pak slamet |
Yang pertama adalah KANG MUSTA’IN, beliau adalah seorang ustadz makhroj di pondok saya. Perawakan beliau agak pendek dan bertubuh kurus. Suaranya lantang saat mencontohkan pengucapan huruf hijaiyyah yang benar, dari saking lantangnya urat urat leher beliau sampai terlihat jelas. Beliau adalah orang yang sangat ketat didalam masalah pengucapan makhroj huruf qur’an, bahkan super ketat. Saya adalah salah seorang korban dari keketatan beliau dalam hal ini. Selama enam tahun nyantri di pesantren nurul jadid saya diajarkan berbagai macam ilmu keislaman, salah satunya adalah ilmu tajwid dan makhorijul huruf. Selama kurang lebih tiga tahun lamanya saya mempelajari ilmu tajwid kepada para ustadz, baik itu dalam hal makhorijul huruf ataupun dalam masalah sifat dan ahkam al huruf. Tiga tahun pula lamanya saya mengajarkan apa yang saya dapatkan berupa ilmu tajwid tersebut kepada adik adik kelas saya di pesantren ini. Intinya, menurut pribadi, saya sudah tergolong fasih dalam hal membaca al qur’an. Saya beranggapan pengucapan saya sudah pas pada tempat keluarnya setiap huruf hijaiyyah al qur’an. Tapi anggapan itu runtuh saat saya mondok dikudus dan bertemu dengan beliau ustadz musta’in. saya sempat memberontak ketika setelah sekian waktu mengikuti kelas makhroj beliau, saya beranggapan makhroj yang beliau tekankan terlalu berlebihan. Karena menurut pendapat saya pengucapan huruf itu yang benar adalah pengucapan yang berbeda antara satu huruf dan huruf lainnya. Ini lain, sangat harus ditekan dan suara nyaring. Saya hampir pingsan ketika mengikuti kelas beliau, teriak teriak tak jelas layaknya orang gila tanjung selama satu jam membuat kerongkongan saya kering dan perut saya kosong mlompong. Hampir dua bulan lamanya al fatihah saya masih belum lulus juga. Entah apanya yang kurang dan yang belum tepat saya kurang tahu. Hal seperti inilah yang mengganggu proses hafalan saya, saya datang kesini hanya untuk mengahafal bukan untuk disiksa dengan makhroj yang berlebihan seperti ini. Saya rasa kudus sudah tertipu dengan hanya mementingkan cara baca ketimbang pada pemahaman dan pengamalan terhadap isi al qur’an. Pikiran semacam itu yang bersarang dibenak saya waktu itu. Hal seperti ini juga dirasakan oleh seluruh teman teman saya. Tapi, akhirnya saya tahu maksud dan tujuan beliau menerapkan metode keras seperti itu kepada kami saat saya sudah berhenti dan pulang kampung. Maaf ustadz, atas segara kegeraman dan sangkaan buruk saya kepada jenengan selama ini
Selanjutnya adalah PAK SLAMET.
Beliau adalah tokoh antagonis paling antagonis yang pernah saya temukan di kota kudus. Mengapa saya
berkata demikian?, Cerita berikut akan menjadi jawabannya. Semua santri damaran
pasti sangat kenal dengan nama slamet ini. Beliau adalah mantan preman kudus
yang sekarang dimanfaatkan untuk menjaga keamanan di masjid menara kudus.
Beliaulah yang mengunci gerbang gerbang masjid menara ketika larut malam.
Beberapa kasus kehilangan barang yang menimpa peziarah yang menjadi alasan
ta’mir masjid membutuhkan seseorang yang mampu menjaga yang mengontrol keamanan
masjid menara selama 24 jam. Pak slamet lah yang menjadi pilihannya.
Perawakannya tinggi besar, perutnya buncit, dan kumis tebal menghiasi daerah
sekitar mulutnya. Kulitnya hitam, bringas, mengingatkan saya kepada malaikat
maut. Pokoknya beliau adalah sosok antagonis yang paling menakutkan di kudus. Beliau
sering terlihat hanya ketika malam hari, setelah mengunci seluruh pintu gerbang
masjid menara, beliau pun akan memeriksa satu persatu peziarah atau siapa saja
yang menginap di masjid. Bagi siapa siapa yang belum laporan kepada pihak
ta’mir dengan menunjukkan surat ijin menginap atau tidak memiliki kartu tanda pengenal
bagi mereka yang tidak rombongan akan langsung diusir dan tidak diperbolehkan
tidur di masjid menara, dengan alasan keamanan peziarah tentunya.
Santri santri, khususnya santri
damaran adalah buronan langganan amukan pak slamet. Mengapa bisa demikian?
Karena teman teman termasuk saya biasa tidur di masjid menara ketika malam.
Dengan tujuan agar mereka bisa bangun malam dan langsung mentakrir hafalan
setelah subuh. Tapi, tidur di masjid menara kudus tidak semudah tidur di masjid
jami’ nurul jadid. Harus mempunyai kecerdasan dalam menghitung peluang dan
memiliki pengetahuan akan waktu, baru dia akan dapat tidur di masjid dengan
tentram tanpa ada gangguan dari monster slamet. Jam kontrol pak slamet biasany
antara jam 11-12 malam, setelah itu beliau akan berjaga di warung depan menara
atau pulang. Pada jam jam inilah teman teman terlebih dahulu memburamkan diri
dari pengawasan beliau, entah itu dengan keluyuran di sekitar menara, duduk di
warung lesehan, atau terlebih dahulu tidur di makam. Baru setelah jam 12
berdentang atau lewat, mereka dengan otomatis akan berkumpul di masjid menara
untuk tidur bersama. Akan tetapi, siasat ini tidak sepenuhnya berhasil, ada
kalanya pak slamet melakukan kontrol rutinnya lewat jam 12 malam, akibatnya
teman teman yang tidur di masjid dibuat kaget kala pak slamet menarik kencang
kencang sarungnya, dengan auman keras monster slamet menyuruh dan mengusir para
buronan tambeng ini agar tidur di pondok, sebab Beliau sangat hafal dengan
wajah wajah buronan damaran. Teman teman yang tidak sepenuhnya sadar (20%
sadar, 80% mamong) berjalan linglung mencari tempat persembunyian untuk
sementara waktu. Beberapa waktu kemudian mereka akan kembali ke masjid dan
meneruskan tidurnya yang sempat terusik oleh kehadiran monster slamet.
Hahahaha…..
Banyak kenangan yang terjadi di malam malam saya di kota ini, kenangan sedih, bahagia, unik dan lucu. Semuanya akan tersimpan dalam benak saya untuk kembali saya ingat ketika saya merindukan kota eksotis ini. Terima kasih semuanya…………….
KUDUS, 10012012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar