Hubungan
agama dan negara dalam konteks dunia Islam masih menjadi perdebatan yang
intensif di kalangan para pakar Muslim hingga kini. MenurutAzyumardi Azra,
perdebatan itu telah berlangsung sejak hampir satu abad, dan masih berlangsung
hingga dewasa ini. Menurut Azra, ketegangan perdebatan tentang hubungan agama
dan negara dalam Islam disulut oleh hubungan yang agak canggung antara Islam
sebagai agama (din) dan negara (dawlah). Berbagai eksperimen
telah dilakukan untuk menyelaraskan antara din dan dawlah dengan
konsep dan kultur politik masyarakat muslim. Seperti halnya percobaan demokrasi
di sejumlah negara di dunia, penyelarasan din dan dawlah dibanyak
negeri-negeri Muslim telah berkembang secara beragam. Perkembangan wacana
demokrasi di kalangan negara-negara Muslim dewasa ini semakin menambah maraknya
perdebatan Islam dan negara.
Perdebatan Islam dan
negara berangkat dari pandangan dominan Islam sebagai sebuah sistem kehidupan
yang menyeluruh (syumuli), yang mengatur semua kehiduapan manusia,
termasuk persoalan politik. Dari pandang Islam sebagai agama yang komprehensif
ini pada dasarnya dalam Islam tidak terdapat konsep pemisahan antara agama (din)
dan politik (dawlah). Argumentasi ini sering dikaitkan dengan posisi
Nabi Muhammad di Madinah. Di kota hijrah ini, Nabi Muhammad berperan ganda,
sebagai seorang pemimpin agama sekaligus sebagai kepala negara yang memimpin
sebuah sistem pemerintahan awal Islam yang, oleh kebanyakan pakar, dinilai
sangat modern di masanya.
Posisi
ganda Nabi Muhammad di kota Madinah disikapi beragam oleh kalangan ahli. Secara
garis besar perbedaan pandangan ini bermuara pada apakah Islam identik dengan
negara atau sebaliknya Islam tidak meninggalkan konsep yang tegas tentang
bentuk negara, menginat sepeninggal Nabi Muhammad tak seorang pun dapat
menggantikan peran ganda beliau, sebagai pemimpin dunia yang sekuler dan si
penerima wahyu Allah sekaligus.
Menyikapi
realitas perdebatan tersebut, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa posisi Nabi saat
itu adalah sebagai Rasul yang bertugas menyampaikan ajaran (al Kitab) bukan
sebagai penguasa. Menurut Ibnu Taimiyah, kalaupun ada pemerintahan, itu
hanyalah sebuah alat untuk menyampaikan agama dan kekuasaan bukanlah agama itu
sendiri. Dengan ungkapan lain, politik atau negara dalam Islam hanyalah sebagai
alat bagi agama bukan eksistensi dari agama Islam. Pendapat Ibnu Taimiyah ini
dipertegas dengan ayat al-Quran (57: 25) yang artinya: "Sesunggubnya
Kami telab mengutus Rasul-rasul Kami yang disertai keterangan-keterangan, dan
Kami turunkan bersama mereka Kitab dan timbangan, agarmanusia berlaku adil, dan
Kami turunkan besi, padanya ada kekuatan yang bebat dan manfaat-manfaat bagi
manusia, dan agar Allah mengetahuisiapayangmenolong-Nya dan (menolong)
Rasul-Nya yang ghaib (daripadanya). ;
Dari ayat ini, Ibnu
Taimiyah menyimpulkan bahwa agama yang benar wajib memiliki buku petunjuk dan
"pedang" penolong. Hal ini dimaksudkan bahwa kekuasaan politik yang
disimbolkan dengan pedang menjadi sesuatu yang mutlak bagi agama, tetapi
kekuasaan itu bukanlah agama itu sendiri. Politik tidak lain sebatas alat untuk
mencapai tujuan-tujuan luhur agama.
Mengelaborasi
pandangan Ibn Taimiyah diatas Ahmad SyafTi Maarif menjelaskan bahwa istilah dawlah
yang berarti negara tidak dijumpai dalam al Quran. Istilah dawlah memang
ada dalam al-Quran pada surat al-Hasyr (QS. 59: 7) tetapi ia tidak bermakna
negara. Istilah tersebut dipakai secara figuratif untuk melukiskan peredaran
atau pergantian tangan dari kekayaan.
Pandangan
sejenis pernah juga dikemukana oleh beberapa modernis Mesir antara lain Ali
Abdul Raziq dan Mohammad Husein Haikal. Menurut Haikal, prinsip-prinsip dasar
kehidupan kemasyarakatan yang diberikan oleh al-Quran dan al Sunnah tidak ada
yang langsung berkaitan dengan ketatanegaraan. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa
dalam Islam tidak terdapat suatu sistem pemerintahan yang baku. Ummat Islam
bebas menganut sistem pemerintahan apapun asalkan sistem tersebut menjamin
persamaan antara para warga negaranya, baik hak maupun kewajiban dan persamaan
di hadapan hukum, dan pelaksanaan urusan negara diselenggarakan atas dasar
musyawarah (syura) dengan berpegang kepada tata nilai moral dan etika
yang diajarkan Islam.
Hubungan Islam dan
negara modern secara teoritis dapat diklasifikasikan kedalam tiga pandangan:
integralistik, simbiotik dan sekularistik.
Paradigma Integralistik
Paradigma integralistik hampir sama persis dengan pandangan negara teokrasi Islam. Paradigma ini menganut paham dan konsep agama dan negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu (integrated). Faham ini juga memberikan penegasan bahwa negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama. Konsep ini menegaskan kembali bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama (din) dan politik atau negara (dawlah).
Dalam
pergulatan Islam dan negara modern, pola hubungan integratifini kemudian
melahirkan konsep tentang agama-negara, yang berarti bahwa kehidupan kenegaraan
diatur dengan menggunakan hukum dan prinsip keagamaan. Dari sinilah kemudian
paradigma integralistik identik dengan paham Islam ad-Din wa dawlah,
yang sumber hukum positifnya adalah hukum Islam (syari'ah Islam). Paradigma
Integralistik ini antara lain dianut oleh negara kerajaan Saudi Arbia dan
kelompok Islam Syi'ah di Iran. Kelompok pencinta Ali R.A ini menggunakan
istilah imamah sebagai dimaksud dengan istilah dawlah yang banyak
dirujuk kalangan ulama sunni.
2.
Paradigma Simbiotik
Menurut
paradigma simbiotik, hubungan agama dan negara berada pada posisi saling
membutuhkan dan bersifat timbal balik (symbiosis mutualfta). Dalam
konteks ini, agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan
mengembangkan agama. Begitujuga sebaliknya, negara juga memerlukan agama,
karena agama juga membantu negara dalam pembinaan moral, etika, dan
spiritualitas warga negaranya Paradigma simbiotik nampaknya bersesuaian dengan
pandangan Ibnu Taimiyah tentang negara sebagai alat agama diatas. Dalam
kerangka ini Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur
kehidupan manusia merupakan kewajiban agama yang paling besar, karena tanpa
kekuasaan negara, maka agama tidak bisa berdiri tegak. Pendapat Ibnu Taimiyah
tersebut meligitimasi bahwa antara agama dan negara merupakan dua entitas yang
berbeda, tetapi saling membutuhkan. Oleh karenanya, konstitusi yang berlaku dalam
paradigma ini tidak saja berasal dari adanya kontrak sosial (social contract)
tetapi bisa diwarnai oleh hukum agama (syari'at). Dengan kata lain,
agama tidak mendominasi kehidupan bernegara, sebaliknya ia menjadi simber moral
bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Model pemerintahan negara Mesir and
Indonesia dapat digolongkan kepada kelompok paradigma ini.
3.
Paradigma
Sekularistik
Paradigma
sekularistik beranggapan bahwa ada pemisahan yang jelas antara agama dan
negara. Agama dan negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain
memiliki garapan masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan
tidak boleh satu sama lain malakukan intervensi. Negara adalah urusan publik,
sementara agama merupakan wilayah pribadi masing-masing individu warga negara.
Berdasar
pada pemahaman yang dikotomis ini, maka hukum positif yang berlaku adalah hukum
yang berasal dari kesepakatan manusia melalui social contract yang tidak
terkait sama sekali dengan hukum agama (syari'ab). Konsep sekularistik
dapat ditelusuri pada pandangan Ali Abdul Raziq yang menyatakan bahwa dalam
sejarah kenabian Rasulullah SAW pun tidak ditemukan keinginan Nabi Muhammad
untuk men-dirikan negara Islam. Negara Turki sekuler kreasi Kemal Ataturk dapat
digolongkan kedalam paradigma ini.
Hubungan Agama dan
Negara di Negara-negara Muslim
Realitas
yang terjadi pada negara-negara Islam atau negara yang berpenduduk mayoritas
muslim adalah kesulitan dalam upaya menciptakan titik temu antara Islam dan
negara. Akibatnya, negara-negara tersebut mengalami perbedaan-perbedaan dalam
menerjemahkan Islam sebagai agama dan sekaligus sebagai negara. Berikut adalah
contoh beberapa negara Islam atau negara yang berpenduduk mayoritas muslim
dalam menerjemahkan hubungan agama dan negara:
1. Arab Saudi
Sejarah
negeri Saudi bermula di sekitar 1750. Salah satu penguasa pemerintah sebuah
wilayah di Arab Saudi, Muhamad Bin Saud, bergabung dengan seorang reformis
Islam, Muhammad ibn Abd al Wahhab (pendiri gerakan Wahabi), untuk menciptakan
satu entitas politik baru yang kemudian dikenal dengan negara Arab Saudi. Arab
Saudi modern kemudian dipimpin oleh Raja Abdul Aziz Al-Saud.
Pengalaman
Negara-negara muslim yang beraneka ragam dalam merumuskan hubungan agama dan
Negara semakin mempertegas perlunya sikap arif dan bijak dalam merespon segala
perbedaan termasuk dalam beragama dan bernegara.
Arab Saudi adalah
negara monarchy atau berbentuk kerajaan bahkan dapat disebut dengan monarki
absolut. Kerajaan Arab Saudi menjadikan Quran sebagai undang-undang dasar negara
sementara sistem hukum dasarnya adalah syariah dengan ulama-lama sebagai
hakim-hakim dan penasehat-penasehat hukumnya. Partai politik adalah hal yang
dilarang di negeri yang berideologi wahabiyah ini dan pemilihan umum adalah
sesuatu yang tidak dikenal.
Kepala
negara adalah seorang raja yang dipilih oleh dan dari 'keluarga besar Saudi.
Dalam jabatannya sebagai seorang raja, diajuga merupakan kepala keluarga besar
Saudi yang terdiri dari ribuan pangeran, yang paling dituakan di antara
kepala-kepala suku atau qabilah yang terdapat dalam wilayah kerajaan,
pemuka para ulama yang merupakan penasehat-penasehatnya dalam urusan agama dan
yang terakhir sebagai pelayan dari dua tanah suci, Makkah dan Madinah. Raja,
dengan dibantu oleh dewan menteri mengawasi lembaga-lembaga eksekutif,
legislatif, dan yudikatif. Arab Saudi tidak memiliki dewan perwakilan
rakyatyang dipilih oleh rakyat danjuga tidak memiliki partai politik. Majelis
syura ygng anggotanya dipilih dan diangkat oleh raja adalah yang
berfungsi seperti dewan perwakilan rakyat dan partai politik sekaligus. Dengan
demikian, Arab Saudi tidak memberlakukan partai politik dan tidak mengenal
pemilihan umum sebagaimana di negara-negara lain.
Hubungan
agama dan negara di Arab Saudi dapat dikatakan sebagai hubungan yang
integralistik karena menjadikan Islam sebagai agama resmi negara sekaligus
sebagai sistem politik, hukum, ekonomi, dan budaya. Negara ini meyakini Islam
sebagai agama yang memiliki sistem politik, ekonomi, hukum sekaligus budaya
yang menjadi kewajiban untuk menerpakannya. Sesungguhnya pemahaman keagamaan
dengan model yang diterapkan oleh Arab Saudi ini tidak dapat dilepaskan dari
paham wahabiyah di wilayah ini.
2. Pakistan
Pakistan
yang didirikan pada tahun 1947 dan menetapkan konstitusi pertamanya pada tahun
1956 sebagai Republik Islam. Pemerintah militer dan sipil, partai-partai
politik keagamaan dan sekuler, serta gerakan-gerakan dengan berbagai agenda dan
kepentingan yang saling bersaing telah mengaitkan diri dengan Islam untuk
memperkuat legitimasi mereka mendukung berebagai kepentingan politik, ekonomi,
dan golongan. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh John L. Esposito dan
John 0. Voll, dalam sejarahnya di Pakistan, Islam telah dimanfaatkan dengan
berbagai cara untuk melegitimasi baik pemerintah maupun gerakan oposisi dan
merasionalisasikan beragam pilihan, dari demokrasi hingga otoritarianisme
politik dan agama. Sejak kelahirannya, negara ini selalu diwarnai oleh
pergolakan politik dan perselisihan tentang islam yang memang selalu menjadi
isu yang hangat dan aktual.
Menurut
Undang-undang dasar negara ini pada pasal 198 tahun 1956 memerintahkan untuk
pembentukan dua lembaga. Dewan penasihat tentang Ideologi Islam dan Lembaga
Penelitian Islam, tugas lembaga yang pertama adalah; 1. Memberikan rekomendasai
kepada pemerintah mengenai cara-cara mendorong umat Islam untuk dapat mengikuti
pola hidup yang sesuai dengan ajaran Islam; 2. Memberikan nasihat kepada
pemerintah apakah suatu rancangan undang-undang bertentangan dengan Islam atau
tidak.
Sebagaimana
umumnya negara yang berbentuk republik, pimpinan eksekutiftertinggi dijabat
oleh presiden yang dipilih berdasarkan partai politik. Dewan perwakilan rakyat
juga dipilih melalui pemilu yang diadakan secara periodik yang diikuti oleh
banyak partai politik. Islam adalah agama mayoritas di negeri yang sekarang
dipimpin olehJenderal Musharraf ini.sekaligus sebagai agama negara. Sejak
pertama kali berdiri hingga saat ini, guncangan demi guncangan politik terus
terjadi yang mengggambarkan persaingan sengit antara kelompok Islam di satu
sisi dan kelompok sekuler atau sosialis di sisi yang lain.
3. Iran
Republik
Islam Iran saat ini adalah kelanjutan dari pemerintahan yang dihasilkan sebuah
revolusi Islam yang diistilahkan oleh John L. Esposito dan John 0. Voll sebagai
salah satu pemberontakan rakyat terbesar dalam sejarah manusia. Berawal dari
kekuasaan yang didominasi oleh Dinasti Pahlevi (1925-1979) dibawah
Reza Syah (1925-1941) dan putranya Mohammad Reza Syah (1941-1979), Iran
modern dibentuk. Iran di bawah kekuasaan Dinasti Pahlevi adalah
"kerajaan" suatu dinasti dan bukan republik, sebuah negara modern
yang kebijakan-kebijakanya dan tujuannya adalah memperkuat integrasi nasional
dan bukan partisipasi politik. Dengan kata lain, Iran di bawah Dinasti Pahlevi
adalah negara yang diperintahkan secara represif dan otoriter hingga akhirnya
muncul pemberontakan yang dimotori oleh Ayatullah Khomeini dengan semangat dan
janji untuk mewujudkan masyarakat yang lebih demokratis dan berkeadilan sosial
di bawah panji-panji Islam. Revolusi menjanjikan kebebasan dari kelaliman
pemerintahan otokrasi Syah.
Iran
paska revolusi adalah Iran yang mencoba membangun negara dengan agama sebagai
kekuatan utamanya. Ajaran Syiah yang dipeluk secara mayoritas bangsa Iran
kemudian menjadi identitas bangsa Iran dan sumber legitimasi politik yang
paling penting. Perubahan konstitusional dan institusional yang substantif
dilakukan melalui pemilihan umum. Referendum pada Maret 1979 mengubah
pemerintahan Iran dari Monarkhi menjadi republik Islam, majelis Ahli yang
didominasi oleh ulama dipilih untuk membuat rancangan konstitusi yang akan
disahkan melalui referendum rakyat. Hasilnya adalah pemerintahan Iran menggunakan
konsep wilayatui faqih atau pemerintahan oleh ahli hukum yang berarti memberikan
wewenang tertinggi kepada ulama dalam menjalankan dan mengarahkan pemerintahan
negara.
Meskipun
presiden dipilih secara langsung yang mewakili kedaulatan rakyat, Faqih
mewakili kedaulatan llahi dari hukum tuhan. Meskipun tidak dipilih secara langsung
oleh rakyat, faqih dipilih oleh majelis tinggi, yang anggota-anggotanya dipilih
secara langsung oleh rakyat. Dalam tugasnya, Faqih akan dibantu oleh
Dewan Pelindung beranggotakan dua belas ahli hukum Islam, enam dipilih Khomeini
dan lainnya dipilih oleh parlemen. Dewan ini bertugas mengawasi pemilihan
presiden dan parlemen (Majelis Permusyawarahan Nasional, atau majlis-i-syura),
menafsirkan konstitusi, dan memastikan kesesuaian antara setiap
perundang-undangan dengan hukum dan konstitusi Islam. Bahkan berdasarkan
konstitusi, dewan pelindung ini dibekali dengan hak veto atas produk
undang-undang dari parlemen yang dinilai tidak islami. Selain itu pula,
dibentuk Dewan Pengadilan Tertinggi yang didominasi oleh para rnujtahid
atau ahli hukum Islam.
Jadi,
Iran adalah sebuah negara yang berusaha menjadi agama sebagai faktor yang
integral dalam sebuah negara. Aga
ma
diyakini memiliki konsep dan sistem bernegara. Meskipun demikian, Iran adalah
contoh sebuah upaya penggabungan unsur-unsur teokrasi yang berbasis pada agama
(Syiah) di satu sisi dan unsur-unsur republik. Meskipun upaya pencampuran itu
tidak selamanya berlangsung damai dan normal, Iran dapat menjadi prototipe
dari hubungan agama dan negara dalam bentuknya yang paling ekiektis. Meskipun
formalisasi dan simbolisasi agama terjadi hampir di seluruh bentuknya, Iran
memberikan jaminan konstitusional terhadap minoritas (Majusi, Yahudi, dan
kristen) untuk menjalankan ritus-ritus keagamaan mereka dan menangani perkara
pribadi dan pendidikan mereka menurut kepercayaan masing-masing. Selain itu,
Iran juga memberikan ruang yang relatifterbuka kepada pers dan masyarakat untuk
berekspresi. pemerintahan Iran menggunakan konsep wilayatul faqih atau
pemerintahan oleh ahli hukum yang berarti memberikan wewenang tertinggi kepada
ulama dalam menjalankan dan mengarahkan pemerintahan Negara
4. Malaysia
Malaysia
adalah sebuah masyarakat multietnik dan multiagama tempat bangsa Melayu
merupakan 45% dari seluruh penduduknya, namun mempunyai kekuatan politik dan
budaya yang dominan. Sisanya terdiri dari berbagai kelompok etnik dan
keagamaan, dan yangterbesar adalah komunitas Cina (35%) dan India (10%). Islam
dan identitas nasional serta politik Melayu telah lama saling berkelindan,
seperti tercermin dalam keyakinan umum bahwa orang melayu mestilah Islam.
Malaysia
merupakan federasi negara-negara bagian, sebuah pemerintahan yang secara resmi
bersifat pluralistik dengan Islam sebagai agama resmi, dan kaum muslim Malaysia
menikmati kedudukan istimewanya. Meskipun partisipasi partai-partai Islam dalam
pemilihan umum dan kiprah mereka sebagai oposisi yang sah merupakan fenomena
yang relatif baru di kebanyakan negara muslim, selama bertahun-tahun
partai-partai politik itu telah bersaing dengan partai pemerintah UMNO,
juga bersaing satu sama lain, dalam proses politik. Berbeda dengan beberapa
sistem politik di Timur Tengah yang tidak mengizinkan partai-partai Islam dan
beberapa gerakan Islam kemudian melakukan perlawanan dengan tindak kekerasan,
dalam sistem Malaysia terdapat sebuah partai penguasa yang dominan yang
mengakui keberadaan dan partispiasi politik dari kelompok-kelompok Islam yang
berperan sebagai pihak oposisi nonsektarian.
Hubungan
antara agama (Islam) dan negara dengan watak yang lebih kompromistis-harmonis
secara baik ditunjukkan oleh Malaysia. Islam menjadi agama resmi dengan
menjadikan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum positifyang berlaku di
Malaysia.
Hubungan antara agama
(Islam) dan negara dengan watak yang lebih kompromistis-harmonis secara baik
ditunjukkan oleh Malaysia. Islam menjadi agama resmi dengan menjadikan hukum
Islam sebagai salah satu sumberhukum positifyang berlaku di Malaysia.
Hubungan Agama dan Negara di Eropa dan Amerika
Hubungan
agama dan negara di Amerika dan di Eropa adalah sebuah sejarah yang sangat
panjang dan menarik untuk disimak. Hubungan agama dan negara di Eropa dan
Amerika masing-masing memiliki sejarah dan pola hubungan yang berbeda dengan
ciri khasnya masing-masing.
Di
Eropa, pada abad pertengahan, Gereja memiliki peran yang sangat dominan dalam
politik. Gereja banyak terlibat dalam urusan bagaimana mengelola negara karena
antara agama dan politik menyatu pada otoritas yang tunggal, yakni Gereja.
Gereja Katolik pada waktu itu menjelma bukan saja menjadi agama yang mengajarkan
nilai ketuhanan dan moral melainkan juga sebagai sebuah institusi politik yang
memiliki banyak wewenang. Gereja katholik punya pasukan sendiri, punya polisi
moral dan polisi pidana, dan sebagainya persis sebagaimana sebuah negara.
Sejarah
kekuasaan Gereja ini berakhir akibat terjadinya penyelewengan-penyelewengan
yang menimbulkan banyak reaksi besar bahkan berdarah-darah. Muncul dan
berkembangnya gerakan renessaince bukan saja mengakhiri kekuasaan Gereja
atas agama dan politik, sekaligusjuga awal dimulainya babakbaru pemisahan
hubungan antara agama dan politik. Agama benar-benar dipisahkan secara ekstrim
dari politik sebagai akibat trauma masa lalu. Karena itu, isu yang kemudian
muncul dan berkembang di Eropa hingga saat ini adalah sekularisasi yang ekstrim
antara agama dan politik.
Saat
ini, negara-negara di Eropa menerapkan secara ketat apa yang disebut dengan
sekularisasi, yakni pemisahan secara tegas antara peran agama dan politik.
Praktek dan kewenangan politik sepenuhnya diserahkan kepada negara yang
sedangkan agama memiliki kewenangan hanya untuk mengurus Gereja, tidak lebih.
Dalam perkembangannya, sekularisme menjadi konsep yang diyakini sangat tepat,
bukan hanya dalam meredam konflik dan ketegangan antara kuasa agama dan negara,
tapijuga dalam memberikan landasan pada demokrasi dan persamaan hak.
Tidak
seperti di Eropa yang didominasi oleh sejarah Katolik, di Amerika lebih
didominasi oleh sejarah kristen protestan. Amerika dibangun dan dimulai dari
para pendatang yang pertama kali menginjakkan kaki ke benua itu yang terdiri
dari banyak kelompok denominasi agama khususnya Kristen. Agama Kristen
Protestan adalah agama yang sejak awal cukup dominan yang umumnya adalah
pelarian negara-negara di Eropa menerapkan secara ketat apa yang disebut dengan
sekularisasi, yakni pemisaban secara tegas antara peran agama dan politik.
Praktekdan kewenangan politik sepenuhnya diserahkan kepada negarayang sedangkan
agama memiliki kewenangan hanya untuk mengurus Gereja, tidak lebih dari eropa
yang dihegemoni oleh "Negara Katolik".
Sejak
awal di Amerika sudah menerapkan prinsip sekularisasi atau pemisahan otoritas
agama dan politik. Namun demikian, meskipun Amerika adalah negara sekuler atau
konstitusinya sekuler namun bukan berarti agama tidak memiliki peran. Agama
tetap menjadi faktor dalam banyak kehidupan bernegara. Jadi, Amerika memisahkan
hubungan antara agama dan politik baik secara struktural maupun organisasional.
Negara menyerahkan segala hal terkait dengan agama pada masyarakat sebagai
persoalan yang privat-individual. Sebaliknya, agama menyerahkan segala hal
terkait dengan politik dan kekuasaan yang mengelilinginya kepada pemerintah
yang dalam prosesnya dipilih secara langsung melalui pemilihan umum. Praktek
sekularisasi di Amerika ini berjalan secara konsisten hingga saat ini, sehingga
kita jarang mendengar adanya konflik antara agama dan negara karena berebut
pengaruh dan kewenangan.
Hubungan
Negara dan Agama: Pengalaman Islam Indonesia
Indonesia
dikenal sebagai negeri Muslim terbesar di dunia. Uniknya Indonesia bukanlah
sebuah negara Islam. Dari keunikan ini perdebatan pola hubungan Islam dan
negara di Indonesia merupakan perdebatan politik yang tak kunjung selesai.
Perdebatan soal pola hubungan Islam dan negara ini telah muncul dalam
perdebatan publik telah dimulai sebelum Indonesia merdeka. Perdebatan tentang
Islam dan nasionalisme Indonesia antara tokoh nasionalis Muslim dan nasionalis
sekuler pada 1920-an merupakan babak awal pergumulan Islam dan negara pada
kurun-kurun selanjutnya. Tulisan-tulisan tentang Islam dan watak nasionalisme
Indonesia menghiasi suarat kabar pergerakan nasional pada waktu itu, menanggapi
pandangan dan paham sekuler yang dilontarkan kalangan tokoh nasionalis sekuler.
Perdebatan Islam dan nasionalisme dan konsep negara sekuler diwakili
masing-masing oleh tokoh Muslim Mohammad Natsir dan Ir. Soekarno
dari kelompok nasionalis sekuler.
Perdebatan
Islam dan konsep-konsep ideologi sekuler menemukan titik klimaksnya pada
persidangan formal dalam sidang-sidang majelis Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) bentukan pemerintah Jepang pada 1945.
Perdebatan konstitusional tentang hubungan Islam dan negara kembali menghangat
di kalangan kelompok nasionalis Muslim dan nasionalis sekuler. Para tokoh
nasionalis Muslim seperti H. Agus Salim, KH. Mas Mansur, KH. Wachid Hasyim,
menyuarakan suara aspirasi Islam dengan mengajukan usul konsep negara Islam
dengan menjadikan Islam sebagai dasar negara bagi Indonesia merdeka. Usulan
menjadikan Islam sebagai konsep negara dari kelompok nasionalis Muslim
bersandar pada alasan sosiologis bangsa Indonesia yang mayoritas memeluk Islam
sebagai agama dan keyakinannnya.
Alasan
ini ditepis oleh kelangan nasionalis sekuler yang mengajukan konsep negara
sekuler. Menurut kaum nasionalis sekuler, kemajemukan Indonesia dan perasaan
senasib melawan penjajah mendasari alasan mereka menolak konsep negara agama
(Islam) yang diajukan oleh kalangan nasionalis muslim. Bagi mereka, Indonesia
yang majemuk baik agama, suku dan bahasa harus melandasi berdirinya negara
non-agama (sekuler). Pada kesempatan perhelatan konstitusional ini, Soekarno
merujuk pengalaman Turki modern di bawah Kemal Attaturk dengan konsep negara
sekulernya. Lebih lanjut Soekarno kembali menyuarakan konsepnya tentang lima
dasar negara Indonesia, yang kemudian dikenal dengan Pancasila.
Tentu saja paham
kebangsaan Pancasila tidak mudah diterima kelompok nasionalis muslim. Bagi
mereka, selain alasan mayoritas penduduk Indonesia memeluk Islam, Islam sebagai
agama ciptaan Allah yang bersifat universal dan lengkap harus dijadikan dasar
dalam tata kehidupan kenegaraan dan kebangsaan Indonesia. Akhir dari perdebatan
konstitusional BPUPKI menghasilkan kehawatiran bagi kelompok nasionalis di luar
muslim, khususnya dari nasionalis kristen dari kawasan Indonesia Timur.
Kehawatiran mereka diwujudkan melalui keinginan mereka mendirikan negara
sendiri dengan memisahkan diri dari konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).
Akhir
dari perdebatan di sidang BPUPKI berakhir dengan kesediaan kalangan nasionalis
muslim untuk memaksakan kehendak mereka menjadikan Islam sebagai dasar negara
Indonesia. Demi persatuan dan kesatuan serta terselenggarakannya kemerdekaan
bagi bangsa Indonesia dari cengkraman penjajah, mereka menerima konsep negara
yang diajukan kalangan nasionalis sekuler, dangan catatan negara menjamin
dijalankannya syari'at Islam bagi pemeluk Islam di Indonesia. Hasil dari
kompromi antara kelompok nasionalis muslim dengan nasionalis sekuler dikenal
dengan nama the gentlemen agreement yang tertuang dalam Piagam Jakarta (Jakarta
Charter) yang menyebutkan bahwa Negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.
Setelah merdeka
hubungan Islam dan negara dibawah kepemimpinan Presiden Soekarno kembali
mengalami ketegangan. Sebagai negara yang baru merdeka Indonesia masih
menghadapi rongrongan baik dari pihak penjajah yang hendak kembali
mencengkramkan kekuasaannya maupun ancaman disintegrasi dari dalam negeri yang
merasa tidak puas dengan kebijakan pemerintah nasional dibawah Presiden
Soekarno (1945-1950). Pada kurun antara 1950-1959, ketika Indonesia menjalankan
prinsip demokrasi parlementer, ketegangan Islam dan kelompok nasionalis sekuler
kembali terulang dalam bentuk perseteruan sengit antara kelompok partai politik
Islam, seperti partai Masyumi dan partai NU, dengan partai politik sekuler:
Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Nasionalis Indonesia (PNI dan
sebagainya). Perseteruan ideologis Islam versus ideologi sekuler kembali terjadi
dalam persidangan Konstituante hasil pemilu demokratis yang pertama pada 1955.
Pemilu
yang dinilai banyak ahli sebagai pemilu paling demokratis dalam sejarah politik
nasional Indonesia ternyata tidak menjamin terselenggarakannya proses pembuatan
konstitusi dengan baik. Sekalipun Majelis Konstituante hampir rampung
menyelesaikan tugas-tugas konstitusionalnya, ketidak stabilan politik dan
ancaman disintegrasi dianggap oleh Presiden Soekarno sebagai dampak langsung
dari Demokrasi Parlementer yang diadopsi dari Barat. Menurut Soekarno,
demokrasi ala Barat tidak sesuai dengan ikiim politik Indonesia. Perseteruan
sengit antara partai-partai politik harus diahiri dengan memberlakukan kembali
UUD 1945 di bawah sistem Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy) melalui
dekritpresiden 5Juli 1959. Sejak saat itu Presiden Soekarno memiliki kekuasaan
yang tak terbatas bahkan dinobatkan sebagai Presiden seumur hidup.
Untuk
menjalankan kepemimpinannya Presiden Soekarno menjalankan prinsip fusi politik
ciptaannya, Nasakom (nasionalis, agama, komunis). Nasakom terdiri atas tiga
komponen penting dari hasil pemilu 1955: PNI, Islam (diwakili NU) dan PKI.
Keberadaan PK1 sangat penting bagi pemerintahan Soekarno karena perolehan
suaranya yang sangat signifikan dalam Pemilu. Model kepemimpinan "tiga
kaki" presiden Soekarno ini menimbulkan kecemburuan politik dikalangan
kelompok militer dibawahjenderal AH. Nasution. Perseteruan politik dan ideologi
antara TNI (Tentara Nasional Indonesia) dengan PK1 berdampak pada pesekutuan
politik antara kelompok Islam dengan militer untuk menghadapi PK1 yang tengah
dekat dengan Presiden Soekarno. Seperti perseteruan ideologi sebelumnya,
Ideologi sosialis komunis menjadi alasan utama kelompok Islam untuk berkoalisi
dengan TNI melawan paham komunis.
Sistem
Demokrasi Terpimpin ala Presiden Soekarno berakhir dengan peristiwa politik
yang tragis, Gerakan 30 September 1965. Cerakan makar ini menurut beberapa ahli
merupakan buah dari Perseteruan ideologis panjang antara PKI dengan TNI
Angkatan Darat, yang berujung pada pembunuhan sejumlah elit pimpinan TNI di
Lubang Buaya, Halim, Jakarta. Peristiwa ini sekaligus merupakan awal kejatuhan
politik Presiden Soekarno dan awal naiknya kiprah politik Presiden Soeharto.
Melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). panglima Kostrad (Komando
Strategis AD) Letnan Jenderal Soeharto kala itu memimpin pemulihan keamanan
nasional dengan melakukan penumpasan terhadap semua unsur komunis di Indonesia.
Dalam pemberantasan PKI peran ummat Islam tidak sedikit; bersama TNI ummat
Islam di sejumlah daerah terlibat pembunuhan anggota PKI dan simpatisannya.
Akhir masa pemulihan
keamanan berhasil menaikkan Panglima Kostrad Letnan Jenderal Soeharto ke tampuk
kepemimpian nasional yang disahkan oleh Sidang Umum MPRS (Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara) di bawah pimpinan Jenderal AH. Nasution pada tahun 1968.
Dengan slogan kembali ke Pancasila secara murni dan konsekuen, Presiden
Soeharto memulai kiprah kepemimpina nasionalnya dengan sebutan Orde Baru,
sebagai pengganti Orde Lama yang dianggap telah menyimpang dari Pancasila dan
UUD 1945.
Islam dan
Negara Orde Baru: Dari Antagonistik ke Akomodatif
Naiknya
Presiden Soeharto melahirkan babak baru hubungan Islam dan negara di
Indonesia. Menurut Imam Aziz, pola hubungan antara keduanya secara umum dapat
digolongkan ke dalam 2 (dua) pola: antagonistic dan akomodatif. Hubungan
antagonistikmerupakan sifat hubungan yang mencirikan adanya ketegangan
antara Islam dan negara Orde Baru; sedangkan atomodar/fmenunjukkan
kecenderungan saling membutuhkan antara kelompok Islam dan negara Orde Baru,
bahkan terdapat kesamaan untuk mengurangi konflik antara keduanya. Namun
demikian, sebelum mencapai pola akomodatif, menurut Abdul Aziz Thaba, telah
terjadi hubungan agama dan negara Orde Baru yang bersifat resiprokal-kritis,
yakni awal dimulainya penurunan ketegangan antara agama dan negara di
Indonesia.
Hubungan
antagonis antara negara Orde Baru dengan kelompok Islam dapat dilihat dari
kecurigaan yang berlebih dan pengekangan kekuatan Islam yang berlebihan yang
dilakukan Prediden Soeharto. Sikap serupa merupakan kelanjutan dari sikap
kalangan nasionalis sekuler terhadap kelompok Islam, khususnya di era
1950-an.
Sikap curiga dan
kehawatiran terhadap kekuatan Islam membawa implikasi terhadap keinginan negara
untuk berusaha menghalangi dan melakukan domestikasi (pendangkalan dan
penyempitan) gerak politik Islam, baik semasa Orde Lama maupun Orde Baru.
Sebagai hasil dari kebijakan semacam ini, bukan saja para pemimpin dan aktivis
politik Islam gagal untuk menjadikan Islam sebagai ideologi dan atau agama
negara (pada 1945 dan dekade 1950-an), tetapi mereka juga sering disebut
sebagai kelompok yang secara politik "minoritas" atau "outsider.
Lebih dari itu, bahkan politik Islam, menurut Bahtiar Effendy, sering dicurigai
oleh negara sebagai anti ideologi negara Pancasila.
Menurut
Effendy, akar antagonisme hubungan politik antara Islam dan negara tak
dapat dilepaskan dari konteks kecenderungan pemahaman keagamaan ummat Islam
yang berbeda. Kecendrungan menggunakan Islam sebagai symbol politik dikalangan
aktivis muslim di awal kekuasaan Orde Baru telah melahirkan kecurigaan dari
pihak penguasa yang berakibat pada peminggiran Islam dari arena politik
nasional. Kebijakan politik kontrol dan represif terhadap kekuatan politik
Islam mewarnai arah dan kecendrungan politik Orde Baru. Kecenderungan
pendekatan politik keamanan (security approaches) yang dilakukan Orde
Baru dapat ditengarai pada sejumlah peristiwa kekerasan negara atas kelompok
Islam di era 1980-an yang dianggap sebagai penentangAsasTunggal Pancasila
ciptaan Orde Baru. Kekerasan politik dan peminggiran Islam dari pentas politik
nasional yang dilakukan rejim Orde Baru atas kekuatan Islam melahirkan
kesimpulan dikalangan ahli akan sifat antagonistik hubungan Islam dan negara
Orde Baru. Sejak awal berdirinnya Orde Baru hingga awal 1980-an Islam dianggap
sebagai ancaman serius bagi keberlangsungan kekuasaan Orde Baru.
Pertengahan
1980-an merupakan awal perubahan pendulum hubungan Islam dan rezim Orde Baru.
Hal ini ditandai dengan lahirnya kebijakan-kebijakan politik Presiden Soeharto
yang dinilai positifbagi umat Islam. Menurut Effendi, kebijakan-kebijakan Orde
Baru memiliki dampak luas bagi perkembangan politik Islam selanjutnya baik
struktural maupun kultural.
Kecenderungan
akomodasi negara terhadap Islam juga—menurut Affan Gaffar— ditengarai dengan
adanya kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan dan keagamaan serta kondisi
dan kecenderungan akomodasionis umat Islam sendiri. Pemerintah mulai menyadari
akan potensi umat Islam sebagai kekuatan politik yang potensial. Sedangkan
menurut Thaba, sikap akomodatif negara terhadap Islam lebih disebabkan oleh
pemahaman negara terhadap perubahan sikap politik umat Islam terhadap kebijakan
negara, terutama dalam konteks pemberlakuan dan penerimaan asas tunggal
Pancasila. Perubahan sikap ummat Islam pada paruh kedua 1980-an, dari menentang
menjadi menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara bersinergi dengan sejumlah kebijakan Orde
Kekerasan politik dan peminggiran Islam daripentas politik nasional yang
dilakukan rejim Orde Baru atas kekuatan Islam melahirkan kesimpulan dikalangan
ahli akan sifat antagonistik hubungan Islam dan negara Orde Baru. Sejak awal
berdirinnya Orde Baru bingga awal 1980-an Islam dianggap sebagai ancaman serins
bagi keberlangsungan kekuasaan Orde Baru yang menguntungakan ummat Islam pada
masa selanjutnya.
Pengesahan RUU
Pendidikan Nasional, pengesahan RUU Peradilan Agama, Pembolehan pemakaian
jilbab bagi siswi muslim di sekolah umum, kemunculan organisasi Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), dan lahirnya Yayasan Amal Bakti Muslim
Pancasila yang langsung dipimpin oleh Presiden Soeharto merupakan indikator
adanya hubungan akomodatifyang dilakukan elit penguasa Orde Baru terhadap
Islam.
Perilaku santun dalam
berdemokrasi dapat diwujudkan melalui sikap menghindarkan diri dari tindakan
main hakim sendiri, lebih-lebih dengan mengatasnamakan agama, kelompok, maupun
partai politik tertentu.
Islam
dan Negara: Bersama Membangun Demokrasi dan Mencegah Disintegrasi Bangsa
Peran
agama, khususnya Islam, di Indonesia sangat strategis bagi proses transformasi
demokrasi saat ini. Pada saatyang sama Islam dapat berperan mencegah ancaman
disintegrasi bangsa sepanjang pemeluknya mampu bersikap inklusif dan toleran
terhadap kodrat kemajemukan Indonesia. Sebaliknya, jika ummat Islam bersikap
eksklusif dan cenderung memaksakan kehendak, dengan alasan mayoritas, tidak
mustahil kemayoritasan ummat Islam akan lebih berpotensi menjelma sebagai
ancaman disintegrasi daripada kekuatan integratif bangsa.
Hal senada berlaku
pula bagi negara. Negara memiliki potensi sebagai penopang proses demokrasi
yang telah menjelma sebagai tuntutan global dewasa ini. Namun di sisi lain,
negara pun berpotensi menjadi ancaman bagi proses demokrasi jika ia tampil
sebagai kekuatan represif dan mendominasi berbagai aspek kehidupan berbangsa
dan bernegara. Lahirnya kekuatan demokrasi yang diperankan oleh berbagai
komponen masyarakat madani di Indonesia, seperti LSM, ormas sosial keagamaan,
partai politik, mahasiswa, pers, asosiasi profesi dan sebagainya, harus
disikapi oleh negara secara demokratis dan terbuka sepanjang tidak mengancam
disintegrasi bangsa dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Untuk
mewujudkan pola hubungan yang dinamis antara agama dan negara di Indonesia,
kedua komponen Indonesia tersebut seyogyanya mengedepankan cara-cara dialogis
manakala terjadi perselisihan pandangan antara kelompok masyarakat sipil dengan
negara. Untuk menopang proses demokratisasi negara sebagai komponen penting di
dalamnya harus menyediakan fasilitas demokrasi seperti kebebasan pers,
kebebasan berorganisasi, kebebasan berbicara dan mengluarakan pendapat serta
peningkatan fasiltas umum maupun kawasan publik bebas (free public sphere)
untuk memfasilitasi beragam opini warga negara.
Pada
saat yang bersamaan, unsur-unsur masyarakat sipil di atas dituntut untuk
bertanggung jawab dalam menggunakan hak-hak kebebasannya secara santun dan
beradab. Perilaku santun dalam berdemokrasi dapatdiwujudkan melalui sikap
menghindarkan diri dari tindakan main hakim sendiri, lebih-lebih dengan
mengatasnamakan agama, kelompok. maupun partai politik tertentu, sekadar untuk
memaksakan kehendak-nya atas nama individu maupun kelompok lain. Searah dengan
tuntutan kedewasaan mengungkapkan pendapat di kalangan komunitas agama, peranan
pers dan kelompok intelektual (pelajar, mahasiswa, ormas dan orpol) dalam menyuarakan
pendapat publik secara santun, seimbang danjujur adalah mutlak dalam praktik
berdemokrasi.
Tindakan
main hakim sendiri sangatlah berlawanan dengan prinsip demokrasi yang lebih
mengedepankan cara-cara musyawarah atau menyerahkan segala sengketa hukum antarwarganegara
maupun antara warganegara dengan negara kepada lembaga hukum. Sikap mengancam
atau merusak fasilitas umum dalam mengeluarkan pendapat,
lebih-lebihmenggantikan peran penegak hukum atau melakukan tindakan teror
terhadap aparat hukum dalam upaya pencarian keadilan, sama sekali bertentangan
dengan semangat penegakan demokrasi dan keseimbangan hak dan kewajiban warga
negara.
Dengan
ungkapan lain, negara dan agama, melalui kekuatan masyarakat sipilnya, adalah
dua komponen utama dalam proses membangun demokrasi di Indonesia yang
berkeadaban. Membangun demokrasi adalah proses membangun kepercayaan (trust)
diantara sesama warga negara maupun antara warga negara dan negara. Demokrasi
yang dicita-citakan para pendiri bangsa Indonesia adalah tidak sekedar
kebebasan tanpa batas, tetapi kebebasan yang bertanggungjawab. Agama, seperti
diyakini oleh pemeluknya, banyak memberikan ajaran moral tentang tanggung jawab
individu dan social
Tidak ada komentar:
Posting Komentar