaran tentang baik,
akan mendesak manusia untuk dapat menentukan ukuran kebenaran yang absolut dan
memperolehnya, yaitu tuhan. Pada intinya, ajaran atau pandangan augustinus terfokus
pada pembahasan tentang Tuhan. Dan sejauh yang saya pahami pandangan augustinus
juga merupakan rasio tertutup. Karena dia hanya memfokuskan pandangannya hanya
pada satu titik yakni tuhan. Adapun hal-hal yang berada di luarnya, tidak dia
bahas secara merinci.
Thomas
Aquinas menggunakan apa yang dinamakannya dengan common sense untuk memberi
pengertian pada konsep kesadaran. Dalam bukunya bagus takwin tidak menjelaskan
secara luas perihal pandangan Aquinas tentang konsep kesadaran manusia. Intinya,
Aquinas meyakini bahwasanya manusia dapat menyadari sesuatu dengan pengalaman
inderawi dan persepsinya. Akan tetapi itu tidak cukup bagi dia untuk dikatakan
sadar atau menyadari. Masih dibutuhkan akal sehat atau common sense sebagai
satu bagian dimana manusia dapat secara utuh menyadari hal-hal yang berada di
luar dirinya. Akal sehat disini berfungsi sebagai alat pengindera bagi
pengalaman inderawi manusia. Seperti contoh yang diberikan : yakni semisal
seseorang yang adapat melihat bahwasanya dia sedang melihat sesuatu. Proses
penginderaan oleh akan sehat terhadap pengalaman inderawi itulah yang disebut
Aquinas sebagai kesadaran.
Konsep Kesadaran Abad Modern
Pada periode ini konsep tentang tahu, mengetahui
dan pengetahuan manusia berkutat diseputar pertarungan antara filosof
rasionalisme dan empirisme semisal Descartes, Leibniz, John Locke dan David
Hume, yang kemudian didamaikan oleh kritisme Immanuel Kant. Pertarungan tentang
konsep tahu, mengetahui dan pengetahuan manusia inilah nantinya yang akan berimbas
besar pada pengenalan tentang konsep kesadaran pada abad modern. Berikut
ulasannya :
Rene
Descartes [1596-1650 M] dikenal sebagai bapak filsafat modern. Dengan
meneruskan tarekat filsafat yang diusung plato, Descartes dikenal sebagai
filosof yang sangat berpengaruh bagi pemikiran-pemikiran filsafat setelahnya.
Sebagaimana yang diyakini oleh mursyidnya yaitu plato, dia juga meyakini
bahwasanya akal atau rasio manusia adalah satu-satunya sumber kebenaran. Dia
menegaskan bahwasanya kebenaran hanya akan diperoleh dari satu tindakan akal
yang dia sebut sebagai ideas claires el distinctes, yakni satu tindakan
akal yang terang benderang dan terpilah-pilah. Pikiran yang terang benderang
ini adalah pemberian tuhan sejak sebelum seseorang dilahirkan yang Descartes
namakan dengan ideas innatae atau ide bawaan. Jadi mustahil tidak benar.
Disamping
itu dia juga menetapkan satu metode dalam filsafatnya sebagai jalan untuk
mendapatkan hasil yang benar-benar logis, yakni suatu metode yang dikenal
sebagai metode keragu-raguan. Tesisnya “cogitio ergo sum”
mengindikasikan dua hal. Pertama, bahwa dengan meragukan segala sesuatu,
manusia akan dapat memperoleh kebenaran yang hakiki. Kedua, mengisyaratkan
bahwasanya rasio yang memandang diri sendiri adalah penentu bagi keberadaan
subjek dan benda-benda disekitarnya.
Pertama
“dengan keraguan, manusia akan memperoleh kebenaran hakiki”. Disini Descartes
menyuruh kita untuk terus menerus melakukan “keraguan” terhadap pengetahuan
yang kita miliki, termasuk kebenaran-kebenaran yang kini dianggap telah final
dan pasti. Dan pada akhirnya segala sesuatu mau tidak mau harus ditempatkan
dalam genggaman keragu-raguan, kecuali tentang diri kita sendiri yang sedang
berpikir dan beragu-ragu ria. Artinya, kita boleh saja meragukan benda-benda
yang terhampar dihadapan kita, mempertanyakan apakah benda tersebut sama dengan
apa yang kita sadari ataukah hanya ilusi inderawi belaka., namun kita tidak
mungkin meragukan keberadaan diri kita yang sedang meragukan benda-benda tadi. Setidaknya
inilah pemahaman pertama dari cogito ergo sum diatas. Kedua, tesis itu
juga mengisyaratkan bahwa sadar atau melakukan refleksi terhadap diri sendiri
merupakan penentu bagi keberadaan subjek dan benda-benda disekitarnya. Didalam
pembahasan filsafat modern, cogito disini lebih dipahami sebagai
menyadari daripada hanya sekedar berpikir. Oleh karena itu dapat dipahami, “aku
sadar, maka aku ada”, benda-benda akan “ada” karena aku sadari, begitu juga
diriku, akan “ada” ketika aku menyadarinya. Sebaliknya, ketika tidak sadar,
maka si subjek ataupun benda-benda yang ada disekitarnya dianggap tidak ada.
Dengan demikian kesadaran saja merupakan syarat cukup (sufficient condition)
dan sekaligus syarat niscaya (necessary condition) dari pengetahuan manusia.
Akan
tetapi, disamping keraguan yang terus menerus dilakukannya itu Descartes
meyakini bahwa ada kebenaran yang tidak patut diragukan lagi. Kebenaran yang
sudah ada pada diri manusia sejak ia lahir, kebenaran yang dianugrahkan oleh
tuhan ke dalam diri manusia, kebenaran yang seperti saya katakan diatas
merupakan sebuah ideas innatae atau ide bawaan dalam pandangan
Descartes. Yaitu : Tuhan, pemikiran, dan keluasan. Ketiga hal inilah yang
ditawarkan Descartes sebagai sesuatu yang clear and distinct, suatu perkara
yang sangat mendasar, dimana tidak aka nada lagi akar terdalam yang dapat
ditemukan manusia kecuali tiga hal tersebut. Mengapa demikian?, karena klaim
kebenaran tentang apa pun, sejalan dengan tak tergugatnya diri sebagai subjek
berpikir, hanya akan ditemukan validitasnya didalam keterampilan nalar didalam
diri subjek yang berpikir itu sendiri, bukan pada objek yang diamati. Apa yang
aku sadari terdapat dalam kesadaranku, kepalaku. Tak ada alasan untuk
mempercayai penampakan buram dari objek yang kita amati. Karena itulah, sesuatu
yang jelas dan tegas, Ideas innatae merupakan sesuatu yang paling mendasar dan
tak perlu dipertanyakan lagi kebenarannya. Kesimpulannya, apa yang dinamakan kesadaran
menurut Descartes adalah sebuah refleksi atau introspeksi kritis yang
mempertanyakan refleksi diri manusia.
Leibniz [1646-1716 M] tidak
berbeda jauh dengan apa yang ditegaskan oleh Descartes. Dia juga mengatakan bahwasanya
kebenaran substansial hanya bisa diperoleh dengan akal atau rasio manusia. Akan
tetapi Leibniz memiliki konsep tersendiri dalam merumuskan pandangannya tentang
kesadaran manusia, yang dinamakan konsep monad (gelembung). Rasio
manusia menurut Leibniz adalah sekumpulan monad, yang antara satu monad dengan
monad yang lainnya berbeda dan beragam. Dia mengatakan persepsi manusia adalah
representasi dari benda eksternal pada tataran dalam monad, sedangkan kesadaran
manusia merupakan sebuah pengetahuan reflektif dari tataran dalam monad. Dari
sini dapat dipahami bahwasanya kesadaran manusia merupakan suatu hasil atau
tindak lanjut dari proses representasionalisasi tataran dalam monad terhadap
benda-benda eksternal, yang kemudian melahirkan sebuah pengetahuan reflektif
yang disebut sebagai kesadaran akan benda-benda tersebut. Jadi, baik persepsi
maupun kesadaran manusia semuanya berpusat pada kumpulan monad tersebut.
Kesimpulannya, karena monad berada dalam subjek yang berfikir dan sekaligus
menjadi sumber pengetahuan baginya, maka bagus takwin juga menggolongkan rasio
Leibniz kedalam rasio yang tertutup.
John Locke [1632-1704 M] adalah
seorang empiris yang menentang ajaran kaum rasionalis. Di tidak sepakat dengan
filosof rasionalis yang telah disebutkan sebelumnya dalam beberapa hal.
Pertama, dia menolak bahwa dengan melakukan refleksi kritis tehadap
refleksinya, manusia akan menemukan ide yang paling murni tentang
keberadaannya. Lebih jauh, dia menolak bahwa rasio adalah alat satu-satunya
dalam memproleh pengetahuan sejati. Kedua, dia juga menolak terhadap apa yang
disebut ideas innate-nya Descartes, adequate ideas-nya Spinoza
dan truth of reason-nya Leibniz. Dia beranggapan, yang dinamakan ide
bawaan itu tidak ada.
Pertama ia menolak bahwasanya
rasio adalah satu-satunya alat bagi manusia untuk memperoleh pengetahuan
sejati. Locke beranggapan bahwasanya manusia akan dapat mengetahui sesuatu
dengan panca inderanya. Dengan konsepnya yang dinamakan representasionalisasi,
locke menjelaskan cara kerja indera dalam perannya sebagai sumber bagi
pengetahuan sejati manusia. Pertama-tama, dia menjelaskan bahwa objek atau
benda-benda memiliki semacam daya yang nantinya akan memunculkan kesan
subjektif dalam diri manusia. Lalu akal dan budi manusia yang dianggap seumpama
dengan lembaran kertas kosong, mulai membaca data mental yang telah
ditarnsmisikan oleh kerja keras indera tersebut. Jadilah persepsi manusia
mendudukkan data mental tersebut sebagai objek langsungnya. Dengan begitu,
manusia dikatakan sadar, sekalipun benda atau objek yang diluar sana tidak lagi
dianggap selain sekelebat kehadiran representasinya sebagai ide yang hadir bagi
kesadaran manusia. Kedua, Locke juga mambantah dengan tegas bahwa tidak ada ide
bawaan pada diri manusia. Seperti yang telah dijelaskan diatas. Budi atau akal
setelah lahir menurut Locke adalah serupa lembaran kertas kosong putih yang
masih bersih dari coretan-coretan atau goresan-goresan pena. Jadi tidak ada
ceritanya, setelah lahir bayi memiliki ide atau akal yang telah ditulisi dengan
apa yang dianggapkan oleh Descartes. Semuanya masih bersih, masih kosong
setelah mereka lahir. Nah, pengalaman inderawilah yang nantinya akan mewarnai,
mencorat-coret lembaran budi mereka, selama masa kehidupan yang akan mereka
alami di dunia ini. Dengan inderalah seorang manusia memperoleh pengetahuan dan
mendapatkan kebenaran tentang sesuatu, bukan rasio. Kata John Locke.
David Hume [1711-1776 M] adalah
seorang empiris yang paling radikal dalam mengaplikasikan prinsip-prinsip
empiristis. Dia bukan hanya memandang bahwasanya manusia dapat memperoleh
kebenaran dan pengetahuan sejati dengan pengalaman inderawinya, dan membantah
anggapan bahwa rasio merupakan satu-satunya sumber pengatahuan sejati bagi
manusia. Lebih jauh lagi dia menolak adanya rasio. Hume menganggap rasio
hanyalah bualan dan hayalan para kaum rasionalis belaka. Ia menganggap rasio
hanyalah sebuah penamaan saja, tak lebih, dan bukan suatu hal yang nyata. Yang
nyata menurut hume adalah pengalaman-pengalaman yang dialami manusia, yang
datang silih berganti, yang dapat dipilah-pilah satuannya. Manusia bagi hume
tak lebih hanyalah sekumpulan persepsi yang berubah-ubah setiap harinya.
Seseorang tidak akan dapat mendapati dirinya tetap, melainkan dirinya yang
terus berubah, yang terus mengalami setiap saatnya. Dengan pandangan ini
otomatis Hume menolak bahwa manusia adalah mahluk yang rasional. Rasio baginya
hanyalah hal yang pasif, dan seperti yang dikatakan diatas, dia menolak
mentah-mentah rasio.
Immanuel Kant [1724-1804 M]
adalah filosof yang mengusung madzhab kritisisme yang nantinya akan melahirkan
aliran filsafat kantianisme. Dia dalam filsafatnya berupaya untuk mendamaikan,
dan mengadakan penyelesaian atas pertikaian yang terjadi antara kaum rasionalis
dan kaum empiris.
Kant membagi pemahaman dan pengalaman
manusia menjadi dua bagian. Pertama pemahaman dan pengalaman empirical
(apersepsi empirik), kedua pemahaman dan pengalaman transedental (apersepsi
transendental). Apersepsi empiric dipengaruhi oleh keadaan-keadaan luar diri
manusia. Oleh karena itu penampakannya bersifat pasang surut dan terus
berubah-ubah. Pandangan ini didasarkan pada anggapan kaum empiris bahwasanya
pengalaman inderawi adalah sumber pengetahuan bagi manusia. Sedangkan apersepsi
transedental sebaliknya, tidak terpengaruh oleh hal-hal yang berada diluar diri
manusia. Dia bersemayam dalam diri manusia sebagai sebuah kesadaran murni sejak
lahir, kant menyebutnya kesadaran murni. Oleh karena itu sifatnya ajeg dan
tidak berubah-ubah. Pemahaman ini oleh kant didasarkan kepada anggapan kaum
rasionalis bahwa rasio merupakan satu-satunya alat bagi manusia untuk
mendapatkan pengetahuan yang sejati. Dari sini menjadi jelas bahwa kant memang
sedang mengupayakan adanya perdamaian diantara dua kaum diatas. Dia menganggap
masing-masing dari kaum rasionalis dan empiris terlau banyak memberikan porsi
atau melebih-lebihkan terhadap konsep yang mereka tawarkan dalam rangka
mendefinisikan sumber pengetahuan sejati bagi manusia.
Gampangnya, kant membagi hal-hal
yang berada diluar diri manusia menjadi dua macam, nomena dan fenomena.
Fenomena adalah penampakan inderawi dari obejk-objek yang bisa diamati oleh
persepsi manusia. Semisal bentuk kursi, mobil, gunung, dan lain-lain. Sedangkan
nomena adalah substansi yang ada dalam objek atau penampakan tersebut.
Subsatnsi yang hakiki, yang oleh kant dinamakan das ding an sich atau
sesuatu yang terdapat didalam, syai’ fi dzatihi. Menurut kant, manusia hanya
akan dapat mengetahui penampakan-penampakan fenomenal saja, dari benda-benda
yang mereka amati. Adapun masalah nomena benda tersebut, mustahil bagi manusia
untuk mengetahuinya, kata kant.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar