Ahmad Baso
“Menurut
saya seharusnya kita menghindari sebutan “ilmaniyah” (sekularisme) dari
kamus pemikiran (politik) Arab. Sebagai gantinya, kita memakai wacana
“demokrasi” dan “rasinalisme”, karena keduanya ini menunjukkan dengan
tepat kebutuhan masyarakat Arab. Demokrasi berarti penghargaan atas
hak-hak individu dan kelompok; sedang rasionalisme berarti bahwa sebuah
prilaku politik menjadikan akal, ukuran logika dan nilai-nilai etika
sebagi prinsip dasarnya, bukan atas dasar ambisi, fanatisme, dan
interes-interes pribadi. ...demokrasi dan rasionalisme (dalam politik)
tidaklah mesti berarti mengabaikan faktor Islam...”
__ Muhammad Abed al-Jabiri
Muhammad
Abed al-Jabiri, pemikir asal Maroko kelahiran 1936, lebih dikenal
dengan proyek “Kritik Nalar Arab”-nya. Dalam membangun tradisi kritik
dalam pemikiran Islam ini al-Jabiri membutuhkan tak kurang dari 20
tahun, sejak awal 1970-an, yang dihabiskan untuk menghasilkan sebuah
buku, di antaranya yang terkenal adalah trilogi Naqd al-‘Aql al-‘Arabi
(terdiri dari 1200 halaman lebih).[1] Belakangan ini, al-Jabiri mulai
menekuni persoalan hubungan antara Islam dan politik, atau apa yang
disebutnya sebagai “al-‘Aql al-Siyasi al-‘Arabi”.[2]
Kendati dalam seri ketiga triloginya itu ia telah memaparkan latar
belakang historis formasi pembentukan nalar politik Arab sejak masa
Rasulullah, namun dalam karya terakhirnya, berjudul Wijhah al-Nazhr nahw ‘I’adah Bina’ Qadlaya al-Fikr al-Arabi al-Mu’ashir
(1992), ia lebih jauh mengelaborasi kritik nalar politik tersebut.
Termasuk tawaran-tawaran konseptual menyangkut hubungan agama dan
politik seperti yang menjadi persoalan di kalangan masyarakat Islam pada
umumnya. Yang dimaksud al-Jabiri dengan “nalar politik Arab” atau “aql al-waqi’ al-araby”,
adalah “batasan-batasan prilaku politik beserta manisfestasinya dalam
kebudayaan Arab dan Islam sejak masa Rasul hingga kini”. Bila dalam
kritik nalar Arab yang ditekankan adalah bagaimana akal memproduksi dan
mereproduksi pengetahuan, maka dalam kritik nalar politik ini yang
digaris bawahi adalah proses berpolitik yang dilakukan kalangan umat
Islam untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan.
Islam, Din wa Daulah
Persoalan pertama yang dihadapi al-Jabiri adalah bagaimana memahami
problem yang sering diangkat di kalangan Islamis dalam politik, yaitu
Islam sebagai din (agama) dan daulah (negara). Di sini, ia berupaya menghindari pertanyaan relasi din dan daulah tersebut dari sisi yang dipahami selama ini. Misalnya bahwa Islam adalah din, bukan daulah, seperti yang dipahami kalangan liberal dan sekularis, atau bahwa Islam din dan daulah sekaligus, seperti yang dianut kaum Islamis. Ia justru ingin mempertanyakan makna dualisme din/daulah
ini: benarkah Islam dalam sejarahnya mengenal dualisme tersebut,
ataukan dualisme itu sebenarnya hasil dari konstruksi yang keliru dari
cara pandang umat saat ini dalam melihat kaitan Islam dan politik? Bila
konstruksi tersebut keliru, lalu bagaimana kita memahami doktrin “Islam din wa daulah” tersebut?
Dari sini al-Jabiri mulai menganalisa sejarah politik Islam sejak masa
Nabi. Analisa historis seperti ini telah dilakukan dalam al-Aql al-Siyasi al-Arabiy. Namun ada satu hal yang ingin diangkatnya dalam konteks dualisme din/daulah
ini, yaitu faktor penting pertemuan kaum Muhajirin dan kaum Anshar
dalam Saqifah Bani Saidah setelah wafatnya Nabi untuk menentukan
khalifah. Pertemuan tersebut, menurut al-Jabiri, merupakan kerangka
rujukan utama (ithar marji’iy ra’isiy) bagi kaum Sunni dalam
membangun sistem khalifah dan prilaku politik mayoritas kaum Muslim
hingga kini. Ada tida poin yang dicatat al-Jabiri sebagai “fondasi
teoritis” (ashl) dari pertemuan Saqifah itu bagi nalar politik Arab:
Pertama,
persoalan politik umat Islam saat itu dibatasi pada soal figur yang
akan menjadi penguasa bagi kaum Muslimin, dan bukan pada negara sebagai
sebuah institusi dan sistem. Figur ini diangkat berdasarkan bai’ah,
mengikuti aturan Quran dan Hadist, dan memangku jabatan dalam tempo
yang tidak terbatas. Serta ia tidak pula terikat dengan syarat-syarat
yang berkaitan dengan soal kelembagaan, sarana dan sistem, sehingga
memungkinkannya mengendalikan kekuasaan mutlak yang ada pada adanya.
Soalnya, kaum Muslimin menyerahkan sepenuhnya kepadanya kewenangan
melaksanakan administrasi pemerintahan, mulai dari soal pengangkatan
pejabat pembantu, menteri dan gubernur, serta tidak pula mengharuskan
adanya pengawasan kepada penguasa tersebut. Karena, setelah
berlangsungnya sumpah setia atau bai’at tersebut, ia sepenuhnya
bertanggung jawab kepada Tuhan, dan bukan kepada yang membai’atnya.
Kewajiban mereka hanyalah mentaati khalifah, selama tidak memerintahkan
hal-hal yang bersifat kedurhakaan kepada Tuhan (la tha’ah li makhluqin fi mas’shiyah al-khaliq).
Kedua,
teori politik Sunni mengharuskan adanya penguasa atau khalifah tunggal.
Artinya, hanya satu khalifah yang dibenarkan berkuasa di dunia Islam.
Bisa saja ada menteri atau gubernur yang berfungsi menggantikan fungsi
khalifah dalam fungsi-fungsi tertentu. Tapi, secara teoritis fiqhiyah,
khalifah tetap harus satu. Kendati dalam kenyataannya umat Islam juga
mengenal sejumlah khalifah dalam waktu yang sama, sepetti kekhalifahan
Umayyah di Andalus, Fathimiyah di Kairo, dan Abbasiyah di Baghdad.
Ketiga,
menurut kaum Sunni, khalifah ditentukan berdasarkan pemilihan atau
ikhtiyar, dan bukan dengan wasiat atau nash sepetti yang diyakini kaum
Syi’ah. Soalnya, menurut mereka, selama para shahabat berselisih dalam
soal pengganti Nabi dan lalu bersepakat pada Abu Bakar selaku pemimpin
mereka, maka itu berarti Nabi tidak memberi pesan atau menentukan apapun
soal penggantinya setelah wafat. Implikasinya, untuk menentukan siapa
yang berhak menjadi khalifah, yang jadi pertimbangan adalah soal
kemampuan dan kekuatan. Maka, berlakulah doktrin berikut: barang siapa
yang maju menghendaki jabatan khalifah, punya kekuatan yang riil, serta
punya massa yang mendukungnya, ikhlas atau terpaksa, maka ia berhak
menjadi khalifah. Mayoritas umat di abad-abad pertama menghendaki
khalifah berasal dari suku Quraisy, namu akhirnya dikritik kelompok
Islam lainnya yang tidak berasal dari suku tersebut. Namun demikian,
seperti dikatakan al-Jabiri, yang menjadi faktor penentu pada akhirnya
adalah faktor kekuatan, dan bukan faktor keturunan. Sebagaimana halnya
dengan bai’ah yang sebenarnya baru berlaku setelah orang yang menuntut
kursi khalifah berhasil merebut kekuasaan. Singkatnya, secara praktis,
bai’ah hanya merupakan ungkapan lain dari sikap pasrah atas status
quo.[3]
Maka, sebagai kesimpulan, al-jabiri menyatakan
bahwa teori khilafah Sunni secara umum merupakan upaya untuk
melegalisir status quo, dan bukan berorientasi trasnformasi yang
ditujukan untuk merubahnya. Sehingga praktis tidak ada perbedaan antara
teori-teori kaum fuqaha tentang khilafah dan kenyataan politik umat
Islam. Sesuatu yang pasti secara syar’i dalam konteks di atas adalah
keharusan adanya waliyul amri yang akan melaksanakan
hukum-hukum agama. Sedang menyangkut persoalan negara, yang ditekankan
sejak pertemuan Saqifah adalah terwujudnya pemerintahan yang didasarkan
pada pertimbangan kekuatan dan kekuasaan, baik kekuatan materiil maupun
non-materiil. Dan karena semuanya adalah kaum muslimin, problem hubungan
din dan dulah tidak pernah dibayangkan atau terpikirkan.
Sebab, segala sesuatunya di kalangan masyarakat Islam saat itu adalah
berasaskan Islam, selain yang diharamkan Allah swt. Baik melalui Qur’an
maupun penegasan Nabi. Apalagi dimungkinkan bagi umat Islam, seperti
dinyatakan sebagian tokoh aliran-aliran dalam Islam, untuk tidak butuh
terhadap khalifah atau daulah selama masing-masing anggota masyarakat saling memenuhi kebutuhannya, tanpa mesti melalui daulah.[4]
Bila ini yang tergambar dalam tradisi politik Islam klasik, lalu dari mana berasal problem kaitan din wa daulah
yang hingga kini mempengaruhi nalar politik atau pandangan dan prilaku
politik bangsa Arab dan umat Islam umumnya? Dari sini al-Jabiri melihat
bahwa akar-akar tumbuhnya problem tersebut muncul sejak perkenalan umat
Islam, khusunya masyarakat Arab, dengan kemajuan peradaban Barat di satu
pihak dan kemunduran dunia Islam di pihak lain. Tepatnya para paruh
akhir abad 19 di mana umat Islam berada dalam kekuasaan Utsmani yang
saat itu mengalami dekadensi. Yang memunculkan persoalan tersebut
tampaknya adalah tulisan Botrus al-Bustani, penganut Kristen kelahiran
Libanon dan pelopor Nahdlah (Kebangkitan Bangsa Arab Modern), dalam koran Nafir Suriyah tahun 1860. Al-Bustani menulis demikian:
“Selama masyarakat Arab kita tidak bisa membedakan antara urusan agama,
adyan, yang berkaitan dengan hubungan hamba dengan Tuhannya, dan urusan
madaniyah, yang berkaitan dengan hubungan antara sesama manusia, antara
sesama warga dalam satu negara, termasuk soal-soal politik dan
kemasyarakatan, serta tidak bisa pula mereka bisa membedakan antara
keduanya secara tegas dan pasti, maka mereka niscaya tak bakalan
memperoleh keberhasilan, baik dalam salah satunya maupun kedua-duanya...
Dengan
demikian, harus ada pemisahan yang tegas antara riyasah, yaitu
kekuasaan spiritual, dan siyasah atau kekuasaan politik. Karena riyasah
berkaitan dengan urusan batin yang tidak mengalami perubahan
selama-lamanya. Sementara siyasah berkaitan dengan urusan yang bersifat
ke luar, lahiriah, yang senantiasa berubah di setiap waktu dan tempat.
Mencampur adukkan antara kedua jenis kekuasaan ini... tentu akan membawa
kepada konflik di antara sesama kita, serta bakal membawa petaka dalam
urusan agama dan undang-undang kita. Sehingga tidak berlebihan bila kami
katakan, adalah musthil bila kedua urusan yang dicampuraduk itu akan
membawa kepada tumbuh dan berkembangnya peradaban (yang maju)”[5]
Teks
di atas menunjukkan dengan tegas upaya sekularisasi seperti dikenal
Barat: antara kekuasaan agama dan kekuasaan politik, antara apa yang
berlaku bagi Kaisar dengan apa yang berlaku bagi Tuhan. Dan sekularisasi
semacam inilah yang dijadikan syarat kebangkita kaum Arab, seperti yang
dipahami al-Bustani. Namun al-Jabiri tidak ingin memahami secara
harfiyah teks di atas: ia ingin melacak akar-akar sejarah yang
melatarbelakangi mmunculnya ide pemisahan antara yang bersifat din dan madani di
atas. Al-Bustani hidup di masa ketika Libanon saat itu sedang dilanda
konflik berdarah antara beberapa kelompok agama, khususnya antara
Kristen Maronit dan kelompok Druz. Saat itu pula negeri kecil ini berada
di bawah kekuasaan pemerintahan khalifah Utsmaniyah yang memerintah
secara despotik atas nama Islam. Maka, satu-satunya jalan mencapai
tujuan yang diidealkan, yakni Nahdlah atau kemajuan bangsa
Arab, dalam bayangan al-Bustani, adalah “pemisahan atau kemerdekaan
negeri Libanon dari kekuasaan agama kaum Turki Utsmani” di satu sisi,
dan “meredakan konflik politik berbau agama dalam negeri dengan
memisahkan urusan agama dengan urusan politik” di sisi lainnya.[6]
Dengan demikian, simpul al-Jabiri, ada tiga faktor awal yang
melatarbelakangi munculnya ide sekularisasi, persoalan konflik
sektarianisme antara kelompok-kelompok agama, dan kesadaran tentang Nahdlah yang dikaitkan dengan pemisahan din dan daulah. Ketiga faktor inilah yang membedakan hubungan din dan daulah di masa Islam klasik.
Lalu, bagaimana konsekuensi dari ide pemisahan din dan daulah
seperti yang diajukan al-Bustani itu? Bagi al-Jabiri, ide tersebut
lebih bersifat lokal, yakni negeri Libanon, yang membutuhkan penanganan
yang spesifik pula. Karena bersifat lokal, maka tawaran yang diajukannya
pun terbatas pada kondisi sejarah dan sosial dari lokalitas tersebut,
dan tidak mencakup negeri-negeri lainnya. Libanon, misalnya, lanjut
al-Jabiri, menghadapi persoalan konflik antara beberapa kelompok
berdasar agama, seperti Kristen Maronit, yang merupakan kelompok
mayoritas dan cukup berpengaruh, Druz, Kaum Syiah, kaum Sunni, dsb. Dari
sekian konflik tersebut, Libanon akhirnya sampi pada titik perimbangan,
sejak dekade 1940-an, di mana Maronit memperoleh kekuasaan atas
kelompok-kelompok lainnya yang juga menikmati keuntungan-keuntungan
tertentu. Sehingga secara relatif Libanon saat itu berada dalam situasi
yang cukup demokratis. Namun, pada tahun-tahun selanjutnya, perimbangan
tersebut terganggu karena Maronit tetap ingin mempertahankan status quo,
baik politik maupun ekonomi, sementara kelompok-kelompok lainnya, yang
sudah menikmati sedikit kemakmuran dan juga maju secara kultural,
ekonomi dan demografis, tetap diabaikan hak-haknya dalam kekuasaan
formal negara. Akibatnya, iklim demokrasi yang telah tercipta di tahun
40-an akhirnya tercabik-cabik dan tidak bisa lagi memenuhi tuntutan
perkembangan masyarakat akan keadilan sosial dan demokrasi politik.
Sementara proses sekularisasi dan iklim kebebasan berpikir tidak mampu
meredam ketegangan antar berbagai kelompok sektarian dan primordial yang
kian mengeras itu, serta tidak pula kuasa mengatasi persoalan
otoriterianisme kekuasaan kaum Maronit. Maka, perang saudara akan terus
berlanjut bila penduduk Libanon belum menemukan strategi yang tepat
untuk membangun iklim demokrasi baru yang bisa memenuhi tuntutan
perkembangan.[7]
Sementara
di negeri-negeri lainnya yang tidak mengalami konflik antar berbagai
kelompok agama, ada yang menuntut demokrasi dan keadilan sosial dengan
slogan dan wacana yang berbeda-beda: ada yang mengangkat wacana
demokrasi, ada yang mengangkat wacana “pengakuan atas hak-hak
minoritas”, dan ada pula “revolusi menentang feodalisme”. Singkatnya,
menurut al-Jabiri, ide sekularisasi atau pemisahan antara din dan daulah
sebenarnya merupakan konstruksi yang keliru atas realitas: ia tidak
menggambarkan secara umum kondisi permasalahan yang dihadapi masyarakat
Arab atau masyarakat Islam di beberapa wilayah dunia Islam.[8] Ia tidak
mengangkat ide atau konsep demokrasi karena yang terakhir ini dipahami
sebagai pemerintahan mayoritas, sementara mereka berasal dari kalangan
minoritas sehingga memungkinkan digusurnya hak-hak mereka sebagai
minoritas.[9]
Kenyataan serupa juga dialami kelompok-kelompok Islam yang menghendaki “hukumah Islamiyyah” (pemerintahan Islam) atau “khilafah Islamiyyah” (kekhalifahan Islam), yang lebih dikenal dengan kelompok yang pro-doktrin “Islam, din wa daulah”,
yang muncul di beberapa negara Arab, dan juga di wilayah Asia Tenggara.
Mereka tentu saja menentang ide sekularisasi, bukan hanya karena dalam
bayangan mereka bertentangan dengan doktrin agama Islam, tapi lebih dari
itu karena ide tersebut bisa berarti mengancam persatuan umat Islam
yang disimbolkan dalam keutuhan kekuasaan Utsmani dan juga bisa
mengancam kekuasaan para ulama yang menempati posisi ahl al-hall wal al-‘aqd dalam kekuasaan.[10] Maka, wacana yang diangkat adalah “penerapan syariah Islam” atau “Syura”,
dan bukan demokrasi, karena dalam anggapan mereka, istilah yang
terakhir ini lebih merujuk pada pengalaman Eropa di mana kekuasaan
tokoh-tokoh agama disingkirkan, dan diambilalih oleh kekuasaan kalangan
awam agama yang sekuler. Dan itu berarti, dalam iklim demokrasi,
kekuasaan para ulama, yakni yang menempati posisi ahl al-hall wa al-‘aqd dalam konteks Kekhalifahan Utsmaniyah, bakal tergusur.[11]
Bersambung...
Catatan:
[1] Triloginya tersebut terdiri dari tiga buku, yang masing-masing berjudul: Takwin al-‘Aql al-Arabi (Formasi Nalar Arab, 1982), Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi (Struktur Nalar Arab, 1986) dan al-‘Aql al-Siyasi al-Arabi (Nalar Politik Arab, 1990). Semuanya diterbitkan oleh Markaz Dirasah al-Wihdah al-Arabiyah, Beirut, Libanon.
[2] Al-Jabiri menimba konsep “naqd al-aql al-siyasi”-nya
dari filsuf Perancis Michel Foucault, dan dari pemikir Marxis Regis
Debray. Lihat M. Foucault, “Omnus et singulatum: Vers une critique de la
raison politique”. “Le Debat (Paris)., no. 44, November 1986, dan R. Debay, Critique de la raison politique (Paris: Gallimard, 1981).
[3] Muhammad Abed al-Jabiri, Wijhah al-Nazhr nahw ‘I’adah Bina’ Qadlaya al-Fikr al-Arabi al-Mu’ashir,
(Beirut: al-Markaz al-Tsaqafy al-Arabiy, 1992), h. 83-90. Uraian
lengkap dan detail tentang proses sejaran kemunculan konsep-konsep yang
berkaitan dengan nalar politik Arab, lihat al-Jabiri, al-‘Aql al-Siyasi al-Arabiy: Muhaddidah wa Tajalliyatuh, (Beirut: Markaz al-Wihdah al-Arabiyyah, 1992) cet. II.
[4] Al-Jabiri, Wijhah, op, cit., h. 89.
[5]
Seperti dikutip dalam Ibid., h. 101. Tentang kritik analisa wacana atas
teks di atas lihat Muhammad Abed al-Jabiri, al-Khithab al-Arabiy
al-Mu’ashir: Dirasah Tahliliyah Naqdiyyah (Wacana Pemikiran Arab
Kontemporer) (Beirut: Markaz al-Wihdah al-Arabiyyah, 1992), h. 67-68.
[6] Al-Jabiri, Wijhah, op, cit., h. 103.
[7] Ibid., h. 107-108.
[8] Ibid., h. 108.
[9] Al-Jabiri, al-Khithab, op, cit., h. 100.
[10] Al-Jabiri, Wijhah, op, cit., h. 110, dan Al-Jabiri, al-Khithab, op, cit., h. 99-100.
[11]
Uraian lengkap tentang adanya sesuatu yang tak terkatakan (not-said
atau never-said) dalam wacana politik Arab ketika mengangkat wacana
“sekularisasi” dan “syura”, dan bukan “demokrasi”, lihat al-Jabiri,
Al-Jabiri, al-Khithab, op, cit., h. 65-103.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar