Selasa, 06 Agustus 2013

RASIO DAN RASIONALITAS; Perbincangan Seputar Pengertian, Pergeseran Makna, Dasar Perumusan dan Kritik Terhadap Keduanya



Pendahuluan
Rasionalitas manusia merupakan unsur pertama yang menyusun kesadaran selain kehendak bebas. Dengan rasionalitas inilah manusia nantinya dapat mengetahui dan memahami realitas yang terjadi di sekitarnya. Dengan rasionalitas juga manusia mulai menginjakkan satu kakinya di tanah kesadaran. Akan tetapi, butuh kehendak bebas untuk menjadikan kesadaran tersebut utuh, dan itu akan dibahas nanti pada bab 3. Jadi, ada dua poin penting dalam membahas kesadaran manusia : (1) rasionalitas manusia yang berfungsi untuk memahami, (2) kehendak bebas manusia yang berfungsi untuk melihat dari berbagai sudut pandang.  
      Sebelum benar-benar masuk dan mengulas epistemology para filosof dalam merumuskan konsep rasionalitas tersebut, ada baiknya mengetahui terlebih dahulu istilah rasio dan rasionalitas. Apa perbedaan makna yang dikandung keduanya?, bagaimana peran keduanya dalam proses berpikir atau kesadaran manusia?, dan pergeseran makna yang terjadi diantara keduanya.
             Penelusuran akan kembali dilakukan untuk meniti jejak pemikiran para filosof mengenai pemahaman rasonalitas tersebut. Mulai dari pengertian rasionalitas dari Plato dan Aristoteles, rasionalitas para filosf abad pertengahan, rasionalitas menurut rasionalisme Descartes, Leibniz dan Spinoza, rasionalitas menurut pandangan Kant dan Hegel, rasionalitas dari Max Weber yang diturunkan kepada Bacon, rasionalitas menurut para filosof analitik dan diakhiri dengan pengertian rasionalitas menurut Jurgen Habermas.

Penelusuran Dimulai…
Dalam tradisi filsafat tradisional yang diprakarsai oleh Aristoteles dan Plato, Rasio menjadi wilayah yang lebih tinggi daripada rasionalitas. Artinya dalam proses berpikir manusia, rasio menjadi landasan yang paling dasar dibandingkan rasionalitas. Seperti yang diungkapkan Aristoteles “rasio adalah bagian dari jiwa manusia yang memiliki kapasitas untuk memahami dan mengatur diri sendiri”.
               Dalam perjalanan sejarah filsafat, rasio dan rasionalitas memang dibedakan sesuai dengan peran yang diemban oleh masing-masing keduanya dalam proses berpikir manusia. Didalam tradisi Yunani dikenal istilah nous dan logos. Dalam bahasa latin ditemukan istilah intellectus dan ratio. Dalam tradisi Jerman dikenal dengan istilah vernunt dan verstand. Dan dalam tradisi Inggris dikenal dengan nama reason dan rationality. Istilah yang pertama (nous, intellectus, vernunt dan reason) adalah nama lain dari rasio dan dianggap sebagai wilayah yang lebih tinggi daripada istilah yang kedua (logos, ratio, verstand dan rationality). Mengapa keduanya harus dibedakan ?
             Di dalam alam berpikir manusia atau alam sadar manusia, segala aktifitas yang berkaitan dengan berpikir filosofis dan keilmuan semuanya didapat melalui logos atau rasionalitas. Inti dari rasionalitas adalah argumen-argumen bagi pandangan atau pemikiran yang telah dihasilkan. Oleh karena itu, rasionalitas oleh para filosof terutama Plato dan Aristoteles dipahami sebagai “sebuah kapasitas yang memiliki kemampuan membuat suatu putusan, sekaligus mengandung alasan-alasan atau dasar-dasar argumentasi bagi putusan yang telah dibuat”.
     Silogisme Aritoteles dalam “logika”nya adalah perwujudan dari apa yang dia pahami dari peran rasionalitas ini. Seperti yang dikatakan tadi rasionalitas berisi masalah argumen atau alasan-alasan yang menjadi dasar bagi putusan yang dihasilkan, silogisme itulah yang menjadi argumen dan alasannya. Jadi dalam filsafat Aristoteles, premis-premis yang menjadi kerangka dalam silogisme adalah bentuk argumen yang menopang kebenaran putusan yang dihasilkan.
          Akan tetapi masalahnya adalah premis-premis disini masih memiliki kelemahan untuk menjadi semacam dasar bagi pengetahuan manusia. sebuah pernyataan dikatakan benar tentu jika didapat dari premis-premis yang benar pula. Apabila dalam silogisme yang disusun adalah premis-premis yang salah, maka pernyataan yang dihasilkan pun dengan otomatis dikatakan salah juga. Tentu akan menjadi masalah jika silogisme yang ditawarkan Aristoteles menjadi pijakan dasar dalam pengetahuan manusia. karena untuk menilai mana premis yang benar dan mana premis yang salah, rasionalitas belum memiliki landasan atau konsep yang jelas. lalu bagaimana jalan keluarnya ?
             Jalan keluarnya adalah dengan memberikan landasan dan pijakan dasar bagi premis-premis tersebut. Karena seperti tadi yang telah dikatakan, silogisme yang merupakan perwujudan dari rasonalitas bukanlah alasan yang tepat untuk menjadi pondasi dasar bagi pengetahuan manusia. logikanya jika rasionalitas atau silogisme bukanlah sesuatu yang menjadi dasar, tentu ada satu hal yang menjadi dasar atau pijakan bagi silogisme itu sendiri. Dan Aristoteles paham akan hal tersebut.
    Oleh karena itu dia dan gurunya sepakat untuk meletakkan rasio atau nous sebagai dasar yang paling fondasional bagi pengetahuan manusia. rasio inilah yang nantinya akan memberikan pijakan dasar bagi rasionalitas atau dalam istilah bagus takwin memberikan semacam prinsip awal bagi rasionalitas. Walaupun keduanya sepakat bahwa rasio merupakan sesuatu yang lebih fondasional daripada rasionalitas, Plato dan Aristoteles berselisih pendapat paham tentang bentuk rasio tersebut. Plato berpendapat bahwa rasio dapat dibedakan dengan fakulas pikiran lainnya hanya dengan “intuisi”. Sedangkan Aristoteles lebih percaya bahwa rasio itu haruslah berupa pengamatan induktif. Jadi dapat dibedakan bagaimana kerja pikiran manusia dalam perspektif dua filosof besar ini.
                Plato dengan teori idea-nya tentu lebih yakin bahwa intuisilah yang menjadi rasio manusia. karena memang dalam pandangannya, apa yang hakiki adalah apa yang ada di dalam ide manusia, bukan apa yang dipersepsikan oleh indera manusia. Dengan intuisi inilah manusia dapat membentuk atau menyusun premis-premis yang benar, atau dengan kata lain premis dalam pandangan Plato dapat dikatakan benar jika ia dihasilkan dari intuisi. Dengan didapatnya premis-premis yang benar, maka pernyataan yang dihasilkan dari premis itu bernilai benar juga. Jadi jelas dalam pandangan Plato bahwa rasio manusia = intuisi manusia/ide manusia.
               Lain halnya dengan Plato, Aristoteles lebih memberikan porsi dalam filsafatnya kepada alam nyata di dunia ini. Akan tetapi, tetap memegang prinsip yang ditelurkan oleh sang guru. Di sinilah baru saya pahami maksud filsafat Aristoteles yang percaya bahwasanya alam ini adalah sumber pengetahuan, disamping juga ia tetap memegang teguh keyakinan bahwa pengetahuan yang benar atau hakiki hanya bisa diperoleh melalui pikiran manusia atau idea (dalam istilah Plato). seperti yang dikatakan diatas, Aristoteles berpendapat bahwa rasio manusia haruslah berupa pengamatan induktif.
     Jadi sebelum melakukan proses rasionalitasnya, manusia dituntut terlebih dahulu untuk melakukan pengamatan inderawi atau persepsi terhadap alam sekitarnya. Dengan pengamatan itulah nantinya premis-premis dalam silogime akan didapat lalu disusun. Dan dengan begitu pula, sebuah pernyataan yang benar akan diperoleh dengan sendirinya. Pemikiran Plato dan Aristoteles adalah perbincangan awal seputar rasio dan rasionalitas menusia khususnya dalam tradisi filsafat tradisional.
           Selanjutnya datang seorang filosof bernama Francis Bacon. Dia menambahkan dan mengkritik pemikiran Aristoteles tentang rasio dan rasionalitas. Dia menegaskan bahwasanya bukan hanya rasio saja yang harusnya dibentuk melalui pengamatan induktif. Rasionalitas pun harus dibentuk dari pengamatan induktif juga, bukan dari premis-premis silogisme yang dibentuk Aristoteles. Dengan begitu, pernyataan yang dihasilkan akan mengandung kebenaran yang lebih kuat. Dari sinilah makna dan pendefinisian rasio dan rasionalitas mulai mengalami pergeseran.
             Lalu datang Immanuel Kant, salah seorang filosof madzhab kritis merombak besar-besaran terhadap pengertian rasio dan rasionalitas yang telah disusun oleh filosof tradisional. Dalam istilah k
Kant rasio disebut vernunt dan rasionalitas disebut verstand. Menurut Kant, bukanlah vernunt yang menjadi dasar dan memberikan prinsip awal bagi verstand, akan tetapi sebaliknya. Verstand-lah yang menjadi dasar dan memberikan prinsip awal bagi vernunt. Dengan begitu dapat dipahami bahwasanya kant mendudukkan rasionalitas sebagai dasar atau landasan yang lebih tinggi daripada rasio.
   Sejauh yang saya pahami, ini disebabkan oleh sikapnya yang memberikan porsi seimbang bagi rasionalisme dan empirisme dalam pemikiran filsafatnya. Sebagaimana yang telah diketahui, Kant percaya bahwa manusia hanya dapat mengetahui hal-hal yang fenomena atau dapat dipersepsi. Sedangkan hal-hal yang hakikat atau nomena, mustahil diketahui oleh manusia. Hal ini berdampak pada pemahamannya terhadap rasio dan rasionalitas. Mengapa ia dudukkan rasionalitas sebagai fakultas yang lebih tinggi daripada rasio?, Tak lain adalah karena kepercayaan Kant akan kemampuan manusia mengetahui hal-hal yang fenomena. Dia ingin menekan kepercayaan rasionalisme (Plato dan Aristoteles) yang terlalu berlebihan dalam mendefinisikan peran ide, dengan mendudukkan rasio yang oleh para tokoh filosof diatas diletakkan pada tempat yang tertinggi, di tempat yang lebih rendah dibawah rasionalisme.
   Menurut Kant, rasio hanyalah berperan sebagai penghias bagi ide-ide yang dihasilkan oleh rasionlaitas. Rasionalitaslah yang menjadi dasar, pemberi prinsip awal, dan bahkan rasionalitaslah yang membentuk pikiran manusia. Pada pemikiran Kant inilah lengkap sudah kisah pergeseran makna yang dilalui oleh rasio dan rasionalitas. Dari sini lalu muncul berbagai pandangan yang terkesan mengabaikan rasio. Seperti Feyerabend yang mengatakan “farewell to reason”. Bahkan filosof posmodernisme seperti Wittgenstein, lebih jauh lagi menolak secara total keberadaan rasio manusia.
               Lalu apa yang ditawarkan para filosof posmodernisme terhadap pendefinisian dan pengkategorian dari rasionalitas setelah ucapan selamat tinggal mereka pada rasio?. Dari pemikiran tokoh posmodernisme seperti Jean Francois Lyotard dapat dipahami bahwasanya para filosof posmodernisme percaya akan adanya rasionalitas yang plural atau pluralitas paradigma. Dan seperti yang telah dibahas pada tulisan sebelumnya, bahwa dalam pluralitas paradigma Lyotard meniscayakan adanya kebebasan dalam keberagaman tersebut.
   Artinya dia bermaksud membiarkan masyarakat atau manusia berada dalam keberagaman rasionalitas tersebut. Karena seperti yang diyakininya, pada setiap rasionalitas atau paradigma yang muncul tersebut selalu mengandung nilai kebenaran walaupun hanya berupa potongan-potongan kecil saja. Dan karena manusia adalah tipe masyarakat yang plural, berbagai paradigma atau rasionalitas yang muncul tersebut tidak bisa begitu saja direduksi antara satu dengan lainnya, tidak bisa diakumulasi menjadi satu rasionalitas dan satu paradigma, karena setiap paradigma yang muncul memiliki prinsip dan konsepnya sendiri. Dengan begitu, biarlah rasionalitas menari-nari dalam keberagaman tersebut.
               Habermas sebagai tandingan Lyotard dalam tulisan sebelumnya juga menyakini adanya pluralitas paradigma atau rasionalitas. Akan tetapi, berbeda dengan filosof posmodernisme yang mengemukakan jenis-jenis yang jauh lebih banyak atau mungkin tak terhingga dari rasionalitas, ke-plural-an rasionalitas ini oleh Habermas hanya dikategorikan menjadi tiga macam: (1) rasionalitas kognitif, (2) rasionalitas moral, (3) rasionalitas estetika. Ketiga jenis ini juga dipahami oleh Habermas sebagai konsep yang memiliki cara pandang yang otonom didasari oleh prinsip-prinsip dan metodenya sendiri.
              
Kesimpulan
Dari penelusuran yang telan dilakukan diatas dapat ditangkap beberapa point penting mengenai perbincangan rasio rasionalitas dikalangan para filosof, baik dari pemahamannya, pergeseran makna yang terjadi, kritik-kritik yang mewarnai serta dasar-dasar perumusannya. Pertama, bahwa perbincangan masalah rasio dan rasionalitas sudah ada sejak periode filsafat tradisional yang dimotori oleh Plato dan Aristoteles. Mereka menempatkan rasio sebagai dasar atau konsep yang lebih tinggi daripada rasionalitas dalam alam berpikir manusia, walaupun dalam masalah penetapan rasio keduanya berbeda pendapat. Kedua, Immanuel Kant memutar balikkan apa yang diyakini oleh dua filosof tradisional tersebut dengan mendudukkan rasionalitas sebagai dasar yang paling tinggi daripada rasio. Ketiga, rasio mulai ditinggalkan bahkan dibuang dengan kedatangan filosof posmodernisme. Rasionalitaslah yang akhirnya mendapatkan porsi total sebagai dasar legitimasi bagi kesadaran manusia.               
              

Tidak ada komentar:

Posting Komentar