Penelusuran Peta Pemikiran Filsafat Tentang “Kosep
Kesadaran dan Keterbukaan Manusia” Mulai Awal Abad Ke-20 sampai Akhir Abad
Ke-20.
Konsep Kesadaran Awal Abad Ke-20
Edmund
Husserl [1859-1938 M] adalah salah seorang pendiri dan pengasuh madzhab
filsafat fenomenologi. Dia berpendapat bahwasanya ada satu kebenaran yang dapat
diketahui oleh semua orang. Fenomenologi mengajarkan bahwasanya seseorang yang
ingin menemukan pengetahuan yang benar haruslah kembali lagi kepada benda-benda,
mengamati benda serta memberikan hak dan kesempatan kepadanya untuk dapat
menjelaskan sendiri hakikat dirinya. Dalam artian, benda-benda fenomena sebagai
sebuah objek yang diamati dan dilihat oleh Husserl diberi kesempatan untuk
menjelaskan sendiri hakikat dirinya. Karena selama ini, yang menentukan hakikat
objek atau benda-benda adalah manusia sebagai subjek yang mengamati dan
meneliti.
Dengan begitu, madzhab pemikiran
ini tentu berseberangan dengan apa yang diyakini oleh madzhab rasionalisme yang
mengklaim objek dan benda-benda adalah palsu, ksosng tak berisi. Selanjutnya,
terkait dengan konsep kesadaran yang dipahaminya, Husserl memberikan sebuah
penjelasan mengenai proses atau jalan terjadinya kesadaran manusia itu sendiri.
Dia juga memberikan keterangan tentang “seperti apakah kesadaran murni itu ?”,
satu kesadaran yang dia sebut sebagai subjek transcendental, sebuah kesadaran
yang dia yakini bersifat absolut dan menetap dalam diri manusia, kesadaran yang
memuat secara lengkap dunia, manusia beserta kesadarannya itu.
Keyakinan
ini awalnya berangkat dari satu asumsi yakni kesadaran sebagai sebuah subjek
tidak begitu saja memaksakan hukum-hukumnya terhadap objek, tetapi selalu
berinteraksi dengan objek. Oleh karena itulah kesadaran dalam pandangan Husserl
menyadari juga adanya kesadaran-kesadaran lain. Selanjutnya Husserl membagi
wilayah kesadaran manusia kepada dua hal, pertama wilayah material atau factual
(sesuatu yang konkret), kedua wilayah formal (sesuatu yang abstrak). Kedua
wilayah ini bagaikan sepasang roda kereta kuda yang dihubungkan oleh kayu atau
sejenisnya, sehingga kedua roda itu dapat berputar harmonis dan menghasilkan
sebuah gerakan maju dan mundur secara bersamaan.
Menurut Husserl, pikiranlah yang
menghubungkan kedua wilayah tersebut, wilayah hal-hal yang konkret dan wilayah
hal-hal yang abstrak, bagaikan sebatang kayu yang menggerakkan dua roda. Dari
hasil kerja pikiran itulah kesadaran manusia akan terbentuk. Akan tetapi
seperti yang telah dikatakan tadi, pergerakan diantara keduanya bukan sesuatu
yang dipahami sebagai hubungan sebab-akibat (kausalitas), tetapi lebih kepada
hubungan intensional. Yang dengannya manusia dapat memahami, memadukan,
memusatkan, mengkonsentrasikan diri ataupun mengabaikan salah satu keduanya.
Hasil dari kerja pikiran terhadap kedua wilayah tersebutlah yang Husserl sebut
sebagai kesadaran yang absolut, kesadaran yang menetap dalam diri manusia dan
tidak bergerak kemana-mana. Sedangkan wilayah diantara sesuatu yang konkret dan
yang abstrak adlah wilayah yang Husserl yakini sebagai wilayah kesadaran murni
manusia, yang dikenal juga dengan istilah subjek transcendental.
Lalu
Husserl memberikan langkah-langkah atau tisp-tips bagi manusia yang ingin
mencapai kesadaran murni sebagai mana yang telah dijelaskan tersebut, yakni
dengan melakukan sebuah pendekatan yang dia namakan pendekatan reduksi.
Pendekatan reduksi adalah penundaan segala pengetahuan yang ada tentang objek
sebelum dilakukan pengamatan secara intuitif. Menurutnya, sebelum sampai pada
kesadaran murni tersebut manusia haruslah terlebih dahulu melalui tiga tahap
reduksi. [1] reduksi fenomenologis, [2] reduksi eidetis, [3] reduksi fenomenologi-transendental.
Reduksi fenomenologis adalah
tahap awalnya. Pada tahap ini manusia dituntut untuk membersihkan dirinya dari
segala subjektivitas yang akan mengganggunya menuju realitas benda. Karena
dalam praktik hidup sehari-hari, apa yang dilihat manusia secara spontan sudah
dapat menyakinkan bahwasanya apa yang dia lihat adalah sesuatu yang real dan
nyata. Nah, karena fenomenologi hanya berkepentingan kepada realita di lura
benda itu sendiri, maka segala anggapan tentangnya yang bersifat subjektif
haruslah dibuang terlebih dahulu. Tahap kedua adalah melakukan reduksi eidetis,
secara bahasa eidetis berasal dari kata eidos yang berarti intisari. Dengan
begitu, reduksi eidetis adalah mengungkap struktur dasar atau intisari dari
suatu fenomena murni atau fenomena yang telah dimurnikan. Setelah melewati atau
melakukan tahap awal sebagai langkah pemurnian awal sebuah fenomena dari
anggapan-anggapan awal subjektif, reduksi eidetis dilakukan sebagai langkah lanjutan untuk kembali
memurnikan fenomena yang telah murni tadi, dengan tujuan untuk memperoleh dan
mengungkap intisari atau esensi yang paling mendasar dari sebuah fenomena. Tahap
ketiga adalah reduksi fenomenologi-transedental merupakan tahap terakhir dari
proses penggalian kesadaran murni. Yang dimaksud dengan reduksi transedental
adalah menyimpan keberadaan realitas secara keseluruhan untuk menampilkan
kesadaran beserta aktivitas-aktivitasnya. Secara garis besar, reduksi pertama
dan kedua bertujuan untuk menyaring esensi dari objek, sedangkan reduksi ketiga
bertujuan untuk menyaring esensi subjek sebagai satu kesadaran dengan segala
macam aktivitasnya dalam memberi transenden kepada apa yang sesungguhnya
terintegrasi dalam kesadaran manusia. Maksudnya adalah serupa dengan kerja
sebatang kayu dalam aktivitasnya mengintegrasikan kedua roda pada kereta kuda,
sehingga menjadi sebuah satu-kesatuan dalam gerak kereta itu sendiri. Nah,
dengan ketiga tahap reduksi diatas, manusia pun akan sampai pada kesadaran
murninya atau subjek transedentalnya. Dengan begitu juga, manusia menurut
husserl lalu dikatakan sadar atau menyadari.
Jean Paul Sartre [1905-1980 M] adalah salah satu filosof eksistensialisme
yang lahir dan meninggal di Prancis. Tema sentral yang diangkat oleh madzhab filsafat ini
adalah tentang ke”ada”an manusia. Sebagaimana filosof eksistensialis yang
lainnya, sartre juga menyakini bahwasanya manusia tidaklah sesederhana apa yang
dipahami oleh madzhab materialisme. Filosof materialis beranggapan bahwasanya
manusia pada akhirnya adalah sebuah benda seperti halnya smartphone ataupun
note tab. Dalam artian, mereka memahami manusia sebagai sesuatu yang materil,
tidak lebih. Hanya saja manusia memiliki bentuk yang lebih sempurna daripada
benda-benda materi lainnya, akan tetapi dalam masalah keberadaannya, manusia
tidak jauh berbeda.
Nah, dari pemahaman inilah muncul eksistensialisme. Para filosof
eksistensialis mengatakan bahwa adanya manusia tidak sama dengan adanya
benda-benda materil tersebut. Manusia memiliki kebebasan untuk memaknai
realitas yang dialaminya. Karena manusialah yang menentukan sendiri kemana arah
tujuannya, apa yang akan dilakukannya serta menjadi apa. Manusia bebas dalam
menentukan itu semua karena ia memiliki kesadaran yang didasari dari
keberadaanya yang berpotensi menghasilkan begitu banyak kemungkinan untuk
menafsiri dunia dengan pelbagai cara. Beda halnya dengan batu ataupun kayu yang
keberadaanya sudah jelas dan absolut. Benda-benda itu terlahir sebagai objek,
manusia terlahir sebagai subjek. Oleh karena itu, adanya manusia adalah
keberadaan yang bebas, yang ada untuk dirinya sendiri. Karena itu pula, sartre
tidak menutup keyakinan bahwa manusia memang mahluk yang bebas. Beberapa tokoh
dalam madzhab eksistensialisme adalah Martin Heidegger, Jean Paul Sartre dan
Gabriel Marcel. Akan tetapi disini kita akan lebih banyak membahas sartre
beserta konsepnya tentang kesadaran manusia.
Sartre membagi kesadaran manusia
menjadi dua macam : pertama kesadaran pra-reflektif, keduan kesadaran
reflektif. Kesadaran pra-reflektif oleh srtre juga disebut sebagai kesadaran
yang tidak sadar. Dalam artian, si manusia sebagai subjek yang menyadari
terlalu tenggelam dalam mengarahkan kesadarannya pada si objek, sehingga dengan
begitu dia tidak menyadari bahwa dirinya sedang menyadari sesuatu. Seperti yang
banyak dialami oleh manusia kebanyakan. Tentu bukan sesuatu yang janggal bila
kita melihat seorang yang menangis karena adegan haru sebuah film atau sinetron
?, yang padahal kita sama-sama tahu kalu film atau sinetron tersebut tidaklah
nyata, merupakan adegan rekaan semata, fiktif dan ditujukan untuk menghibur
penonton. Mengapa malah mereka menangis atau mengumpat si tokoh antagonis
karena telah menjambak tokoh protagonis yang mengeram kesakitan ?, satu
fenomena kesadaran yang banyak ditemukan di desa-desa, khususnya ibu-ibu yang
menggemari sinetron. Sedangkan kesadaran reflektif adalah kesadaran yang
menyadari. Dalam artian si manusia, disamping dia mengarahkan kesadarannya pada
objek yang disadarinya, dia juga menyadari bahwa dirinya sedang menyadari
sesuatu. Dia sadar bahwasanya dia sedang mengarahkan perhatiannya pada si objek
dan dia melihat dirinya yang sedang menyadari sesuatu.
Dalam bayangan saya, kesadaran seperti ini seperti seseorang yang sedang
memperhatikan sesuatu, mengarahkan segala pandangannya pada sesuatu tersebut dan
memusatkan perhatian kepada sesuatu itu, yakni sinetron bawang merah bawang
putih yang diperankan oleh Nia Ramadhani sebagai bawang merah dan Revalian S.
Temat sebagai bawang putih. Lalu, tibalah pada edegan dimana bawang merah
memukul bawang putih dengan pukulan seribu bayangan. Tentu, mendapatkan pukulan
sakti seperti itu si bawang putih pun pada akhirnya berteriak kesakitan sembari
memanggil-manggil tokoh pujaannya yaitu Superman agar menolongnya. Lalu seseorang
tadi, sebut saja namanya zaid (contoh klasik dalam ilmu nahwu pesantren yang
harus dilestarikan. He J), menangis tersedu haru melihat adegan itu.
Tiba-tiba asap keluar dari atas ubun-ubunnya, bertransfigurasi menjadi sesosok
manusia yang langsung berdiri disamping zaid, yang ternyata sesosok manusia
tersebut adalah dirinya sendiri, esensi zaid, zaid yang paling hakikat, yang
tak lain adalah zaid yang menyadari bahwa dirinya sedang menangis. Zaid pun tertawa. Dari sini dapat dipahami kalau
kesadaran reflektif adalah menjadikan kesadaran pra-reflektif menjadi objeknya,
yang menjadikan kesadaran yang tidak disadari menjadi kesadaran yang disadari. Dengan
kesadaran reflektif inilah seorang manusia dapat dikatakan sadar dalam
pandangan sartre.
Konsep
Kesadaran Akhir Abad Ke-20
Sebenarnya banyak nama yang
disebut oleh Bagus Takwin dalam pembahasan ini[1].
Akan tetapi tidak semuanya akan dibahas secara satu per-satu, karena menurut
Bagus, beberapa pemikiran dari mereka tidak relevan dengan tema yang sedang
kita bahasa yaitu konsep kesadaran manusia. Yang menjadi sorotan dalam
penelusuran konsep kesadaran akhir abad ke-20 ini hanyalah pemikiran tiga orang
filosof, yakni : Jean Francois Lyotard, Jurgen Habermas dan Richard Rorty.
Jean
Francois Lyotard [1924-1998 M] adalah salah seorang tokoh filosof
postmodernisme yang sangat menolak totalitarisme ala-Hegel. Dalam sejarah filsafat modern, totalitarisme
inilah yang menurut lyotard mengakibatkan terjadinya pemikiran yang berkiblat
pada kesatuan dan totalisasi, lalu hasilnya adalah terror. “Abad kesembilan
belas dan kedua puluh telah memberikan kita terror sebanyak yang dapat kita tampung. Kita telah membayar dengan
harga yang cukup mahal untuk nostalgia akan
keseluruhan dan kesatuan…”, kata Lyotard
dalam The Postmodern Condition – A Report on Knowledge ‘Answering the
Question: What Is Postmoderism’. Oleh karena itu dia tidak sependapat
dengan pemikiran Jurgen Habermas yang menginginkan adanya konsensus sebagai
sebuah jalan keluar bagi pemikiran yang totalis tersebut (selebihnya pemikiran tentang konsensus
habemas akan dibahas kemudian).
Karena menurut Lyotard,
paradigma masa pencerahan atau masa modern sudahlah usang, terlalu kolot untuk dijadikan sebuah
nilai, dan tidak etis untuk
dilanjutkan proyeknya sebagaimana yang diniatkan oleh Habermas.
Sebaliknya, Lyotard mengatakan bahwa pemikiran postmodernisme adalah
paradigma yang cocok untuk masa kini. Dipengaruhi oleh pemikiran Ludwig
Wittgenstein dan Immanuel Kant, Lyotard juga melihat banyak aturan-aturan di
dunia ini (termasuk aturan bahasa atau language game dalam istilah Wittgenstein),
disamping dia juga percaya bahwa itu semua hanyalah kesatuan yang heterogen (dalam
istilah Kant).
Lyotard juga percaya bahwa aturan-aturan itu memiliki dan menghasilkan
kebenaran-kebenarannya
sendiri yang tidak dapat dibandingkan antara satu dengan yang lainnya. Karena
itulah, aturan-aturan tersebut sebaiknya bukan ditotalisasi dan dikonsensus
sebagaimana yang dipikirkan oleh Habermas, melainkan harus dibiarkan berbeda
begitu saja. Lalu bagaimana jika pembiaran seperti itu mengakibatkan nihilisme,
anarkisme dan pluralisme yang memainkan aturan-aturan tersebut, termasuk
permainan bahasa ?. menurutnya hal itu juga tidak menjadi masalah, sebab di
sisi lain itu menunjukkan juga kepekaan baru terhadap perbedaan-perbedaan dan
keberanian untuk melawan segala bentuk totalitarisme. Makan bagi Lyotard, yang
relevan kini hanyalah usaha yang terus menerus, yang tak kunjung habis untuk
terus mencari dan mengusahakan adanya embaruan, meninggalkan kesatuan serta
klaim-klaim universal dan berangkat dari satuan-satuan terkecil. Satuan-satuan
kecil tersebut nantinya juga dapat menjadi kebenaran kecil di waktu dan tempat
tertentu. Dengan ini, jelas kalau Lyotard mengandaikan adanya keterbukaan
pikiran manusia dalam memahami dunia, lingkungan sekitar dan dirinya.
Dengan kata lain, Lyotard menghendaki adanya disensus bukan konsensus.
Jurgen Habermas [Lahir 1929 M] adalah salah satu
filosof produk dari madzhab kritis Frankurt yang bekebangsaan Jerman. Dalam
filsafatnya, Habermas mencoba melakukan kritik terhadap ajaran marxisme yang
(pernah) dianutnya serta para seniornya di madzhab Frankurt generasi pertama.
Sebanarnya hal yang sama pun telah dilakukan oleh generasi awal madzhab
frankurt yang dimotori oleh Adorno, Horkheimer dan Herbert Marcus. Akan tetapi,
generasi awal ini mengalami semacam kebuntuan dalam teori kritis yang mereka
usung, disebabkan karena pesimisme yang mereka alami terhadap rasionalitas
pasca fenomena posivistik yang melanda ideologi masyarakat pada umumnya. Namun,
dengan teori paradigma komunikasinya Habermas berkesempatan untuk melanjutkan
dan memberikan jalan keluar atas kebuntuan pemikiran yang dialami oleh para
filosof madzhab frankurt generasi pertama. Yah, dalam hal ini Habermas saya
pahami serupa dengan Al-Ghazali yang menjadi pemecah kebuntuan Madzhab Sunni
yang kala itu berada dalam ambang kebekuan bahkan kehancuran. berikut uraian
tentang pemikiran Jurgen Habermas:
Saya tidak akan membahas
pemikiran Habermas secara lengkap
dan rinci, karena memang disamping ada keinginan untuk menulis hal
tersebut dalam sebuah tulisan khusus, saya juga masih berada dalam tahap
pemahaman seputar pemikiran Madzhab Frankurt, khususnya pemikiran Jurgen
Habermas. Jadi sementara, yang
disajikan disini hanyalah seputar pemikiran Habermas tentang konsep kesadaran
manusia serta persoalan pluralitas masyarakat kini. Tentu, dengan bertolak ukur
dari pemikiran Lyotard yang tak lain adalah konsep tandingan yang berbeda dengan apa yang
dikonsepsikan oleh Habermas. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dalam
konsep kesadaran, Habermas bertolak belakang dengan Lyotard yang mengandaikan
adanya kebebasan. Kebebasan dalam
pemahaman Lyotard adalah keinginan untuk membiarkan begitu saja
perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam sebuah masyarakat, sedangkan Habermas mengandaikan
adanya konsensus dalam keberagaman tersebut.
Dari sana dapat dilihat bahawa Habermas dan Lyotard sepaham tentang konsep
Wittgenstein dalam masalah yang disebutnya language game, yaitu bahwasanya
terdapat banyak aturan di dunia ini yang mengatur manusia termasuk aturan
bahasa. Dengan jalan konsensus inilah Habermas ingin menciptakan “demokrasi
liberal”, yaitu hubungan-hubungan sosial yang terjadi dalam lingkup komunikasi
bebas penguasaan. Di sisi lain, dengan paradigma komunikasi yang ditawarkannya
sebagai pengganti dari paradigma kerja yang dipakai oleh seniornya di madzhab
frankurt, Habermas ingin mengubah atau bisa dikatakan memperbaharui teori
klasik marxis tentang jalan revolusioner yang menjungkirbalikkan struktur
masyarakat demi terciptanya masyarakat sosialis seperti yang dicita-citakan,
yang dengan paradigma komunikasinya itu juga dengan otomatis Habermas telah
membuka jalan keluar bagi teori kritis madzhab frankurt yang nyaris beku.
Jadi intinya dalam kehidupan pluralistik kini, Habermas mengusulkan untuk
diadakannya konsensus lewat komunikasi-komunikasi yang terus menerus diantara
masyarakat. Karena sesuai dengan keyakinan yang dipegangnya, bahwa rasio
manusia dapat menvapai kesepakatan atau konsensus tentang kebenaran. Dan
pencapaian akan hal itu sangat disarankan oleh Habermas.
Ricard Rorty adalah seorang filosof anglo-saxon yang disebut
sebagai pendiri filsafat neo-pragmatisme. Dalam filsafatnya dia tidak hanya
mengkritik pemikiran-pemikiran filosof yang ada sebelumnya, tapi lebih jauh dia
mengkritik sistem fondasional dari epistemologi atau bahkan filsafat itu
sendiri. Dengan pandangan neopragmatisme-nya dia menyatakan bahwa epistemologi
sebagai dasar atau ontologi dari sebuah pengetahuan sudahlah “mati”. Dipengaruhi
oleh filosof pragmatisme sebelumnya seperti william James, Peirce dan John
Dewey, Rorty juga mewarisi prinsip logika dalam pragmatisme, yaitu logika yang
tidak mendominasi penyelesaian masalah hanya dengan satu persepsi dan pandangan
saja, melainkan sebaliknya berusaha menyerap setiap aspirasi yang mungkin ada.
Dengan begitu kemudian lahir pemahaman bahwa dalam suatu pengetahuan, epistemologi tertentu sudah tidak dapat
atau tidak perlu digunakan lagi.
Namun, yang menarik
dari posisi filsafat Rorty adalah keengganannya untuk meneruskan apa yang
ditradisikan oleh pragmatisme klasik Amerika yang dirintis James, Peirce dan
Dewey (namanya juga neopragmatisme). Karena Rorty menganggap bahwasanya
pemikiran mereka masih mengakui eksperimentasi berwajahkan positivisme dan
berbau fondasionalisme, yang dalam filsafat neopragmatisme Rorty kedua hal
tersebut ditinggalkan dan tidak lagi dianggap.
Dalam pemahaman saya, apa yang diyakini Rorty dengan neopragmatisme-nya,
mewakili atau menawarkah wilayah yang lebih longgar terhadap apa yang diyakini
Lyotard tentang kebebasan dalam keberagaman dan apa yang diyakini Habermas
tentang konsensus kebenaran. Lyotard yang menghendaki kebebasan atau pembiaran
dalam keragaman diwakili oleh Rorty dengan pembiaran atau kebebasan yang lebih
radikal lagi, yaitu menganjurkan membuang epistemologi dan filsafat sebagai
landasan dasar suatu pengetahuan. Dalam konsep paradigma komunikasi yang
ditawarkan Habermas, Rorty pun juga terlihat lebih longgar. Di satu sisi, filsafat Habermas masih berbau
kantianisme, sedangkan filsafat Rorty tidak berbau apa-apa dan Habermas dalam
paradigmanya juga mengutamakan pada satu komunitas tertentu, yaitu komunitas
yang menghendaki adanya suatu proses emansipatoris dari segala bentuk
dogmatisme dan ideologi yang mengungkung mereka. Sedangkan Rorty lebih jauh
menghendaki komunikasi yang dibangun diatas perubahan personal yang melibatkan
sebanyak mungkin partisipasi, tidak hanya tertuju bagi suatu kelompok tertentu
saja. Dalam bahasa yang lebih mudah, apa yang dipikirkan oleh Habermas dan
Lyotard sudah terakumulasi dengan porsi yang lebih luas dalam pemikiran pragmatis Ricard Rorty. Oleh
karena itu, menurut Bagus Takwin pemikiran Rorty lebih relevan untuk dibahas
dalam masalah pluralisme masyarakat kini.
Sekian penelusuran pemikiran filsafat tentang
konsep kesadaran…
[1]Antara lain : William James [1842-1910 M],
filosof yang mempopulerkan filsafat pragmatisme, khususnya di bidang moralitas
dan kepercayaan agama. Dia mengatakan bahwasanya “kebenaran hanyalah jalan yang
berguna dalam cara berpikir kita, sebagaimana hak hanyalah jalan yang berguna
dalam cara berprilaku kita”. Artinya, kebenaran tergantung pada apakah
keyakinan kita dapat berfungsi dan diterapkan dengan baik atau tidak. John
Dewey [1859-1940 M], adalah seorang filosof yang menekankan bahwa tujuan
utama filsafat adalah menyelesaikan persoalan masyarakat demokratis dengan
menggunakan metode ilmiah (dalam pola yang lebih luas dan fleksibel). Betrand
Russels [1872-1970 M], filosof kebangsaan inggris yang mengembangkan suatu
system logika symbol yang revolusioner, dan ia mengatakan bahwa logika adalah
dasar bagi matematika sekaligus metode yang paling tepat bagi filsafat.
Sedangkan dalam epistemology dia dikenal karena dukungannya yang kuat terhadap
empirisme. Ludwig Wittgenstein [1889-1951 M], salah seorang filosof yang
berpengaruh pada filsafat analitis dan linguistic abad 20. Ia menyatakan bahwa
makna adalah penggunaan dalam permainan bahasa; bahwa kata-kata tidak
memperoleh makna dengan menunjuk esensi universal, melainkan lebih-lebih dapat
diterapkan atas dasar kemiripan-kemiripan hubungan yang longgar sifatnya; dan
bahwa tidak ada bahasa pribadi yang menunjuk pada pengalaman-pengalaman akal
budi yang ada di dalam diri dan tak dapat dijangkau oleh publik.
Pemikir-pemikir lainnya yang disebutkan antara lain : Noam Chomsky, G.
Riyle, Hillary Putnam, Michael Polanyi, Karl Popper,
dan Thomas Kuhn.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar