Pemikiran Descartez tentang rasio dan rasionalitas
tidak jauh berbeda dengan rasio dan rasionalitas yang dipahami oleh Aristoteles.
Akan tetapi, nanti akan terlihat perbedaan yang mencolok tentang metode yang
digunakan. Lebih spesifiknya tentang rasionalitas yang ditawarkan.
Pada
tulisan sebelumnya telah dijelaskan bahwsanya Aristoteles memahami rasio
manusia berada dan bersifat lebih dasar dibandingkan dengan rasionalitas. Rasio
bagi Aristoteles adalah hal-hal yang bersifat induktif-empirik. Sedangkan
rasionalitas baginya adalah logika. Sedangkan Palto mengatakan bahwa rasio
manusia bisa dicapai melalui intuisi.
Disini
akan dibicarakan tentang Rene Descartes, salah seorang filosof rasionalis
kenamaan. Sebenarnya, dia sepaham dengan Plato dan Aristoteles masalah
kedudukan rasio atas rasionalitas. Akan tetapi dengan tesis “cogito ergo
sum”nya, Descartes tampaknya ingin memperlihatkan sebuah pandangan baru tentang
rasio dan rasionalitas itu sendiri. Dan memang nanti akan dapat dilihat
bagaimana Descartes memberikan pemahaman baru terhadap rasio dan rasionalitas
ini.
Kembali
lagi pada “cogito ergo sum”. Dengan kalimat itu sebenarnya sudah dapat
ditangkap bagaimana Descartes memandang rasio dan rasionalitas. Keragu-raguan
dan memepertanyakan segalanya adalah rasio yang harus dimiliki manusia. Karena
menurut Descartes, dengan meragukan segala apa yang dia lihat dan dia rasakan, manusia
akan dapat memperoleh pengetahuan yang sejati.
Berpikir
untuk mengetahui sesuatu yang hakiki inilah yang menjadi esensi bagi keberadaan
manusia. Artinya, rasio oleh Descartes dianggap sebagai sesuatu yang esensial,
yang berkaitan langsung dengan eksistensi manusia itu sendiri. Sedangkan
“berpikir”nya Descartes didapat dari metode keragu-raguan. Dengan begitu,
ragu-ragu adalah hal yang esensi dari manusia menurut Descartes.
Semua
yang telah saya tulis diatas adalah rasio dalam pengertian Descartes. Yang
kalau boleh disimpulkan kembali, rasio adalah pikiran manusia. Satu-satunya
elemen dalam diri manusia yang dapat memberikan pengetahuan sejati. Yang akan
menyeleksi segala pengetahuan yang diperoleh oleh manusia. Adapun segala hal
yang datang dri luar, adalah sesuatu yang harus terus menerus dipertanyakan dan
diragukan.
Lalu
bagaimana dengan rasionalitas menurut Descartes? Kalau tadi dijelaskan
bahwasanya rasio manusia adalah berpikir dan berasal dari dalam alam pikir
manusia, yang didapat melalui metode kesangsian. Rasionalitas menurut Descartes
adalah kemampuan manusia untuk mengetahui pengetahuan yang benar dengan
bersandar pada prisnsip-prinsip yang dihasilkan oleh rasio.
Rasionalitas
manusia berangkat dari kesadaran tentang “aku” yang berpikir lalu ia pun mampu
memahami kebenaran secara clear and distinc. Potensi dan kemampuan tersebutlah
yang nantinya akan memilah dan memilih pengetahuan yang diperoleh. Mana
pengetahuan yang benar dan mana pengetahuan yang salah. sekali lagi, tetap
dengan memegang prinsip-prisnsip yang dihasilkan oleh rasio. Jadi, orang yang
rasional adalah orang yang menyangsikan segalanya, orang yang hanya tahu bahwa
dirinya sedang berpikir.
Lalu
datanglah Spinoza menyatakan ketidak setujuannya terhadap konsep dualisme yang
diusung oleh Descartes. Sebelumnya Descartes mengatakan bahwa jiwa (pikiran)
dan tubuh (keluasan) adalah dua substansi yang berbeda. Jiwa terperangkap dalam
tubuh manusia, begitu kata Descartes. Pandangan ini tentu disebabkan
kefanatikan yang luar biasa Descartes kepada rasio dan berpikir. Dan menafikan
hal-hal yang berada diluar itu.
Dengan
konsep ini Spinoza mengalami kebuntuan berpikir atau mengalami suatu kegalauan.
Bagaimana bisa keduanya berinteraksi atau saling bertautan dalam diri manusia
ataupun tuhan? Dari pertanyaan itu kemudian Spinoza menawarkan sebuah pemahaman
baru tentang rasio dan rasionalitas.
Dari
kebingungan yang telah saya ceritakan diatas, kemudian Spinoza berkeyakinan
bahwa tuhan adalah segalanya. Dia menyatukan paham yang dibedakan oleh
Decartes. Dia mengatakan Tuhan adalah segalanya, segalanya merupakan bagian
dari Tuhan, begitupun alam. Keyakinan ini dikenal dengan nama “Pantheisme”.
Dari
pemahaman seperti ini, rasio menurut Spinoza adalah Tuhan yang merupakan
segala-galanya. Dia tetap dan absolut. Sedangkan segala usaha manusia untuk
memahami dan mengetahui kebersatuan ini (antara alam dan tuhan) adalah
rasionalitasnya. Jadi, ketika seorang manusia paham akan adanya kebersatuan
ini, maka ia dikatakan rasional. Jika tidak, maka sebaliknya.
Filosof
rasionalis terakhir yang akan kita perbincangkan pada kesempatan kali ini
adalah Leibniz. Dan sekaligus kita akan melihat kritik-kritiknya terhadap dua
filosof sebelumnya, yaitu Descartes dan Spinoza tentang rasio dan rasionalitas.
Yang dari kritiknya itu kemudian Leibniz menyusun filsafatnya sendiris.
Kalau
Plato dikenal dengan teori idenya, Aristoteles dengan logikanya, maka Leibniz
dikenal karena teorinya yang bernama “Monad”. Monad Leibniz inilah nantinya
yang akan menjelaskan semua pandangannya tentang pengetahuan manusia, tentghang
rasio dan rasionalitas manusia.
Menurut
Leibniz, apa yang dipahami oleh Descartes dan Spinoza sama-sama memiliki
kesalahan dan kebenaran. Salah disatu sisinya dan benar disatu sisinya. Oleh
karena itu Leibniz pun mencoba melakukan perpaduan antara pemikiran Descartes
yang terlalu radikal dalam memberikan batasan antara tubuh dan jiwa dengan
pemikiran Spinoza yang terlalu bebas dalam memberikan batasan tersebut. Bahkan
lebih jauh lagi Spinoza telah melakukan pengkaburan batas antara Tuhan, manusia
dan alam.
Dengan
merekonstruksi substansi tunggal ala Spinoza, Leibniz pun menawarkan sebuah
teori khusus tentang substansi. Yang dengan teori itu Leibniz dapat menjelaskan
individualitas manusia, transendensi Tuhan dan kebebasan alam. Teori tersebut
seperti yang telah saya singgung diatas bernama monad.
Monad
adalah gelembung-gelembung substansi yang membentuk atau membangun segala
sesuatu di dunia ini. Sebenarnya, sekilas monad Leibniz mirip dengan atomnya
Democritos. Akan tetapi, monad Leibniz lebih independen dan memiliki geraknya
sendiri. Sedangkan atomnya Democritos adalah substansi mati, yang digerakkan
oleh hal-hal yang berada diluarnya. Leibniz juga menyebut monad-monadnya
sebagai jiwa (soul).
Pandangannya
tentang monad diawali dari sebuah asumsi bahwa segala sesuatu yang ada di dunia
ini merupakan kumpulan atau gabungan dari berbagai substansi. Begitu juga
manusia. karena merupakan gabungan, maka dipastikan terdiri dari satuan-satuan
substansi sederhana. Substansi sederhana itulah yang dinamakan monad.
Monad
bersifat tertutup dan independen. Dia tidak memiliki kebutuhan atau keterkaitan
dengan monad lainnya. Dia bergerak sendiri dan membentuk eksistensinya sendiri.
monad tidak pula berbentuk, beukuran dan tidak terbatas. Dia hanya berupa titik
yang metafisik. Tidak seperti atom yang memiliki mata kait untuk mengaitkan
satu atom dengan atom lainnya yang kemudian membentuk sebuah benda. Monad
berbeda.
Lalu,
jika memang monad bersifat independen dan tidak memiliki hubungan apa-apa
dengan monad lainnya, bagaimana mereka bisa berintegrasi anta satu sama lain
lalu membentuk sebuah kehidupan? Sebuah monad telah memiliki takdirnya sendiri
sejak zaman azali. Dia sudah ditentukan untuk menjadi apa dan membangun apa.
Jadi, meskipun monad bersifat independen dan tertutup dengan lainnya, mereka
bekerja sama untuk menciptakan sebuah harmoni kehidupan. Sesuai dengan takdir
yang mereka miliki dalam diri mereka masing-masing. Dengan begitu, harmonisasi
kehidupan dunia pun tercipta. Sama seperti orkes simfoni atau teater orchestra
yang memainkan sebuah harmonisasi lagu meskipun dengan alat music yang
berbeda-beda. Gitar, piano, drum dan terompet adalah satu substansi yang
independen dan tertutup. Masing-masing memiliki bunyinya sendiri dan tidak
membutuhkan alat music lain untuk menciptakan sebuah nada. Akan tetapi, dalam
orchestra seperti itu, sebuah harmoni lagu yang indah tercipta melalui berbagai
alat music yang berbeda dan independen. Mengapa demikian? Karena setiap alat
music sudah ditentukan nadanya atau partiturnya oleh sang dirijen. Demikian
juga yang terjadi pada monad dalam membentuk harmoni alam.
Lalu siapa yang menentukan
partitur-partitur monad tersebut? Atau gampangnya, siapa dirijennya? Yaitu
Tuhan. Tuhanlah yang menentukan takdir setiap monad yang ada sejak awal
penciptaanya. Oleh karena itu Leibniz mengatakan bahwa harmonisasi yang terjadi
di alam adalah bukti sempurna akan keberadaan Tuhan.
Dengan paparan singkat yang
telah saya tulis diatas, dapat disimpulkan bahwa rasio menurut Leibniz adalah
konsep monad dan Tuhan sebagai penentu. Sedangkan rasionalitas adalah kemampuan
untuk memahami segala sesuatu melalui prinsip-prinsip pertama yang dihasilkan
oleh rasio.
Wallahu ‘Alam bis Shawab…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar