Setelah menyadari bahwasanya menulis merupakan bagian dari diri
manusia. yang dengannya seorang manusia mampu berpikir, memaksimalkan dan
mengefisiensi kerja otaknya, mampu merasa, meluapkan seluruh amarah, kecewa,
khawatir, bahagia dan segala aktivitas hati. Selanjutnya adalah tentang
kegiatan menulis dan tulisan yang dapat mewujudkan dirinya secara eksis dalam
satu perbuatan, yakni melawan atau berjuang. Pada pembahasan kali ini, kegiatan
menulis dalam perspektif saya, sudah memasuki perannya yang paling nyata. Bukan
lagi hanya tertuju atau terarah kepada diri manusia itu sendiri sebagai subjek
yang menulis, akan tetapi bagaimana menulis dapat menjadi sebuah alat dan
parang bagi letupan pikiran serta perasaan manusia. Bagaimana sebuah tulisan
bisa memprotes, bisa tidak setuju, melakukan kritik, mengungkap borok penguasa,
dan mewakili segala apa yang dipikirkan serta dirasakan oleh manusia. Dan bagimana
goresan pena mampu mewakili itu semua lebih dari apa yang mampu dilakukan oleh
ucapan kata-kata.
Tentunya, contoh
ideal dalam pembahasan kali ini adalah karya besar Alm. Pramoedya Ananta Toer.
Tulisan-tulisannya merupakan sebuah refleksi dari apa yang dipikirkan dan
dirasakannya. segala bentuk protes, ketidak setujuan, keadilan yang
dipermainkan, tangis rakyat jelata yang mengiris hati, dengusan kuli kerja
paksa, semuanya dia tumpahkan dalam tulisan-tulisannya. Masih ingat tetralogy
pulau buru ?, yang terdiri dari Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah
dan Rumah Kaca. Sebuah roman sejarah yang menceritakan perjalanan panjang
bangsa ini melawan eropa, yang menggambarkan lika-liku kehidupan masyarakatnya,
penindasan dan kelasisasi bentukan eropa yang memelaratkan rakyatnya. semuanya
dia kisahkan dengan rajutan kata yang membuat pembacanya seperti hidup pada
masa itu, menjadikan pembacanya tenggelam dalam kepedihan dan ketidak adilan
yang dirasakan layaknya masyarakat waktu itu. Mungkin saya terlalu dangkal
dalam memahami maksud-maksud tersirat yang digambarakan Pram, tetapi begitulah
yang saya rasakan sebagai salah satu pembacanya. Disana diceritakan tentang
perjuangan seorang anak muda bernama Minke. Pemuda berani, menantu seorang
wanita pemberani juga Nyi Ontosoroh, yang memiliki parang tajam bernama
menulis. Dengan parangnya itu dia melawan segala bentuk penindasan terhadap
bangsanya, dan dengan parangnya itu dia pun mengajak bangsanya untuk turut
berjuang dan membuka mata, sadar akan nasib yang mereka alami.[8] Itu tergambar
ketika pemerintah eropa akan mengambil istri tercintanya, karena menurut hukum
eropa yang berlaku waktu itu, pernikahan yang terjadi antara Nyai Ontosoroh dengan
tuan Herman Mallema merupakan pernikahan yang tidak sah, karena Nyai Ontosoroh
hanyalah seorang gundik pribumi saja. Oleh karena itu, karena ada gugatan dari
istri sahnya yang ada di belanda sana, putera sahnya Maurist Mallema turun
untuk melapor dan menuntut pemindahan hak atas perusahaan yang ditinggalkan
oleh ayahnya, yang kini dipegang kendali oleh Nyai Ontosoroh. Dalam gugatannya
itu juga, Maurist menuntut untuk mengambil alih perwalian adiknya Annelies dan
bermaksud untuk memboyong Annelies ke Belanda dengan dalih agar dia mendapatkan
hidup yang lebih baik dan lebih layak. Sejak itulah, dengan mati-matian Minke
berjuang dengan penanya. Menyangkal. Memprotes, mengajak khalayak untuk
berpikir tentang mana yang benar dan mana yang salah. Dukungan pun datang dari
berbagai arah. Para ulama Jawa pun bergerak, petinggi keadilan agama Surabaya
mengatakan bahwa pernikahan itu sah, bahkan sekelompok orang Madura lengkap
dengan celuritnya dengan suka rela memberikan jasanya untuk melindungi Minke
dan Nyai Ontosoroh di kediamannya. Apa yang menggerakan mereka semua ?,
hanyalah sebuah kegiatan yang bernama menulis. Tanpa dipanggil, berteriak,
mengais-ngais bantuan dengan isak tangis dan ratapan, Minke dengan tulisannya
mampu melakukan itu semua. Semua orang pun merasa terwakili aspirasinya dengan
“radikalisasi menulis” yang diusung dan dilakukan Minke.
Dengan begitu, apa yang dilakukan Minke kini bukan
lagi dibaca sebagai sebuah “aktualisasi” atau perwujudan diri ke dalam
masyarakat, tetapi melampaui menjadi aktualisasi masyarakat ke dalam sebuah
peradaban. Sebuah dampak yang begitu besar dari sebuah kegiatan remeh yang tak
membutuhkan banyak biaya (bandingkan bila berjuang dengan demo atau sejenisnya
!, itupun kalau demo dikatakan sebagai gerakan yang berlandaskan asas perjuangan,
bukan uang) yang bernama menulis.
Menulis juga
menjadi senjata ampuh bagi kaum santri dalam membebaskan kelasisasi rakyat yang
dibentuk pemerintah kolonial dulu, sebuah fenomena sosial yang sangat merugikan
dan menyengsarakan rakyat, kita punya tanah. Berikut akan diceritakan tentang
kisah bagaimana tulis-menulis menjadi langkah awal islamisasi, khususnya di
Indonesia. Bagaimana tulis-menulis menjadi jalan awal bagi terciptanya
masyarakat yang berwawasan keilmuan, dan bagaimana tulis-menulis serta
keberaksaraan menjadi sebuah pondasi awal bagi terbentuknya sebuah peradaban.
Semuanya terilhami dari sebuah tulisan “Pesantren, Dari Literasi ke
Liberasi”.[9]
Gerakan
keberaksaraan atau yang lebih keren untuk kita sebut sebagai literasi memang
mulai digalakkan oleh para walisongo dalam rangka membantu strategi mereka
dalam membentuk sebuah peradaban, khususnya peradaban islam di Indonesia.
Pembahasannya sangat luas, tapi yang akan ditekankan disini hanyalah masalah “bagaimana
menulis dan tulisan tersebut menjadi semacam senjata untuk berjuang, melakukan
suatu pembebasan, seperti pembebasan kelas sosial yang dilakukan oleh para
walisongo dalam kegiatan literasinya”.
Sejarah sosial kehidupan bangsa ini secara
kronologis diawali oleh peradaban hindu-budha pada abad ke-7 masehi. Ditandai
dengan berdirinya kerajaan hindu besar di Sumatera yaitu kerajaan Sriwijaya.
Peradaban itu terus berlanjut hingga berdirinya kerajaan majapahit di tanah
Jawa. Lalu apa yang diwariskan kerajaan Hindu-Budha ini kepada fenomena sosial
di nusantara, yakni system kelasisasi seperti yang saya sebut diatas. Pada masa
itu dikenal kategori derajat kedudukan Brahma, Satria dan Sudra. Kaum brahma
adalah kaum yang paling dihormati karena mereka memiliki kemampuan dan
penguasaan keilmuan di bidang keagamaan dan pemerintahan. Kaum satria adalah
mereka yang melaksanakan titah atau nasehat dari brahma untuk menjalankan roda pemerintahan.
Sedangkan kaum sudra adalah kaum rakyat jelata, yang sampai mati pun akan tetap
menjadi rakyat jelata. Tak pernah ada
cerita kaum sudra akan menjadi seorang kawula di sebuah kerajaan.[10]
Nah, system sosial inilah yang kemudian ingin
dihapus oleh para walisongo dalam tujuannya meng-islamisasi bumi nusantara.
Mereka pun mengajarkan keberaksaraan dan tulis-menulis kepada penduduk
peribumi, lalu para walisongo juga mengarang berbagai karangan yang berbentuk
cerita dan dongeng-dongeng yang mengandung ajakan untuk pembebasan strata sosial
tersebut. Seperti yang disebutkan dalam Pesantren Studies, misalnya : Jaka
Bodo dan Jaka Klinting yang dikarang oleh Sunan Kudus di Surabaya,
Jaka Sumantri dan Jaka Sutakara yang dikarang oleh Sunan Kalijaga di
Jombang, Jaka Partwa Nggadingan Majapahit yang dikarang oleh
sunan Drajat serta masih banyak lagi karangan yang dihasilkan oleh para
wali, yang kebanyakan memang disusun dalam bentuk kisan-kisan seorang bernama Jaka.
Plot atau model penarasian kisah-kisah si Jaka mengikuti model santri
pengembara yang hidup di desa, yang ngaji kepeda seorang guru-ulama, kemudian
menjadi pembela orang-orang desa, menumpas penjahat, merawat sumber-sumber
ekonomi dan alam di desa, mempelajari satu ilmu tertentu yang membawa
kemashlahatan bagi masyarakat, dan sebagian tokohnya menjadi raja pelindung orang-orang
desa. Dengan cara inilah walisongo
menyebarkan ajaran agama islam, mengajarkan tentang moralitas dan
pendidikan berbasis pesantren, membantu mereka untuk merawat dan melestarikan
sumber-sumber alam air, tanah dan hutan, sumber ekonomi dan sumber penghidupan
secara luas.[11] Disinilah nantinya apa yang dilakukan walisongo dengan
“menulis”nya mampu mensejahterakan masyarakat pribumi, serta tembok-tembok
strata social yang membayangi mereka pun pada akhirnya akan runtuh dengan
sendirinya. Bahwa setiap orang mempunyai hak untuk hidup layak dan cukup hal
yang relevan untuk mereka pikirkan kini, ketimbang pada masa kerajaan hindu
dulu.
Apa yang anda
bayangkan ketika seorang penulis (yang benar-benar penulis!) tak menemukan
pena, tinta dan kertas untuk dia tulisi ?, masih ingatkah sebuah film yang
berjudul “Quills” ?, perjuangan seorang penulis atau sastrawan bernama Marquis
De Sade dalam mendobrak dogmatisme gereja yang memenjara kehidupan masyarakat pada
saat itu. Dan itulah yang akan bicarakan selanjutnya.
Mungkin kasusnya
sama dengan kasus yang terjadi pada zaman pra-pencerahan atau renaissance.
Dimana pada saat itu gereja merupakan satu-satunya lembaga yang mengatur segala
aspek kehidupan manusia. Mulai dari cara berpikir, bagaimana seharusnya bersikap,
tentang mana yang benar dan mana yang salah, semuanya diatur secara ketat oleh
gereja. Sehingga pada saat itu, dogma-dogma kegerejaan dianggap menjadi
pengatur yang mengatur ketat bagaimana manusia harus hidup, ya semacam Tuhan
yang mengatur kehidupan seluruh umat manusia. Begitu pula yang terjadi pada
masa dimana Marquis De Sade hidup. Dogma gereja tentang hubungan seksual antara
laki-laki dan perempuan membuatnya sadar bahwa hal itu harus dia tentang dan
dia hapuskan. Karena dia pun sadar bahwa kehidupan manusia tak seharusnya
diatur sedemikian rupa oleh gereja. Apalagi dalam masalah yang sangat personal
seperti halnya hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan. Dengan
timbulnya kesadaran seperti itu, De Sade mulai menulis, membuat dan menyusun
sebuah cerita yang sangat kontroversial, sebuah cerita yang pada waktu itu
dianggap tabu karena nilai-nilai ke-saruan stadium 4 yang dikandungnya.
Gampangnya, dia mengarang kisah-kisah porno, bahkan bisa dikatakan
post-pornoisme atau neopornoisme karena tingkat kebejatan cerita-cerita yang
dia tulis sangatlah terkutuk dan tidak sopan.
Saya tidak akan berbicara tentang apa yang
dilakukan De Sade dalam perspektif agama, moralitas atupun hukum adat. Akan
tetapi, yang paling relevan untuk dibahas adalah nilai-nilai yang bersifat
asasi, yaitu membebaskan masyarakat dari dogma gereja yang erat memasung, bukan
membahas masalah Marquis De Sade adalah seorang yang bejat, yang tidak tahu
nilai-nilai moral, dan karangan seperti itu tidak seharusnya dibuat karena akan
merusak generasi muda bangsa, bukan itu. Tentu, disamping itu semua, semangat
berjuangnya dengan penalah yang harusnya menjadi teladan dan contoh bagi kita
generasi muda, agar mati-matian berjuang demi kebenaran yang kita yakini,
khususnya dengan jalan menulis.
Dikisahkan, karena
“kebejatan” yang dilakukannya dalam bentuk karangan cerita atau novel itu,
Marquis De Sade akhirnya dijebloskan ke dalam sebuah rumah sakit jiwa. Dia
ditempatkan dalam ruangan lebar yang cukup mewah untuk ukuran sebuah kamar rumah
sakit. Karena pada saat itu dia masih dihargai dan dihormati sebagai salah
seorang sastrawan besar yang banyak memiliki pengaruh, sehingga penjara
hanyalah menjadi alat untuk memisahkannya dengan dunia luas, dengan tujuan agar
dia berhenti dalam menerbitkan tulisan-tulisannya kepada khalayak umum. Tetapi
itu tidak menyulutkan semangatnya, tentang apa yang dia yakini.
Tulisan-tulisannya tetap dia terbitkan lewat salah seorang perawat rumah sakit
bernama Madelaide yang sangat menggemari tulisan-tulisannya. Si Madelaide
inilah nantinya yang akan meneruskan tulisan-tulisan Marquis De Sade hingga
sampai di meja penerbit. Singkatnya, karena geram dengan aksi Marquis De Sade
yang masih getol menerbitkan tulisan-tulisan frontalnya, akhirnya pihak gereja
memutuskan untuk memperlakukannya lebih ketat. Semua alat tulis, tinta, kertas
dan segala sesuatu yang bisa menjadi sarana untuk mendukung kegiatan
menulisnya, dirampas dan dibuang. Awalnya De Sade merasa frustasi terhadap yang
dilakukan pihak gereja kepadanya, karena keyakinan kuat yang dimilikinya,
akhirnya muncul sebuah ide radikal untuk menjadikan darahnya sendiri sebagai
tinta dan pakaiannya sebagai kertas yang akan menampung tulisan-tulisan
bejatnya. Dua potong pakaian yang dia kenakan dia penuhi dengan tulisan,
darahnya pun telah kering sehingga tak mampu lagi untuk mengalir keluar, dia pucat
dan tak berdaya. Akankah ini menjadi akhir dari kisah Marquis De Sade yang
tragis ?, ternyata tidak. Dia masih memiliki kotorannya sendiri untuk dia jadikan
tinta, tembok pun dia tulisi dengan tinta terakhir yang dia punya tersebut.
Paling akhir, dia tak lagi memiliki apa-apa
untuk dijadikan sarana menulis. Di akhir hayatnya, dia diminta untuk
mencium symbol gereja sebagai tanda maaf dan pertaubatan atas semua yang telah dia
lakukan, tapi dasar Marquis De Sade yang memang bebal dan bertempurung keras,
symbol di hadapannya malah dia telan, tersangkut di tenggorokan, malaikat maut
mencabut nyawanya perlahan, mati. Berakhir sudah kisah perjuangan seorang Marquis
De Sade, seorang penulis yang dianggap gila, yang mati tragis dengan tulisan
tinta kotoran disekililingnya dan lambang salib di kerongkongannya, lebih parah
lagi dalam keadaan telanjang !.
Tapi apa yang dia lakukan menyadarkan banyak pihak,
salah satunya adalah seorang perempuan muda didikan gereja bernama Simone, yang
dipaksa menikah dengan salah seorang pejabat gereja yang mungkin lebih cocok
untuk menjadi kakeknya daripada suaminya, namanya Dr. Royer Collard. Simone
akhirnya melarikan diri dengan laki-laki yang dicintainya, meninggalkan suami
tuanya serta segenap dogma gereja yang pernah membekapnya. Semua serita tragis itu,
bermula dari sebuah kegiatan yang bernama “menulis”.
Sebenarnya ada
satu tokoh lagi yang ingin saya angkat perihal tema kita menulis sebagai bagian
dari berjuang. Dia adalah soe hok gie, seorang mahasiswa demonstran yang
menurunkan Bung Karno dari kursi kepresidenan. Buku hariannya yang terkenal
“catatan seorang demonstran” seolah-olah menggambarkan kehidupannya yang tidak
lepas dari kegiatan menulis dan menulis.
[7] Tulisan ini terinsiprasi dari perlawanan Minke yang digambarkan
oleh Pramoedya dalam tetralogy Pulau Burunya, Perlawanan kaum santri dengan
literasi yang digambarkan Kyai Ahmad Baso dalam Pesantren Studies 2a dan sebuah
film tentang kegilaan Marquis De Sade dalam protesnya terhadap dogma gereja,
“Quills”.
[8] Baca: Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, Lentera
Dipantara 2011.
[9] Ahmad Baso, Pesantren Studies 2a; Pesantren, Jaringan
Pengetahuan dan Karakter Kosmopolitan-Kebangsaannya, hal: 1-11, Pustaka
Afid.
[10] Pramoedya Ananta Toer, Arok Dedes, Lentera Dipantara 2011.
[11] Ahmad Baso, Pesantren Studies 2a, hal : 3-4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar