Merantau jauh ke kota kudus
merupakan suatu hal yang baru bagi saya pribadi. Hal baru dalam artian, ini
merupakan rantauan terjauh saya selama ini dan ini juga merupakan pertama
kalinya saya pergi dan tinggal dikota yang mayoritas dihuni oleh orang jawa
tulen. Masalah jarak mungkin sudah saya atasi dengan niat dan tekat yang bulat
untuk nyantri di kota ini. Masalah yang kedua yang merupakan tantangan yang
benar benar baru bagi saya selama ini, dikarenakan selama ini saya hidup
berdekatan dengan orang orang madura. Saya pun juga asli darah madura. Jadi,
hal hal yang mengangkut bahasa, budaya dan kebiasaan orang jawa saya benar
benar kosong. Apalagi yang saya hadapi sekarang ini adalah jawa asli yang tiap
harinya berkomunikasi dengan menggunakan bahasa halus dan kromo inggil. Tentu
jauh berbeda dengan jawa jawa “suroboyoan” atau “jawa timuran” yang sedikit
banyak telah saya ketahui dan saya dengar, baik itu di kota tempat saya berasal
maupun di pesantren saya sebelum ini. Akan tetapi, bukanlah masalah bahasa yang
akan saya bagi kepada kawan kawan kali ini. Kebiasaan yang dilakukan masyarakat
kuduslah yang akan saya ceritakan pada kesempatan yang berharga ini. Terutama
akan hal yang berbau manis dari kota menakjubkan ini.
Kali pertama menginjak kaki di
tanah kudus saya sudah merasa akan mengalami sebuah proses penyesuaian diri
yang luar biasa berat dan lama. Bagaimana tidak merasa berat, saya adalah orang madura asli yang hidup dan tinggal dikota
yang mayoritas dihuni oleh orang jawa tulen dan hidup bersama sama mereka tiap
harinya. Mengikuti semua adat dan kebiasaan yang dilakukan mereka tiap harinya.
Kondisi seperti ini saya umpakan dengan seekor harimau sumatera yang mencoba
tinggal bersama harimau afrika. Memang sama sama harimau, tapi kebiasaan yang dilakukan
antara keduanya tentu sangat berbeda. Tapi itu hanya perasaan yang menyambut
kedatangan saya di kota kretek ini pertama kali.
Beberapa saat setelah tiba di kota
ini, setelah berkeliling disekitar menara kudus untuk penyesuaian kondisi dan
dalam rangka menghafal jalan serta warung warung makan disana, perut saya
mendadak memaksa untuk diisi. Pergilah saya ke salah satu warung bersama salah
satu kenalan baru saya di kudus. Saat itulah hal yang saya takutkan tadi
terjadi. Meskipun sangat lapar, lidah dan mulut enggan rasanya untuk makan dan
mengunyah menu yang saya pesan. Waktu itu saya memesan nasi campur. Sepiring
kecil nasi dengan oseng oseng kangkung, mie, potongan tahu bumbu dan sambel
diatasnya. Saya pun mencoba mencampurkan sambal ke sesuap nasi yang akan saya
santap. Tapi, lidah dan kerongkongan saya semakin enggan untuk mengunyah dan
menelan makanan itu. Alasannya, semuanya terasa sangat manis. Sambal pun jauh
dari kesan pedas, disini adanya sambal manis.
Butuh waktu seminggu untuk membuat
lidah terbiasa dengan makanan manis yang sudah menjadi kebiasaan dan kesenangan
orang jawa tulen di kudus ini. Itupun dengan terpaksa, saya tidak makan kecuali
sudah kelaparan stadium empat yang membuat saya lemas bahkan untuk sebuah
senyuman sedikitpun. Semua menu sudah saya coba dari warung ke warung di
sekitar menara kudus. Hampir semua warung sudah saya datangi dan saya rasakan
menunya. Semuanya hampir sama, rasa manis masih kuat melekat dalam masakan
orang orang kudus. Jadi, jangan heran ketika melihat dan menemukan banyak
sekali bahkan hampir semua orang tua di kota kudus berjalan dengan memakai bantuan
tongkat. Mengapa demikian? Penyakit diabeteslah penyebabnya. Mulai dari lahir
sampai menginjak usia senja, kadar gula yang mereka konsumsi selalu diatas
batas normal kesehatan. Akibatnya, sudah dapat dipastikan diabetes atau kencing
manis mengendap di dalam tubuh mereka.
Jadi, saya sarankan kepada teman
teman yang ingin mencoba untuk tinggal di kota ini. Baik itu hanya untuk
sekedar mencari pengalaman atau menyantri di pesantren kudus, agar bisa memilih
dan memilah mana makanan yang cocok bagi lidah dan kerongkongan kalian.
Terutama bagi kawan yang berasal dari suku madura. Bakso, mie ayam, mie instan,
sate madura adalah makanan makanan yang bisa menjadi pilihan pertama. Tapi,
tidak selamanya itu dapat dibeli, Kala kantong menipis dan transfer uang tak
kunjung datang, maka kawan sekalian akan dipaksa untuk menikmati masakan
masakan manis di warung warung murah. Dan, jangan sekali kali mencoba soto
kudus !, terutama bagi mereka yang berasal dari madura sekali lagi !.
Dari semua hal yang manis yang saya
ceritakan diatas, masih kalah manis dengan cerita saya berikut ini. Masih
seputar kota perantauan saya, kota kudus beserta sesuatunta yang berbau manis.
Seperti yang saya katakan tadi di
atas, bahasa yang digunakan tiap harinya di kota ini adalah bahasa jawa kromo
inggil dan kromo halus. Orang jawa surabaya atau jember pun belum tentu paham
dengan bahasa jawa ini. Mengapa demikian? Karena memang pendahulu pendahulu di
kota ini memang berasal dari keluarga kraton jawa layaknya kraton jogjakarta
dan kraton solo. Akibatnya, Bahasa yang digunakan pun mengikuti seperti apa
yang kerap digunakan di kalangan keluarga kraton.
Bahasa bukanlah satu satunya yang
diawarisi para pendahulu di kota kudus kepada anak keturunanya sampai saat
sekarang ini. kecantikan putri kraton yang terkenal pun mengalir deras dalam darah perempuan perempuan kudus sampai
saat saya menulis ini. Perempuan perempuan kudus tidaklah cantik kawan menurut
saya. Mereka lebih kepada kesan manis dengan keserdehanaan yang menghiasi
wajahnya. Kulit perempuan kota ini tidaklah putih, tapi kuning. Kuning langsat
terang mulus yang memanjakan tiap laki laki yang memandangnya. Intinya, pesona
kecantikan dan kemanisan wanita kudus tidak pernah saya temui sebelumnya.
Manisnya mereka merupakan sebuah anugrah dari tuhan dan benar benar natural.
Kecantikan nyata seorang wanita pribumi yang selama ini banyak dilegendakan.
Untuk menceritakan bagaimana luar biasanya perempuan perempuan di kota ini,
perlu adanya bab khusus dan perbendaharaan kata kata selain eksotis,
menakjubkan, luar biasa, dll. Datang dan lihat sendiri !, maka kau akan tahu
seperti apa perempuan kudus itu.
Lalu pertanyaannya, mengapa saya
bisa mengetahui semua hal ini?, jawabannya simple. Saya adalah seorang laki
laki tulen yang sudah menapaki dewasa. Tidak lalu mentang mentang saya seorang santri tahfidz al qur’an, saya tidak
pernah menoleh sedikitpun kepada perempuan yang lewat didepan dan disamping
saya. Memang itu sebuah pantangan dan larangan bagi seorang santri tahfidz
seperti saya. Akan tetapi, fitrah sebagai laki laki normal lebih berperan dan
mengajak untuk menikmati keindahan perempuan kudus walaupun hanya sedikit dan
sekejap mata daripada mengalihkan pandangan atau memejamkan mata demi
mengindahkan pantangan dan larangan yang selama ini mati matian saya pegang.
Itulah sedikit cerita tentang
manisnya kota kudus. Manis yang menyebabkan penghuninya terkena penyakit
diabetes, dan manis yang menyebabkan para laki lakinya terpikat serta
terpesona. Hehehehe….
Sungguh eksotis kota ini…..
KUDUS, 25062011
Ponpes Mazro’atul Ulum, DAMARAN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar