Sabtu, 20 Oktober 2012

Filsafat Ilmu [pendahuluan]


PENALARAN DAN HAKIKAT PENALARAN

Pembahasan pembahasan berikut masih merupakan pengantar sebelum beranjak pada pembahasan utama yang pertama yakni ontologi ilmu. Yakni, pembahasan tentang penalaran dan hakikatnya, logika, sumber sumber pengetahuan dan kriteria kriteria untuk pengetahuan tersebut bias dikatakan benar.
Penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir untuk menemukan sebuah pengetahuan dengan melalui cara cara yang logis dan analitis. manusia berpikir dengan menggunakan akalnya melalui rangkaian rangkaian metode berpikir untuk mengembangkan segala sesuatu yang ada disekitar mereka, dan rangkaian seperti inilah yang disebut penalaran. Sebuah pengetahuan yang tidak diperoleh dari proses menalar lebih disebut sebagai insting, seperti halnya hewan dan mahluk selain manusia. Karena memang, dengan pengetahuan itu hewan hewan hanya bertujuan untuk sebuah kelangsungan hidup saja, tidak lebih. Penalaran terkait erat dengan rasio manusia atau akal manusia, adapun pengetahuan yang didapat dengan tanpa melalui proses berpikir dengan akal dan rasio tidak disebut proses bernalar atau penalaran. Jadi, membahas “bernalar” berarti kita membahas seputar akal, rasio manusia saja.
Telah disebutkan diatas, hakikat dari sebuah proses bernalar adalah berpikir dengan rangkaian alur berpikir melalui cara cara yang logis dan analitis. Logis dalam artian, berpikir atau bernalar melalui sebuah pola berpikir tertentu (logika tertentu) sesuai logika yang ada. Atau lebih gampangnya kita sebut “masuk akal”. Jadi, hal hal yang tidak sesuai dengan akal manusia, seperti hal hal yang ghaib tidak dapat disebut sebuah proses bernalar.
Hakikat yang kedua dari sebuah proses bernalar adalah analitis yakni bersifat perhitungan atau penguraian. Jadi, bernalar adalah suatu proses atau kegiatan berpikir yang harus melalui penguraian penguraian atau perhitungan perhitungan terlebih dahulu dari sebuah masalah yang dipikirkan, sebelum memutuskan apakah hasil dari penalaran tersebut merupakan sebuah pengetahuan. Bukanlah sebuah proses bernalar yang analitik, apabila pengetahuan itu didapat dengan tanpa mengurai terlebih dahulu permasalah yang ada atau didapat secara spontanitas.  dalam tata bahasa arab, spontanitas seperti ini disebut “dzauq”.
Dua sifat bernalar diatas bukanlah merupakan dua hal yang berbeda atau memiliki ranahnya tersendiri. Dua hal tersebut berkaitan erat dan harus selaras dalam sebuah kegiatan berpikir yang dinamakan logika. Karena pada hakikatnya menurut jujun s. Sumantri, sebuah analisa mustahil akan terjadi tanpa kita mengikuti sebuah pola berpikir tertentu atau logika tertentu.


LOGIKA

Diatas beberapa kali disebut kata logis atau logika. Sebenarnya apakah logika tersebut ?, seperti yang dikatakan tadi, bernalar adalah suatu proses berpikir untuk menghasilkan sebuah pengetahuan. Pengetahuan yang kita hasilkan tersebut akan disebut benar manakal proses bernalar yang kita lakukan melalui cara cara atau alur tertentu. Proses penarikan kesimpulan dengan cara cara tertentu itulah yang disebut logika. Dalam proses penarikan kesimpulan dari sebuah kegiatan bernalar, terdapat dua metode yang dapat dilakukan. Pertama adalah logika induktif dan kedua adalah logika deduktif.
Logika induktif adalah metode penarikan kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual. Artinya, kita sendiri melakukan pengkajian terhadap suatu kasus, yang nantinya hasil dari kajian itu akan membuahkan sebuah kesimpulan atau pengetahuan yang tidak hanya teruntukkan bagi kita sendiri sebagai orang yang mengkaji, tapi juga untuk khalayak umum. Seperti contoh yang telah disebutkan dalam buku. Ada dua manfaat dari penggunaan metode induktif ini. Pertama adalah bersifat ekonomis, artinya, dari beraneka ragam bentuk kehidupan di dunia ini dapat disimpulkan dengan sebuah bentuk pernyataan logis. Kedua adalah, adanya kemungkinan proses penalaran lanjutan yang akan dilakukan dari pernyataan yang pertama ini, baik itu bernalar melaui metode induktif atupun deduktif.
Logika deduktif adalah sebuah metode penarikan kesimpulan yang bersifat khusus dari berbagai kasus atau pernyataan yang bersifat umum. Penarikan kesimpulan secara deduktif ini biasanya mempergunakan sebuah pola yang dinamakan silogisme. Silogisme disusun dari dua pernyataan yakni sebuah premis mayor dan sebuah premis minor serta diakhiri dengan sebuah kesimpulan. Contohnya : A sama dengan B (premis mayor), B sama dengan C (premis minor), jadi A sama dengan C (kesimpulan). Pertanyaannya, apakah semua kesimpulan yang disimpulkan dari kedua premis dapat sikatakan benar secara pasti ?, jawabannya adalah tidak. Di buku dijelaskan bahwa kebenaran kedua premis tidak memastikan sebuah kesimpulan yang benar. Mungkin saja kesimpulan itu salah, sekiranya cara penarikan kesimpulannya adalah tidak sah.

SUMBER PENGETAHUAN
Ditinjau dari cara cara kita menarik kesimpulan dari proses bernalar untuk mendapatkan sebuah pengetahuan, maka sumber pengetahuan dapat dibagi menjadi dua, yakni melalui rasio atau akal dan kedua adalah melalui pengalaman. Rasio atau akal sebagai sumber pengetahuan lebih menekankan kepada metode logika deduktif dalam penyimpulan proses bernalar. Atau dengan kata lain, logika deduktif = rasionalisme. Sedangkan pengalaman sebagai sumber pengetahuan lebih menekankan kepada metode logika induktif dalam penyimpulan proses bernalar. Atau dengan kata lain, logika induktif = empirisme.
Kaum rasionalis dengan pahamnya rasionalisme mengatakan bahwa pengetahuan bersumber dari akal, bukan pengalaman. Didalam proses penalarannya, mereka menggunakan premis premis yang dihasilkan ole hide ide mereka sendiri yang mereka anggap benar dan jelas. Mereka menyakini bahwa ide ide ini ada sebelum pikiran manusia sendiri diciptakan, paham ini kita kenal dengan nama idealisme. Mereka juga menyakini bahwa manusia dengan akalnya hanya diberi tugas untuk mengetahui atau mengeluarkan ide ide tersebut dengan kemampuan bernalarnya. Jadi, ide bagi mereka adalah sumber pengetahuan yang prapengalaman yang didapat manusia melalui proses bernalar, bukan pengalaman.
Tapi, dengan menyakini hal itu, jujun mengatakan bahwa terdapat masalah pada cara berpikir yang seperti itu. Ini disebabkan oleh perbedaan ide yang dimiliki seseorang dengan seseorang lainnya. Mungkin menurut si A ide tentang tempe (umpamanya) jelas dan dapat dipercaya, tapi menurut si B ide itu tidak jelas dan tidak dapat dipercaya, sebab si B melakukan sebuah penalaran lain yang berbeda dengan si A, dengan menggunakan ide yang menurut dia jelas dan dapat dipercaya. Oleh karena itu, dalam satu objek penalaran akan banyak didapatkan pengetahuan pengetahuan yang berbeda. Dalam hal ini menurut jujun, pemikiran rasioanal cenderung untuk bersifat subjektif dan solipsistik (ke-aku-an atau individual).
Bagaimana dengan kaum empiris ?, mereka mengatakan bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman yang bersifat konkret, bukan didapat dari penalaran logika yang bersifat abstrak. Pengalaman yang dikatakan kaum empiris lebih menekankan kepada pengalaman indera manusia. Seperti melihat, mencium, mendengar dan lainnya. Metode yang dipakai kaum empiris adalah metode induktif, kebalikan dari metode yang dipakai oleh rasionalis. Terdapat beberapa kharakteristik dalam penalaran kaum empiriss ini, yaitu pertama, mengamati keteraturan pola yang terjadi pada objek tertentu. Contohnya : setiap mendung akan diikuti oleh turunnya hujan, awal bulan akan diikuti oleh turunnya gaji, dll. Yang kedua, adanya kesamaan dan pengulangan pengulangan tentang apa yang terjadi pada objek tersebut. Contohnya : setiap logam yang dipanaskan pasti akan memanjang.
Tetapi sekali lagi, jujun mengemukakan tentang masalah masalah atau celah celah yang terdapat dalam metode berpikir seperti ini. Masalah utama yang disebutkan oleh jujun tentang cara berpikir empiris yakni hasil yang diperoleh cenderung merupakan kumpulan fakta fakta tentang objek yang dikaji, daripada sebuah pengetahuan tentang objek tersebut. Ini mengindikasikan bahwa pengetahuan yang didapat dari proses bernalar seperti ini tidaklah bersifat tetap atau konsisten, masih ada ruang untuk timbulnya kontradiksi kontradiksi dari proses bernalar yang dipakai.
Disisi lain, dari anggapan kaum empiris perihal bahwasanya dunia fisik ini adalah sesuatu yang nyata karena tertangkap oleh indera, jujun mengemukakan lagi dua masalah. Masalah yang pertama adalah hubungan antara satu fakta dengan fakta yang lainnya tidaklah senyata apa yang dianggapkan. Perlu adanya kerangka pemikiran untuk dapat mengetahui hubungan yang terjalin diantara dua fata atau obje tersebut. Contohnya : hubungan antara intelegensi manusia dengan rambut keriting. Sekilas, andaikan kita hanya bertumpu pada pengalaman indera saja, kita tidak akan menemukan hubungan logis antara dua fakta diatas.
Masalah kedua adalah tentang hakikat pengalaman dan panca indera sebagai alatnya dalam menemukan sebuah pengetahuan. Karena, bagaimanapun juga indera manusia mempunyai batasan batasan yang dengan batasan itu indera tidak dapat menjangkau semua fakta untuk disimpulkan menjadi sebuah pengetahuan. Contohnya : pensil yang diletakkan didalam air akan terlihat bengkok. Kalau kita menyimpulkan bahwasanya setiap benda padat yang dimasukkan kedalam air akan bengkok, kesimpulan tersebut akan salah. Itulah batas batas indera yang dipermasalahkna jujun dalam proses mendapatkan pengetahuan ala empiris ini.
Disamping dua hal tersebut, empirisme dan rasionalisme, masih terdapat sumber sumber yang dapat memberikan pengetahuan kepada manusia. Yaitu intuisi dan wahyu. Tapi, keduanya tidak dapat diandalan untuk menjadi semacam tumpuan dalam proses menmperoleh pengetahuan yang benar. Disamping kedua hal tersebut lebih kepada bersifat individual, kedua hal tersebut juga bersifat ghaib atau tidak konkret.


KRITERIA KEBENARAN

Disini akan dibahas seperti apakah kriteria kebenaran yang dapat diterima dan dapat dikatakan kebenaran tentunya.
terdapat beberapa teori yang akan mengantarkan kita kepada pengetahuan tentang nilai nilai kebenaran suatu penalaran. Dalam buku disebutkan tiga teori tentang criteria kebenaran. Pertama adalah teori koherensi, yang kedua adalah teori korespondensi dan yang terakhir adalah teori pragmatis. Terkait dengan metode penalaran atau logika yang telah dibahas sebelumnya yakni deduktif dan induktif, teori koherensi cenderung kepada logika deduktif, sedangkan teori pragmatis cenderung kepada logika induktif.
Suatu pernyataan dapat dikatakan benar menurut teori koherensi, apabila pernyataan tersebut sesuai atau selaras dengan pernyataan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Suatu pernyataan tidak bisa dikatakan benar bila pernyataan itu bertentangan atau tidak koheren dengan pernyataan pernyataan sebelumnya yang telah dianggap benar. Teori ini adalah teori yang menjadi landasan bagi matematika.
Yang kedua adalah teori korespondensi (teori berhubungan). Artinya, suatu pernyataan dapat dikatakan benar bila pernyataan itu sesuai atau berhubungan dengan fakta yang terjadi di lapangan. Misalnya : UIN Syarif Hidayatullah berada di Ciputat. Pernyataan tersebut benar karena memang uin syarif hidayatullah terletak atau berada di daerah Ciputat. Merupakan suatu pernyataan yang salah, apabila dikatakan bahwa UIN Syarif Hidayatullah terletak di Bondowoso.
Dan teori yang terakhir adalah teori pragmatis yang  berlandaskan kepada logika induktif sebagaimana yang telah dikatakan diatas. Teori ini mengatakan bahwa pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang bersifat fungsional. Dalam artian, pengetahuan tersebut akan mendampakkan sebuah manfaat yang jelas bagi kehidupan manusia. Dikatakan berlandaskan logika induktif, karena memang teori ini melakukan sebuah proses pembuktian kebenaran dengan mengumpulkan fakta fakta yang akan mendukung kepada satu pernyataan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar