Selasa, 06 Agustus 2013

"MENULIS: BEKERJA UNTUK KEABADIAN" Tentang peran “menulis” sebagai sebuah sistem fondasional ke-diri-an dan peradaban manusia [part 4-habis]



Menulis, Membangun Sebuah Peradaban
Seperti yang telah saya singgung pada pengantar tema tulisan kali ini, bahwasanya disamping menulis menjadi semacam system fondasional bagi ke-dirian manusia, menulis juga berperan bagi terbentuknya sebuah peradaban keilmuan. Hal ini bukan hanya sekedar wacana untuk membesar-besarkan pembahasan tentang menulis ini, akan tetapi hal itu telah menjadi fenomena faktual bagi beberapa peradaban besar di dunia, Sebut saja peradaban china dan yunani. Kedua peradaban tersebut dikenal sebagai peradaban awal yang kemudian memunculkan peradaban-peradaban besar lainnya. Tentu, yang menjadikan mereka sebagai peradaban besar tak lain adalah proyek literasi yang mereka tekuni. Dan tak heran jika pada masa kepemimpinan khalifah Harun Ar-Rasyid, dimana islam mulai menggadang-gadang untuk menjadi salah satu peradaban besar di dunia, haruslah dimulai dengan meningkatkan tradisi keilmuan dan mengembangkan tradisi literasi tersebut. Buku-buku yunani dan beberapa peradaban besar lainnya diterjemah, dibahas dan dikaji oleh para ilmuan muslim lalu ditulis lagi sebagai sebuah keilmuan baru dalam tubuh islam. Dengan begitu, tak lama kemudian islam pun menjadi peradaban besar yang gemilang, yang mencapai masa keemasannya pada saat keilmuan memang benar-benar ditradisikan secara murni dan sungguh-sungguh, salah satunya dengan karya-karya yang diterbitkan para ilmuan muslim.
               Di Indonesia, pesantren dan kaum santrilah yang memegang peran dalam tradisi menulis tersebut, peradaban pun mulai dibangun. Dimulai dari misi walisongo untuk melakukan islamisasi di tanah nusantara di daeran-daeran pesisir, terutama Demak. Disinilah para actor tersebut memperkenalkan tradisi tulis-menulis dan keberaksaraan kepada masyarakat awam, lalu membentuk sebuah peradaban yang berbasiskan hasil-hasil laut. Lalu, arah misi pun berkembang ke daerah-daerah pedalaman yang berbasiskan kehidupan agraris. Yakni dengan mengandalkan pertanian, cocok tanam, hasil hutan dan semua kekayaan yang berasal dari alam. Karena, menurut logika walisongo pada saat itu, daerah pedalaman adalah jantung kehidupan sebuah peradaban umat manusia. Dengan hanya mengislamisasi penduduk daerah pesisir yang mengandalkan hasil laut, mustahil sebuah peradaban yang langgeng akan terwujud, karena memang masyarakat pesisir sangat bergantung kepada masyarakat di pedalaman yang menghasilkan beras untuk mereka makan. Oleh karena itu, tradisi tulis-menulis juga diperkenalkan di wilayah pedalaman dengan actor utamanya Sunan Kalijaga.
Gerakan keberaksaraan dan kelisanan mulai digalakkan, baik pengajaran yang dilakukan walisongo kepada masyarakat, maupun kontinuitas walisongo dalam membuat karangan kisah-kisah. Dengan begitu walisongo menciptakan sebuah perpaduan yang harmonis diantara dua peradaban kosmopolit ini. Strategi-strategi inilah yang mengantarkan walisongo sukses dalam menciptakan suatu masyarakat yang berlandaskan kepada tradisi pesantren, berguru kepada kyai dan ngaji kitab, serta perlindungan terhadap sumber-sumber kehidupan umat manusia. Peradaban itu oleh walisongo dibangun dari dua pilar sekaligus: kelisanan (bahasa) dan keberaksaraan (tradisi tulis-menulis).

Menulis: Berperang Melawan Diri Sendiri
Akhirnya, setelah semua pembahasan selesai diuraikan. Setelah sedikit demi sedikit kesadaran kita mulai terbuka akan pentingnya menulis, semuanya pun akan kembali kepada diri kita sendiri. Sebenarnya tidak mesti dalam kegiatan menulis ini kita harus berperang dengan diri kita sendiri. Semua hal-hal yang baik pun juga berpotensi menyulut peperangan yang disebut Rasul sebagai peperangan yang lebih besar daripada perang badar ini. Tak lain adalah berperang melawan hawa nafsu kita sendiri.
               Menulis memang sebuah kegiatan yang sangat membutuhkan ketekunan dan kesabaran. Karena itu dibalik keinginan kita untuk menulis, telah berdiri dua ribu infantri pasukan setan berani mati yang dengan sekuat tenaga akan menghalangi kita akan terwujudnya keinginan itu. Sering digambarkan bahwasanya manusia memiliki dua sisi, sisi baik dan sisi buruk, sebagaimana juga yang diyakini oleh Anne Frank. Kalau boleh digambarkan, di sisi kanan manusia terdapat seorang malaikat yang selalu mengajak dan mendukung kepada hal-hal yang baik serta bermanfaat, di sisi lainnya terdapat setan dengan tubuh merah lengkap dengan kedua tanduknya, mendenguskan hawa panas dan tak lupa memegang tongkat serupa dengan tongkat yang dimiliki Poseidon (terkadang saya bingung. Tongkat itu sebenarnya milik setan atau milik Poseidon?, atau memang menjadi setan itu adalah kerjaan sampingan Poseidon?. Entahlah!), yang selalu mengajak manusia untuk menolak, menghiraukan ajakan si malaikat lalu mengerjakan kejelekan seperti yang disarankan olehnya.
Disinilah manusia atau kita, dalam istilah yang sering disebut oleh Kyai Ahmad Baso berada dalam titik ‘azmah atau masa krisis. Yang menentukan hasil akhirnya adalah kita sendiri sebagai manusia yang memiliki kesadaran dan kehendak bebas. Jika kita bersikap cermat, lalu menjadikan masa kriris itu sebagai pijakan untuk mencapai I’adatut ta’sis, maka keberhasilan akan menari-nari dihadapan kita dan menunggu untuk kita raih. Sebaliknya, jika kita menyikapi krisis itu dengan menuruti si setan merah, menyikapi hal tersebut sebagai sebuah kelemahan dan ketidak berdayaan kita selaku manusia, maka keberhasilan pun akan menjauh sembari meludahi wajah kita, lalu ia berteriak mencaci, “bodohnya kau wahai manusia. Jhuiih,,!”. Si malaikat putih membisikkan, “apa aku bilang manusia ?! matilah kau sekarang”. Si setan merah berjingkrak-jingkrak merayakan kemenangannya, “aku menang,, aku menang,, hahaha”.
               jadi, masihkah ada alasan untuk kita tidak menulis ??
“we are the champion my friend, and we’ll keep on fighting till the end” -Queen-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar