Jumat, 26 April 2013

MENULIS : BEKERJA UNTUK KEABADIAN[1] Tentang peran “menulis” sebagai sebuah sistem fondasional ke-diri-an dan peradaban manusia.

oleh Hilmy Firdausy

Merenungi Kembali Sakralitas Menulis
Sebenarnya sudah lama saya ingin membuat catatan sederhana tentang hal ini. Tentang sebuah kegiatan yang menurut saya sangat unik dan penuh dengan pijar-pijar keajaiban yang terkandung di dalamnya. kegiatan yang ingin saya informasikan kepada semua orang, kegiatan yang ingin saya doktrinkan di otak mereka lalu mereka pun menjadi candu terhadapnya, khususnya bagi teman-teman atau siapapun yang ada di dekat saya. Tentu, menyemarakkan kegiatan menulis ini tidak bisa jika hanya melalui pidato-pidato, ceramah-ceramah atau ocehan-ocehan yang saya lontarkan setiap harinya. Mengajak mereka menulis, ya harus lewat menulis itu sendiri. Menulis sebagai langkah awal ibda’ binafsi dan karya tulisan sebagai langkah selanjutnya dalam bingkai dakwah tadi.
               Kembali merenungi, berarti saya mengajak anda sejenak untuk melupakan masalah-masalah yang ada di pikiran kalian, khususnya pikiran-pikiran yang berkaitan dengan “membuat makalah”, “perasaan terhadap seseorang” ataupun “gejolak kegelisahan yang biasa terjadi pada darah pemuda, khususnya mahasiswa”. Saya yakin, semua itu akan bisa anda atasi dengan sebuah kegiatan sederhana, yakni menulis. Akan tetapi, sebelum anda memegang keyakinan itu dan menyumpah saya akan pernyataan itu, ada baiknya kalau kemauan atau kesadaran tersebut anda munculkan bukan dari bisikan indah saya, melainkan muncul dari lubuk hati yang paling dalam dan lautan pikiran yang paling jernih. Untuk itu mari kita merenungkan dan membahas sejenak, apa sebenarnya menulis itu ?, bagaimana peran menulis dalam sebuah kehidupan ?, lalu manfaat apa yang akan kita dapatkan dari menulis ?.
               Secara sederhana, menulis dapat diartikan sebagai sebuah kegiatan mencatat dan menyampaikan. Mencatat karena kita memindahkan sesuatu ke dalam tulisan, menyampaikan karena tulisan adalah sesuatu yang dibaca, siapa pun pembacanya, bahkan jika ia penulisnya sendiri.[2]
               Menulis saya katakan adalah sebuah kegiatan yang penuh dengan nilai sakralitas dan penuh dengan sarat totalitas. Dalam artian, menulis merupakan sebuah kegiatan yang paling dapat mewakili jiwa seorang manusia dan apa yang menjadi karakternya. Karena dalam kenyataannya, lidah dan ucap manusia sama sekali tidak cukup atau bahkan tidak sanggup untuk mengungkapkan dan menggambarkan apa yang sedang dipancarkan oleh si manusia tersebut. Bahasa verbal terlalu sempit, perbendaharaan kata terlalu miskin untuk dapat menceritakan isi perasaan dan pikiran manusia. Jadi tak heran jika para pemikir, filosof, sufi, dan kalangan ulama merasa berkewajiban untuk berkarya dalam bentuk tulisan, disamping mereka juga mengisi kuliah-kuliah dan pengajian-pengajian umum. Disinilah yang saya pahami, mereka berpikiran bahwasanya tulisan lebih bisa menangkap apa yang mereka maksud dan lebih jelas, lebih tegas dalam mengupas apa yang mereka pikirkan. Untuk itulah menulis menjadi sesuatu yang teramat sakral, sebagai garda terdepan dalam perannya sebagai penterjemah dan pengulas jiwa manusia itu sendiri, sebagai manifestasi keberadaan manusia itu sendiri. Dengan menulis, seseorang berarti sedang mewujudkan dirinya sendiri dalam keberadaan, lalu mewujudkan keberadaannya dalam lingkungan sekitar, bersama manusia-manusia lainnya, dan kedalam sebuah peradaban tentunya. Manusia tanpa menulis sama dengan kosong !.

Menulis Sebagai Bagian Dari Berpikir[3]
Selalu dikatakan khususnya dalam ilmu logika atau manthiq bahwasanya manusia senyatanya tak lebih dari seekor hewan. Dengan nafsu dan tabiat hewani yang dimilikinya, manusia tak ubahnya seperti hewan itu sendiri, makan, minum, melakukan hubungan seksual dan mengejar segala apa yang menjadi keinginannya dengan nafsu, dengan syahwatnya. Akal, hanya akallah satu-satunya yang dapat membedakan mana manusia, mana hewan. Dengan akalnya manusia dapat memilah dan memilih, dengan akalnya manusia dapat mengatur dan mengontrol nafsu syahwatnya. Dengan akal manusia diberi kesempatan untuk berpikir !. Dengan premis-premis diatas dapat diambil satu kesimpulan yakni hakikat manusia adalah berpikir. Tidak berpikir, bukan manusia. Bukan manusia, tak ubahnya adalah hewan yang melata. Hewan yang melata, tak sedikitpun martabat menempel padanya !.
               Jelaslah bahwa berpikir adalah manusia itu sendiri, tak dapat dibedakan dan tak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan satu-kesatuan yang membentuk seonggok daging yang Allah beri nama MANUSIA. Manusia dengan akal pikirannya mampu melakukan apa saja. Apa yang dulu dianggap sebagai sesuatu yang mustahil, terwujud berkat kesaktian akal pikiran manusia. Tentu, didalam proses berpikir, apalagi mengenai sesuatu yang besar, manusia membutuhkan sebuah bantuan, sebuah tandem yang pas untuk merealisasikan pikiran tersebut. Dan menulis adalah pasangan serasi dan paling cocok bagi proses berpikirnya manusia. Mengapa bisa demikian adanya ?, akan saya paparkan lebih jelas dan lebih runtut berikut ini :
               Ada dua hal pokok yang menjadi tonggak kerangka berpikir manusia sekaligus menjadi alur bagi proses berpikir itu sendiri. Pertama mengingat, kedua memilah dan menstrukturalisasi pikiran tersebut. Pada tahap pertama dalam proses berpikir, manusia dituntut untuk mengingat dan menyimpan hal-hal yang dia ketahui. Dalam tahap ini, tidak semua manusia mampu mengingat apa yang pernah ia pelajari atau ia ketahui. Karena memang otak manusia memiliki system yang hampir sama dengan lemari penyimpanan surat-surat atau arsip-arsip di sebuah kantor pajak. Data atau arsip yang terdahulu akan diletakkan di dasar laci, lalu diatasnya akan ditumpuki arsip-arsip atau data-data yang baru datang. Untuk mencari arsip yang agak lama tersimpan, petugas pajak haruslah mengorek-ngorek dulu tumpukan arsip yang berjubel banyaknya itu. Dibongkar satu per-satu, dilihat, diperiksa, barulah arsip yang dimaksud akan ditemukan. Otak manusia?, sama saja. Ia diibaratkan seperti sebuah laci data yang begitu besar, yang tak akan penuh walaupun habis zaman. Semua data manusia di masa kehidupannya, semua akan tersimpan rapi dalam laci tersebut. Data ingatan tentang warna atap rumah sakit persalinan waktu dia dilahirkan, sampai sebatang rokok dji sam soe yang dia hisap sedetik sebelum sakaratul maut, semuanya tersimpan dan terdata lengkap. Ketika seorang manusia ingin mengingat sesuatu, tentu dia akan diam sejenak mencari-mencari data mengenai hal itu. Kebanyakan mereka gagal dalam mengingat hal tersebut, mengapa? Tentu karena disamping datanya sudah terlalu usang dan terletak di tumpukan yang paling bawah, dia juga hanya mengandalkan otaknya sebagai alat pengingat. Menulis adalah problem solving yang paling tepat dalam permasalahan diatas. Tanpa disadari, dengan menulis apa yang pikirkan atau diingat, manusia secara tidak langsung telah mengulang dan memberdayakan organ lainnya selain otak untuk turut serta mengingat dan menyimpan data tersebut. Oleh karena itu, sesuatu yang kita tulis lebih bisa diingat daripada sesuatu yang tidak kita tulis. dan anda pun akan merasakannya juga saat anda menulis. Seorang teman mengingatkan saya sebuah syi’ir tentang hal ini.

العلم كالصيد, و الكتابة قيده  #  قيد صيودك بحبل الوثيقة
“Ilmu itu bagiakan hewan buas, menulis adalah ikatnya. Oleh karena itu, ikatlah hewan buasmu dengan tali yang kuat”

Kedua, menulis membantu manusia dalam menstrukturalisasi ide atau pikiran-pikirannya, membantu menyusun dan mengkategorisasi ide tersebut. Dengan menulis, seseorang akan lebih bisa menyampaikan pikiran atau idenya secara lebih runtut, lebih urut mulai A hingga Z. tak heran jika dalam etika penulisan ilmiah ada beberapa hal yang diperhatikan, disamping terdapat aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh siapapun yang ingin menulis sebuah kajian ilmiah. Semisal harus ada latar belakang penelitian, latar belakang kajian, metodologi penelitian, dan lain-lain. Semua itu semata-mata hanya untuk mentertibkan alur pikiran manusia yang tidak beraturan. Mensistematisasi ide-ide yang berkeliaran lalu mengulasnya dalam bingkai alur penulisan yang mengalir, dengan begitu pikiran manusia pun akan tersampaikan dengan lengkap dan jelas teratur. Sesuatu yang tidak akan bisa dilakukan jika hanya mengandalkan bahasa dan ucap manusia. Dengan begitu, Harus menulis !. seperti yang  dicontohkan pendekar tanpa nama ketika dia sadar bahwa menulis dapat mengkonstruksi ingatannya dan berguna untuk membongkar teka-teki yang menghantuinya selama ini.[4]
               “cogito ergo sum”, dengan berpikir/menyadari maka aku ada. Coba perhatikan premis-premis berikut ini. Dengan berpikir manusia menjadi ada, manusia ada karena manusia berpikir, berpikir dinilai nihil jika tidak disertai dengan menulis, menulis adalah bagian dari berpikir, kesimpulannya: manusia menjadi ada karena dia menulis. Menulis menandakan seorang itu berpikir, sekalipun yang ditulisnya bukanlah sesuatu yang penting, yang hanya teruntuk bagi dirinya sendiri. Orang mengatakan bahwasanya dia berpikir, tapi tak satu tulisan pun yang dia hasilkan, maka “berpikirnya” orang tadi masih diragukan dan patut dipertanyakan. Kembali pada ungkapan Rene Descartes diatas, salah seorang filosof rasionalis yang disebut sebagai bapak filsafat modern. Dengan ungkapan itu dan beberapa premis yang telah kita uji, bisa disimpulkan bahwasanya menulis berkaitan erat dengan eksistensi manusia itu sendiri. Bahkan bisa dikatakan menulis adalah keberadaan manusia itu sendiri. Sebenarnya hal ini sudah saya kutip pada awal pembahasan tulisan ini tentang sakralitas menulis. Lalu, manusia lewat menulis, akan memanifestasikan dirinya sendiri dalam lingkungan sekitarnya. Dengan begitu, eksistensinya terhadap manusia dan mahluk lainnya pun akan terwujud dengan sempurna dan total. Jadi tak salah jika R.A. Kartini mengatakan bahwasanya menulis adalah bekerja untuk keabadian. Menulislah, maka engkau akan ada !!. Menulislah, maka engkau akan abadi !!. masih terdengarkah di telinga anda akan perkataan nyai ontosoroh kepada minke menantu yang paling disayanginya ?, “tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapapun?, karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh dikemudian hari.”[5] menulislah kawan !.

Keterangan :    
[1] Ungkapan R.A. Kartini yang diabadikan oleh Pramoednya Ananta Toer.
[2] Seno Gumira Ajidarma, Nagabumi 1 -Jurus Tanpa Bentuk-, Hal : 301, Gramedia 2009.
[3] Sebuah Frase yang dipopulerkan oleh Anas Shafwan Khalid (Pendiri/Pengasuh Pesantren Saung).
[4] Seno Gumira Ajidarma, Nagabumi 1, Hal : 299.
[5] Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa, Hal : 112, Lentera Dipantara 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar