Senin, 05 Agustus 2013

"MENULIS: BEKERJA UNTUK KEABADIAN" Tentang peran “menulis” sebagai sebuah sistem fondasional ke-diri-an dan peradaban manusia [part 3]



Menulis Sebagai Bagian Dari Berjuang[7]
          
Setelah menyadari bahwasanya menulis merupakan bagian dari diri manusia. yang dengannya seorang manusia mampu berpikir, memaksimalkan dan mengefisiensi kerja otaknya, mampu merasa, meluapkan seluruh amarah, kecewa, khawatir, bahagia dan segala aktivitas hati. Selanjutnya adalah tentang kegiatan menulis dan tulisan yang dapat mewujudkan dirinya secara eksis dalam satu perbuatan, yakni melawan atau berjuang. Pada pembahasan kali ini, kegiatan menulis dalam perspektif saya, sudah memasuki perannya yang paling nyata. Bukan lagi hanya tertuju atau terarah kepada diri manusia itu sendiri sebagai subjek yang menulis, akan tetapi bagaimana menulis dapat menjadi sebuah alat dan parang bagi letupan pikiran serta perasaan manusia. Bagaimana sebuah tulisan bisa memprotes, bisa tidak setuju, melakukan kritik, mengungkap borok penguasa, dan mewakili segala apa yang dipikirkan serta dirasakan oleh manusia. Dan bagimana goresan pena mampu mewakili itu semua lebih dari apa yang mampu dilakukan oleh ucapan kata-kata.
        Tentunya, contoh ideal dalam pembahasan kali ini adalah karya besar Alm. Pramoedya Ananta Toer. Tulisan-tulisannya merupakan sebuah refleksi dari apa yang dipikirkan dan dirasakannya. segala bentuk protes, ketidak setujuan, keadilan yang dipermainkan, tangis rakyat jelata yang mengiris hati, dengusan kuli kerja paksa, semuanya dia tumpahkan dalam tulisan-tulisannya. Masih ingat tetralogy pulau buru ?, yang terdiri dari Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Sebuah roman sejarah yang menceritakan perjalanan panjang bangsa ini melawan eropa, yang menggambarkan lika-liku kehidupan masyarakatnya, penindasan dan kelasisasi bentukan eropa yang memelaratkan rakyatnya. semuanya dia kisahkan dengan rajutan kata yang membuat pembacanya seperti hidup pada masa itu, menjadikan pembacanya tenggelam dalam kepedihan dan ketidak adilan yang dirasakan layaknya masyarakat waktu itu. Mungkin saya terlalu dangkal dalam memahami maksud-maksud tersirat yang digambarakan Pram, tetapi begitulah yang saya rasakan sebagai salah satu pembacanya. Disana diceritakan tentang perjuangan seorang anak muda bernama Minke. Pemuda berani, menantu seorang wanita pemberani juga Nyi Ontosoroh, yang memiliki parang tajam bernama menulis. Dengan parangnya itu dia melawan segala bentuk penindasan terhadap bangsanya, dan dengan parangnya itu dia pun mengajak bangsanya untuk turut berjuang dan membuka mata, sadar akan nasib yang mereka alami.[8] Itu tergambar ketika pemerintah eropa akan mengambil istri tercintanya, karena menurut hukum eropa yang berlaku waktu itu, pernikahan yang terjadi antara Nyai Ontosoroh dengan tuan Herman Mallema merupakan pernikahan yang tidak sah, karena Nyai Ontosoroh hanyalah seorang gundik pribumi saja. Oleh karena itu, karena ada gugatan dari istri sahnya yang ada di belanda sana, putera sahnya Maurist Mallema turun untuk melapor dan menuntut pemindahan hak atas perusahaan yang ditinggalkan oleh ayahnya, yang kini dipegang kendali oleh Nyai Ontosoroh. Dalam gugatannya itu juga, Maurist menuntut untuk mengambil alih perwalian adiknya Annelies dan bermaksud untuk memboyong Annelies ke Belanda dengan dalih agar dia mendapatkan hidup yang lebih baik dan lebih layak. Sejak itulah, dengan mati-matian Minke berjuang dengan penanya. Menyangkal. Memprotes, mengajak khalayak untuk berpikir tentang mana yang benar dan mana yang salah. Dukungan pun datang dari berbagai arah. Para ulama Jawa pun bergerak, petinggi keadilan agama Surabaya mengatakan bahwa pernikahan itu sah, bahkan sekelompok orang Madura lengkap dengan celuritnya dengan suka rela memberikan jasanya untuk melindungi Minke dan Nyai Ontosoroh di kediamannya. Apa yang menggerakan mereka semua ?, hanyalah sebuah kegiatan yang bernama menulis. Tanpa dipanggil, berteriak, mengais-ngais bantuan dengan isak tangis dan ratapan, Minke dengan tulisannya mampu melakukan itu semua. Semua orang pun merasa terwakili aspirasinya dengan “radikalisasi menulis” yang diusung dan dilakukan Minke.
Dengan begitu, apa yang dilakukan Minke kini bukan lagi dibaca sebagai sebuah “aktualisasi” atau perwujudan diri ke dalam masyarakat, tetapi melampaui menjadi aktualisasi masyarakat ke dalam sebuah peradaban. Sebuah dampak yang begitu besar dari sebuah kegiatan remeh yang tak membutuhkan banyak biaya (bandingkan bila berjuang dengan demo atau sejenisnya !, itupun kalau demo dikatakan sebagai gerakan yang berlandaskan asas perjuangan, bukan uang) yang bernama menulis.
          Menulis juga menjadi senjata ampuh bagi kaum santri dalam membebaskan kelasisasi rakyat yang dibentuk pemerintah kolonial dulu, sebuah fenomena sosial yang sangat merugikan dan menyengsarakan rakyat, kita punya tanah. Berikut akan diceritakan tentang kisah bagaimana tulis-menulis menjadi langkah awal islamisasi, khususnya di Indonesia. Bagaimana tulis-menulis menjadi jalan awal bagi terciptanya masyarakat yang berwawasan keilmuan, dan bagaimana tulis-menulis serta keberaksaraan menjadi sebuah pondasi awal bagi terbentuknya sebuah peradaban. Semuanya terilhami dari sebuah tulisan “Pesantren, Dari Literasi ke Liberasi”.[9]
        Gerakan keberaksaraan atau yang lebih keren untuk kita sebut sebagai literasi memang mulai digalakkan oleh para walisongo dalam rangka membantu strategi mereka dalam membentuk sebuah peradaban, khususnya peradaban islam di Indonesia. Pembahasannya sangat luas, tapi yang akan ditekankan disini hanyalah masalah “bagaimana menulis dan tulisan tersebut menjadi semacam senjata untuk berjuang, melakukan suatu pembebasan, seperti pembebasan kelas sosial yang dilakukan oleh para walisongo dalam kegiatan literasinya”.
Sejarah sosial kehidupan bangsa ini secara kronologis diawali oleh peradaban hindu-budha pada abad ke-7 masehi. Ditandai dengan berdirinya kerajaan hindu besar di Sumatera yaitu kerajaan Sriwijaya. Peradaban itu terus berlanjut hingga berdirinya kerajaan majapahit di tanah Jawa. Lalu apa yang diwariskan kerajaan Hindu-Budha ini kepada fenomena sosial di nusantara, yakni system kelasisasi seperti yang saya sebut diatas. Pada masa itu dikenal kategori derajat kedudukan Brahma, Satria dan Sudra. Kaum brahma adalah kaum yang paling dihormati karena mereka memiliki kemampuan dan penguasaan keilmuan di bidang keagamaan dan pemerintahan. Kaum satria adalah mereka yang melaksanakan titah atau nasehat dari brahma untuk menjalankan roda pemerintahan. Sedangkan kaum sudra adalah kaum rakyat jelata, yang sampai mati pun akan tetap menjadi rakyat jelata. Tak pernah  ada cerita kaum sudra akan menjadi seorang kawula di sebuah kerajaan.[10]
Nah, system sosial inilah yang kemudian ingin dihapus oleh para walisongo dalam tujuannya meng-islamisasi bumi nusantara. Mereka pun mengajarkan keberaksaraan dan tulis-menulis kepada penduduk peribumi, lalu para walisongo juga mengarang berbagai karangan yang berbentuk cerita dan dongeng-dongeng yang mengandung ajakan untuk pembebasan strata sosial tersebut. Seperti yang disebutkan dalam Pesantren Studies, misalnya : Jaka Bodo dan Jaka Klinting yang dikarang oleh Sunan Kudus di Surabaya, Jaka Sumantri dan Jaka Sutakara yang dikarang oleh Sunan Kalijaga di Jombang, Jaka Partwa Nggadingan Majapahit yang dikarang oleh sunan Drajat serta masih banyak lagi karangan yang dihasilkan oleh para wali, yang kebanyakan memang disusun dalam bentuk kisan-kisan seorang bernama Jaka. Plot atau model penarasian kisah-kisah si Jaka mengikuti model santri pengembara yang hidup di desa, yang ngaji kepeda seorang guru-ulama, kemudian menjadi pembela orang-orang desa, menumpas penjahat, merawat sumber-sumber ekonomi dan alam di desa, mempelajari satu ilmu tertentu yang membawa kemashlahatan bagi masyarakat, dan sebagian tokohnya menjadi raja pelindung orang-orang desa. Dengan cara inilah walisongo  menyebarkan ajaran agama islam, mengajarkan tentang moralitas dan pendidikan berbasis pesantren, membantu mereka untuk merawat dan melestarikan sumber-sumber alam air, tanah dan hutan, sumber ekonomi dan sumber penghidupan secara luas.[11] Disinilah nantinya apa yang dilakukan walisongo dengan “menulis”nya mampu mensejahterakan masyarakat pribumi, serta tembok-tembok strata social yang membayangi mereka pun pada akhirnya akan runtuh dengan sendirinya. Bahwa setiap orang mempunyai hak untuk hidup layak dan cukup hal yang relevan untuk mereka pikirkan kini, ketimbang pada masa kerajaan hindu dulu.
               Apa yang anda bayangkan ketika seorang penulis (yang benar-benar penulis!) tak menemukan pena, tinta dan kertas untuk dia tulisi ?, masih ingatkah sebuah film yang berjudul “Quills” ?, perjuangan seorang penulis atau sastrawan bernama Marquis De Sade dalam mendobrak dogmatisme gereja yang memenjara kehidupan masyarakat pada saat itu. Dan itulah yang akan bicarakan selanjutnya.
         Mungkin kasusnya sama dengan kasus yang terjadi pada zaman pra-pencerahan atau renaissance. Dimana pada saat itu gereja merupakan satu-satunya lembaga yang mengatur segala aspek kehidupan manusia. Mulai dari cara berpikir, bagaimana seharusnya bersikap, tentang mana yang benar dan mana yang salah, semuanya diatur secara ketat oleh gereja. Sehingga pada saat itu, dogma-dogma kegerejaan dianggap menjadi pengatur yang mengatur ketat bagaimana manusia harus hidup, ya semacam Tuhan yang mengatur kehidupan seluruh umat manusia. Begitu pula yang terjadi pada masa dimana Marquis De Sade hidup. Dogma gereja tentang hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan membuatnya sadar bahwa hal itu harus dia tentang dan dia hapuskan. Karena dia pun sadar bahwa kehidupan manusia tak seharusnya diatur sedemikian rupa oleh gereja. Apalagi dalam masalah yang sangat personal seperti halnya hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan. Dengan timbulnya kesadaran seperti itu, De Sade mulai menulis, membuat dan menyusun sebuah cerita yang sangat kontroversial, sebuah cerita yang pada waktu itu dianggap tabu karena nilai-nilai ke-saruan stadium 4 yang dikandungnya. Gampangnya, dia mengarang kisah-kisah porno, bahkan bisa dikatakan post-pornoisme atau neopornoisme karena tingkat kebejatan cerita-cerita yang dia tulis sangatlah terkutuk dan tidak sopan.
Saya tidak akan berbicara tentang apa yang dilakukan De Sade dalam perspektif agama, moralitas atupun hukum adat. Akan tetapi, yang paling relevan untuk dibahas adalah nilai-nilai yang bersifat asasi, yaitu membebaskan masyarakat dari dogma gereja yang erat memasung, bukan membahas masalah Marquis De Sade adalah seorang yang bejat, yang tidak tahu nilai-nilai moral, dan karangan seperti itu tidak seharusnya dibuat karena akan merusak generasi muda bangsa, bukan itu. Tentu, disamping itu semua, semangat berjuangnya dengan penalah yang harusnya menjadi teladan dan contoh bagi kita generasi muda, agar mati-matian berjuang demi kebenaran yang kita yakini, khususnya dengan jalan menulis.
        Dikisahkan, karena “kebejatan” yang dilakukannya dalam bentuk karangan cerita atau novel itu, Marquis De Sade akhirnya dijebloskan ke dalam sebuah rumah sakit jiwa. Dia ditempatkan dalam ruangan lebar yang cukup mewah untuk ukuran sebuah kamar rumah sakit. Karena pada saat itu dia masih dihargai dan dihormati sebagai salah seorang sastrawan besar yang banyak memiliki pengaruh, sehingga penjara hanyalah menjadi alat untuk memisahkannya dengan dunia luas, dengan tujuan agar dia berhenti dalam menerbitkan tulisan-tulisannya kepada khalayak umum. Tetapi itu tidak menyulutkan semangatnya, tentang apa yang dia yakini. Tulisan-tulisannya tetap dia terbitkan lewat salah seorang perawat rumah sakit bernama Madelaide yang sangat menggemari tulisan-tulisannya. Si Madelaide inilah nantinya yang akan meneruskan tulisan-tulisan Marquis De Sade hingga sampai di meja penerbit. Singkatnya, karena geram dengan aksi Marquis De Sade yang masih getol menerbitkan tulisan-tulisan frontalnya, akhirnya pihak gereja memutuskan untuk memperlakukannya lebih ketat. Semua alat tulis, tinta, kertas dan segala sesuatu yang bisa menjadi sarana untuk mendukung kegiatan menulisnya, dirampas dan dibuang. Awalnya De Sade merasa frustasi terhadap yang dilakukan pihak gereja kepadanya, karena keyakinan kuat yang dimilikinya, akhirnya muncul sebuah ide radikal untuk menjadikan darahnya sendiri sebagai tinta dan pakaiannya sebagai kertas yang akan menampung tulisan-tulisan bejatnya. Dua potong pakaian yang dia kenakan dia penuhi dengan tulisan, darahnya pun telah kering sehingga tak mampu lagi untuk mengalir keluar, dia pucat dan tak berdaya. Akankah ini menjadi akhir dari kisah Marquis De Sade yang tragis ?, ternyata tidak. Dia masih memiliki kotorannya sendiri untuk dia jadikan tinta, tembok pun dia tulisi dengan tinta terakhir yang dia punya tersebut. Paling akhir, dia tak lagi memiliki apa-apa  untuk dijadikan sarana menulis. Di akhir hayatnya, dia diminta untuk mencium symbol gereja sebagai tanda maaf dan pertaubatan atas semua yang telah dia lakukan, tapi dasar Marquis De Sade yang memang bebal dan bertempurung keras, symbol di hadapannya malah dia telan, tersangkut di tenggorokan, malaikat maut mencabut nyawanya perlahan, mati. Berakhir sudah kisah perjuangan seorang Marquis De Sade, seorang penulis yang dianggap gila, yang mati tragis dengan tulisan tinta kotoran disekililingnya dan lambang salib di kerongkongannya, lebih parah lagi dalam keadaan telanjang !.
Tapi apa yang dia lakukan menyadarkan banyak pihak, salah satunya adalah seorang perempuan muda didikan gereja bernama Simone, yang dipaksa menikah dengan salah seorang pejabat gereja yang mungkin lebih cocok untuk menjadi kakeknya daripada suaminya, namanya Dr. Royer Collard. Simone akhirnya melarikan diri dengan laki-laki yang dicintainya, meninggalkan suami tuanya serta segenap dogma gereja yang pernah membekapnya. Semua serita tragis itu, bermula dari sebuah kegiatan yang bernama “menulis”.     
             Sebenarnya ada satu tokoh lagi yang ingin saya angkat perihal tema kita menulis sebagai bagian dari berjuang. Dia adalah soe hok gie, seorang mahasiswa demonstran yang menurunkan Bung Karno dari kursi kepresidenan. Buku hariannya yang terkenal “catatan seorang demonstran” seolah-olah menggambarkan kehidupannya yang tidak lepas dari kegiatan menulis dan menulis.





[7] Tulisan ini terinsiprasi dari perlawanan Minke yang digambarkan oleh Pramoedya dalam tetralogy Pulau Burunya, Perlawanan kaum santri dengan literasi yang digambarkan Kyai Ahmad Baso dalam Pesantren Studies 2a dan sebuah film tentang kegilaan Marquis De Sade dalam protesnya terhadap dogma gereja, “Quills”.
[8] Baca: Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, Lentera Dipantara 2011.
[9] Ahmad Baso, Pesantren Studies 2a; Pesantren, Jaringan Pengetahuan dan Karakter Kosmopolitan-Kebangsaannya, hal: 1-11, Pustaka Afid.
[10] Pramoedya Ananta Toer, Arok Dedes, Lentera Dipantara 2011.
[11] Ahmad Baso, Pesantren Studies 2a, hal : 3-4
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar