Senin, 05 Agustus 2013

Seri Sejarah Epistemologi Filsafat [2]: Penelusuran Konsep Kesadaran



Penelusuran Peta Pemikiran Filsafat Tentang “Kosep Kesadaran dan Keterbukaan Manusia” Mulai Awal Abad Ke-20 sampai Akhir Abad Ke-20.

Konsep Kesadaran Awal Abad Ke-20
               Edmund Husserl [1859-1938 M] adalah salah seorang pendiri dan pengasuh madzhab filsafat fenomenologi. Dia berpendapat bahwasanya ada satu kebenaran yang dapat diketahui oleh semua orang. Fenomenologi mengajarkan bahwasanya seseorang yang ingin menemukan pengetahuan yang benar haruslah kembali lagi kepada benda-benda, mengamati benda serta memberikan hak dan kesempatan kepadanya untuk dapat menjelaskan sendiri hakikat dirinya. Dalam artian, benda-benda fenomena sebagai sebuah objek yang diamati dan dilihat oleh Husserl diberi kesempatan untuk menjelaskan sendiri hakikat dirinya. Karena selama ini, yang menentukan hakikat objek atau benda-benda adalah manusia sebagai subjek yang mengamati dan meneliti.
Dengan begitu, madzhab pemikiran ini tentu berseberangan dengan apa yang diyakini oleh madzhab rasionalisme yang mengklaim objek dan benda-benda adalah palsu, ksosng tak berisi. Selanjutnya, terkait dengan konsep kesadaran yang dipahaminya, Husserl memberikan sebuah penjelasan mengenai proses atau jalan terjadinya kesadaran manusia itu sendiri. Dia juga memberikan keterangan tentang “seperti apakah kesadaran murni itu ?”, satu kesadaran yang dia sebut sebagai subjek transcendental, sebuah kesadaran yang dia yakini bersifat absolut dan menetap dalam diri manusia, kesadaran yang memuat secara lengkap dunia, manusia beserta kesadarannya itu.
               Keyakinan ini awalnya berangkat dari satu asumsi yakni kesadaran sebagai sebuah subjek tidak begitu saja memaksakan hukum-hukumnya terhadap objek, tetapi selalu berinteraksi dengan objek. Oleh karena itulah kesadaran dalam pandangan Husserl menyadari juga adanya kesadaran-kesadaran lain. Selanjutnya Husserl membagi wilayah kesadaran manusia kepada dua hal, pertama wilayah material atau factual (sesuatu yang konkret), kedua wilayah formal (sesuatu yang abstrak). Kedua wilayah ini bagaikan sepasang roda kereta kuda yang dihubungkan oleh kayu atau sejenisnya, sehingga kedua roda itu dapat berputar harmonis dan menghasilkan sebuah gerakan maju dan mundur secara bersamaan.
Menurut Husserl, pikiranlah yang menghubungkan kedua wilayah tersebut, wilayah hal-hal yang konkret dan wilayah hal-hal yang abstrak, bagaikan sebatang kayu yang menggerakkan dua roda. Dari hasil kerja pikiran itulah kesadaran manusia akan terbentuk. Akan tetapi seperti yang telah dikatakan tadi, pergerakan diantara keduanya bukan sesuatu yang dipahami sebagai hubungan sebab-akibat (kausalitas), tetapi lebih kepada hubungan intensional. Yang dengannya manusia dapat memahami, memadukan, memusatkan, mengkonsentrasikan diri ataupun mengabaikan salah satu keduanya. Hasil dari kerja pikiran terhadap kedua wilayah tersebutlah yang Husserl sebut sebagai kesadaran yang absolut, kesadaran yang menetap dalam diri manusia dan tidak bergerak kemana-mana. Sedangkan wilayah diantara sesuatu yang konkret dan yang abstrak adlah wilayah yang Husserl yakini sebagai wilayah kesadaran murni manusia, yang dikenal juga dengan istilah subjek transcendental.  
               Lalu Husserl memberikan langkah-langkah atau tisp-tips bagi manusia yang ingin mencapai kesadaran murni sebagai mana yang telah dijelaskan tersebut, yakni dengan melakukan sebuah pendekatan yang dia namakan pendekatan reduksi. Pendekatan reduksi adalah penundaan segala pengetahuan yang ada tentang objek sebelum dilakukan pengamatan secara intuitif. Menurutnya, sebelum sampai pada kesadaran murni tersebut manusia haruslah terlebih dahulu melalui tiga tahap reduksi. [1] reduksi fenomenologis, [2] reduksi eidetis, [3] reduksi fenomenologi-transendental.
Reduksi fenomenologis adalah tahap awalnya. Pada tahap ini manusia dituntut untuk membersihkan dirinya dari segala subjektivitas yang akan mengganggunya menuju realitas benda. Karena dalam praktik hidup sehari-hari, apa yang dilihat manusia secara spontan sudah dapat menyakinkan bahwasanya apa yang dia lihat adalah sesuatu yang real dan nyata. Nah, karena fenomenologi hanya berkepentingan kepada realita di lura benda itu sendiri, maka segala anggapan tentangnya yang bersifat subjektif haruslah dibuang terlebih dahulu. Tahap kedua adalah melakukan reduksi eidetis, secara bahasa eidetis berasal dari kata eidos yang berarti intisari. Dengan begitu, reduksi eidetis adalah mengungkap struktur dasar atau intisari dari suatu fenomena murni atau fenomena yang telah dimurnikan. Setelah melewati atau melakukan tahap awal sebagai langkah pemurnian awal sebuah fenomena dari anggapan-anggapan awal subjektif, reduksi eidetis dilakukan sebagai langkah lanjutan untuk kembali memurnikan fenomena yang telah murni tadi, dengan tujuan untuk memperoleh dan mengungkap intisari atau esensi yang paling mendasar dari sebuah fenomena. Tahap ketiga adalah reduksi fenomenologi-transedental merupakan tahap terakhir dari proses penggalian kesadaran murni. Yang dimaksud dengan reduksi transedental adalah menyimpan keberadaan realitas secara keseluruhan untuk menampilkan kesadaran beserta aktivitas-aktivitasnya. Secara garis besar, reduksi pertama dan kedua bertujuan untuk menyaring esensi dari objek, sedangkan reduksi ketiga bertujuan untuk menyaring esensi subjek sebagai satu kesadaran dengan segala macam aktivitasnya dalam memberi transenden kepada apa yang sesungguhnya terintegrasi dalam kesadaran manusia. Maksudnya adalah serupa dengan kerja sebatang kayu dalam aktivitasnya mengintegrasikan kedua roda pada kereta kuda, sehingga menjadi sebuah satu-kesatuan dalam gerak kereta itu sendiri. Nah, dengan ketiga tahap reduksi diatas, manusia pun akan sampai pada kesadaran murninya atau subjek transedentalnya. Dengan begitu juga, manusia menurut husserl lalu dikatakan sadar atau menyadari.         
Jean Paul Sartre [1905-1980 M] adalah salah satu filosof eksistensialisme yang lahir dan meninggal di Prancis. Tema sentral yang diangkat oleh madzhab filsafat ini adalah tentang ke”ada”an manusia. Sebagaimana filosof eksistensialis yang lainnya, sartre juga menyakini bahwasanya manusia tidaklah sesederhana apa yang dipahami oleh madzhab materialisme. Filosof materialis beranggapan bahwasanya manusia pada akhirnya adalah sebuah benda seperti halnya smartphone ataupun note tab. Dalam artian, mereka memahami manusia sebagai sesuatu yang materil, tidak lebih. Hanya saja manusia memiliki bentuk yang lebih sempurna daripada benda-benda materi lainnya, akan tetapi dalam masalah keberadaannya, manusia tidak jauh berbeda.
Nah, dari pemahaman inilah muncul eksistensialisme. Para filosof eksistensialis mengatakan bahwa adanya manusia tidak sama dengan adanya benda-benda materil tersebut. Manusia memiliki kebebasan untuk memaknai realitas yang dialaminya. Karena manusialah yang menentukan sendiri kemana arah tujuannya, apa yang akan dilakukannya serta menjadi apa. Manusia bebas dalam menentukan itu semua karena ia memiliki kesadaran yang didasari dari keberadaanya yang berpotensi menghasilkan begitu banyak kemungkinan untuk menafsiri dunia dengan pelbagai cara. Beda halnya dengan batu ataupun kayu yang keberadaanya sudah jelas dan absolut. Benda-benda itu terlahir sebagai objek, manusia terlahir sebagai subjek. Oleh karena itu, adanya manusia adalah keberadaan yang bebas, yang ada untuk dirinya sendiri. Karena itu pula, sartre tidak menutup keyakinan bahwa manusia memang mahluk yang bebas. Beberapa tokoh dalam madzhab eksistensialisme adalah Martin Heidegger, Jean Paul Sartre dan Gabriel Marcel. Akan tetapi disini kita akan lebih banyak membahas sartre beserta konsepnya tentang kesadaran manusia.
               Sartre membagi kesadaran manusia menjadi dua macam : pertama kesadaran pra-reflektif, keduan kesadaran reflektif. Kesadaran pra-reflektif oleh srtre juga disebut sebagai kesadaran yang tidak sadar. Dalam artian, si manusia sebagai subjek yang menyadari terlalu tenggelam dalam mengarahkan kesadarannya pada si objek, sehingga dengan begitu dia tidak menyadari bahwa dirinya sedang menyadari sesuatu. Seperti yang banyak dialami oleh manusia kebanyakan. Tentu bukan sesuatu yang janggal bila kita melihat seorang yang menangis karena adegan haru sebuah film atau sinetron ?, yang padahal kita sama-sama tahu kalu film atau sinetron tersebut tidaklah nyata, merupakan adegan rekaan semata, fiktif dan ditujukan untuk menghibur penonton. Mengapa malah mereka menangis atau mengumpat si tokoh antagonis karena telah menjambak tokoh protagonis yang mengeram kesakitan ?, satu fenomena kesadaran yang banyak ditemukan di desa-desa, khususnya ibu-ibu yang menggemari sinetron. Sedangkan kesadaran reflektif adalah kesadaran yang menyadari. Dalam artian si manusia, disamping dia mengarahkan kesadarannya pada objek yang disadarinya, dia juga menyadari bahwa dirinya sedang menyadari sesuatu. Dia sadar bahwasanya dia sedang mengarahkan perhatiannya pada si objek dan dia melihat dirinya yang sedang menyadari sesuatu.
Dalam bayangan saya, kesadaran seperti ini seperti seseorang yang sedang memperhatikan sesuatu, mengarahkan segala pandangannya pada sesuatu tersebut dan memusatkan perhatian kepada sesuatu itu, yakni sinetron bawang merah bawang putih yang diperankan oleh Nia Ramadhani sebagai bawang merah dan Revalian S. Temat sebagai bawang putih. Lalu, tibalah pada edegan dimana bawang merah memukul bawang putih dengan pukulan seribu bayangan. Tentu, mendapatkan pukulan sakti seperti itu si bawang putih pun pada akhirnya berteriak kesakitan sembari memanggil-manggil tokoh pujaannya yaitu Superman agar menolongnya. Lalu seseorang tadi, sebut saja namanya zaid (contoh klasik dalam ilmu nahwu pesantren yang harus dilestarikan. He J), menangis tersedu haru melihat adegan itu. Tiba-tiba asap keluar dari atas ubun-ubunnya, bertransfigurasi menjadi sesosok manusia yang langsung berdiri disamping zaid, yang ternyata sesosok manusia tersebut adalah dirinya sendiri, esensi zaid, zaid yang paling hakikat, yang tak lain adalah zaid yang menyadari bahwa dirinya sedang menangis. Zaid  pun tertawa. Dari sini dapat dipahami kalau kesadaran reflektif adalah menjadikan kesadaran pra-reflektif menjadi objeknya, yang menjadikan kesadaran yang tidak disadari menjadi kesadaran yang disadari. Dengan kesadaran reflektif inilah seorang manusia dapat dikatakan sadar dalam pandangan sartre.

Konsep Kesadaran Akhir Abad Ke-20
Sebenarnya banyak nama yang disebut oleh Bagus Takwin dalam pembahasan ini[1]. Akan tetapi tidak semuanya akan dibahas secara satu per-satu, karena menurut Bagus, beberapa pemikiran dari mereka tidak relevan dengan tema yang sedang kita bahasa yaitu konsep kesadaran manusia. Yang menjadi sorotan dalam penelusuran konsep kesadaran akhir abad ke-20 ini hanyalah pemikiran tiga orang filosof, yakni : Jean Francois Lyotard, Jurgen Habermas dan Richard Rorty.
               Jean Francois Lyotard [1924-1998 M] adalah salah seorang tokoh filosof postmodernisme yang sangat menolak totalitarisme ala-Hegel. Dalam sejarah filsafat modern, totalitarisme inilah yang menurut lyotard mengakibatkan terjadinya pemikiran yang berkiblat pada kesatuan dan totalisasi, lalu hasilnya adalah terror. “Abad kesembilan belas dan kedua puluh telah memberikan kita terror sebanyak yang dapat kita tampung. Kita telah membayar dengan harga yang cukup mahal untuk nostalgia akan keseluruhan dan kesatuan…”, kata Lyotard dalam The Postmodern Condition – A Report on Knowledge ‘Answering the Question: What Is Postmoderism’. Oleh karena itu dia tidak sependapat dengan pemikiran Jurgen Habermas yang menginginkan adanya konsensus sebagai sebuah jalan keluar bagi pemikiran yang totalis tersebut (selebihnya pemikiran tentang konsensus habemas akan dibahas kemudian). Karena menurut Lyotard, paradigma masa pencerahan atau masa modern sudahlah usang, terlalu kolot untuk dijadikan sebuah nilai, dan tidak etis untuk dilanjutkan proyeknya sebagaimana yang diniatkan oleh Habermas.
Sebaliknya, Lyotard mengatakan bahwa pemikiran postmodernisme adalah paradigma yang cocok untuk masa kini. Dipengaruhi oleh pemikiran Ludwig Wittgenstein dan Immanuel Kant, Lyotard juga melihat banyak aturan-aturan di dunia ini (termasuk aturan bahasa atau language game dalam istilah Wittgenstein), disamping dia juga percaya bahwa itu semua hanyalah kesatuan yang heterogen (dalam istilah Kant).
Lyotard juga percaya bahwa aturan-aturan itu memiliki dan menghasilkan kebenaran-kebenarannya sendiri yang tidak dapat dibandingkan antara satu dengan yang lainnya. Karena itulah, aturan-aturan tersebut sebaiknya bukan ditotalisasi dan dikonsensus sebagaimana yang dipikirkan oleh Habermas, melainkan harus dibiarkan berbeda begitu saja. Lalu bagaimana jika pembiaran seperti itu mengakibatkan nihilisme, anarkisme dan pluralisme yang memainkan aturan-aturan tersebut, termasuk permainan bahasa ?. menurutnya hal itu juga tidak menjadi masalah, sebab di sisi lain itu menunjukkan juga kepekaan baru terhadap perbedaan-perbedaan dan keberanian untuk melawan segala bentuk totalitarisme. Makan bagi Lyotard, yang relevan kini hanyalah usaha yang terus menerus, yang tak kunjung habis untuk terus mencari dan mengusahakan adanya embaruan, meninggalkan kesatuan serta klaim-klaim universal dan berangkat dari satuan-satuan terkecil. Satuan-satuan kecil tersebut nantinya juga dapat menjadi kebenaran kecil di waktu dan tempat tertentu. Dengan ini, jelas kalau Lyotard mengandaikan adanya keterbukaan pikiran manusia dalam memahami dunia, lingkungan sekitar dan dirinya. Dengan kata lain, Lyotard menghendaki adanya disensus bukan konsensus.
Jurgen Habermas [Lahir 1929 M] adalah salah satu filosof produk dari madzhab kritis Frankurt yang bekebangsaan Jerman. Dalam filsafatnya, Habermas mencoba melakukan kritik terhadap ajaran marxisme yang (pernah) dianutnya serta para seniornya di madzhab Frankurt generasi pertama. Sebanarnya hal yang sama pun telah dilakukan oleh generasi awal madzhab frankurt yang dimotori oleh Adorno, Horkheimer dan Herbert Marcus. Akan tetapi, generasi awal ini mengalami semacam kebuntuan dalam teori kritis yang mereka usung, disebabkan karena pesimisme yang mereka alami terhadap rasionalitas pasca fenomena posivistik yang melanda ideologi masyarakat pada umumnya. Namun, dengan teori paradigma komunikasinya Habermas berkesempatan untuk melanjutkan dan memberikan jalan keluar atas kebuntuan pemikiran yang dialami oleh para filosof madzhab frankurt generasi pertama. Yah, dalam hal ini Habermas saya pahami serupa dengan Al-Ghazali yang menjadi pemecah kebuntuan Madzhab Sunni yang kala itu berada dalam ambang kebekuan bahkan kehancuran. berikut uraian tentang pemikiran Jurgen Habermas:
Saya tidak akan membahas pemikiran Habermas secara lengkap dan rinci, karena memang disamping ada keinginan untuk menulis hal tersebut dalam sebuah tulisan khusus, saya juga masih berada dalam tahap pemahaman seputar pemikiran Madzhab Frankurt, khususnya pemikiran Jurgen Habermas. Jadi sementara, yang disajikan disini hanyalah seputar pemikiran Habermas tentang konsep kesadaran manusia serta persoalan pluralitas masyarakat kini. Tentu, dengan bertolak ukur dari pemikiran Lyotard yang tak lain adalah konsep  tandingan yang berbeda dengan apa yang dikonsepsikan oleh Habermas. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dalam konsep kesadaran, Habermas bertolak belakang dengan Lyotard yang mengandaikan adanya kebebasan. Kebebasan dalam pemahaman Lyotard adalah keinginan untuk membiarkan begitu saja perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam sebuah masyarakat, sedangkan Habermas mengandaikan adanya konsensus dalam keberagaman tersebut.
Dari sana dapat dilihat bahawa Habermas dan Lyotard sepaham tentang konsep Wittgenstein dalam masalah yang disebutnya language game, yaitu bahwasanya terdapat banyak aturan di dunia ini yang mengatur manusia termasuk aturan bahasa. Dengan jalan konsensus inilah Habermas ingin menciptakan “demokrasi liberal”, yaitu hubungan-hubungan sosial yang terjadi dalam lingkup komunikasi bebas penguasaan. Di sisi lain, dengan paradigma komunikasi yang ditawarkannya sebagai pengganti dari paradigma kerja yang dipakai oleh seniornya di madzhab frankurt, Habermas ingin mengubah atau bisa dikatakan memperbaharui teori klasik marxis tentang jalan revolusioner yang menjungkirbalikkan struktur masyarakat demi terciptanya masyarakat sosialis seperti yang dicita-citakan, yang dengan paradigma komunikasinya itu juga dengan otomatis Habermas telah membuka jalan keluar bagi teori kritis madzhab frankurt yang nyaris beku.
Jadi intinya dalam kehidupan pluralistik kini, Habermas mengusulkan untuk diadakannya konsensus lewat komunikasi-komunikasi yang terus menerus diantara masyarakat. Karena sesuai dengan keyakinan yang dipegangnya, bahwa rasio manusia dapat menvapai kesepakatan atau konsensus tentang kebenaran. Dan pencapaian akan hal itu sangat disarankan oleh Habermas.
Ricard Rorty adalah seorang filosof anglo-saxon yang disebut sebagai pendiri filsafat neo-pragmatisme. Dalam filsafatnya dia tidak hanya mengkritik pemikiran-pemikiran filosof yang ada sebelumnya, tapi lebih jauh dia mengkritik sistem fondasional dari epistemologi atau bahkan filsafat itu sendiri. Dengan pandangan neopragmatisme-nya dia menyatakan bahwa epistemologi sebagai dasar atau ontologi dari sebuah pengetahuan sudahlah “mati”. Dipengaruhi oleh filosof pragmatisme sebelumnya seperti william James, Peirce dan John Dewey, Rorty juga mewarisi prinsip logika dalam pragmatisme, yaitu logika yang tidak mendominasi penyelesaian masalah hanya dengan satu persepsi dan pandangan saja, melainkan sebaliknya berusaha menyerap setiap aspirasi yang mungkin ada. Dengan begitu kemudian lahir pemahaman bahwa dalam suatu pengetahuan, epistemologi tertentu sudah tidak dapat atau tidak perlu digunakan lagi.
 Namun, yang menarik dari posisi filsafat Rorty adalah keengganannya untuk meneruskan apa yang ditradisikan oleh pragmatisme klasik Amerika yang dirintis James, Peirce dan Dewey (namanya juga neopragmatisme). Karena Rorty menganggap bahwasanya pemikiran mereka masih mengakui eksperimentasi berwajahkan positivisme dan berbau fondasionalisme, yang dalam filsafat neopragmatisme Rorty kedua hal tersebut ditinggalkan dan tidak lagi dianggap. 
Dalam pemahaman saya, apa yang diyakini Rorty dengan neopragmatisme-nya, mewakili atau menawarkah wilayah yang lebih longgar terhadap apa yang diyakini Lyotard tentang kebebasan dalam keberagaman dan apa yang diyakini Habermas tentang konsensus kebenaran. Lyotard yang menghendaki kebebasan atau pembiaran dalam keragaman diwakili oleh Rorty dengan pembiaran atau kebebasan yang lebih radikal lagi, yaitu menganjurkan membuang epistemologi dan filsafat sebagai landasan dasar suatu pengetahuan. Dalam konsep paradigma komunikasi yang ditawarkan Habermas, Rorty pun juga terlihat lebih longgar. Di satu sisi, filsafat Habermas masih berbau kantianisme, sedangkan filsafat Rorty tidak berbau apa-apa dan Habermas dalam paradigmanya juga mengutamakan pada satu komunitas tertentu, yaitu komunitas yang menghendaki adanya suatu proses emansipatoris dari segala bentuk dogmatisme dan ideologi yang mengungkung mereka. Sedangkan Rorty lebih jauh menghendaki komunikasi yang dibangun diatas perubahan personal yang melibatkan sebanyak mungkin partisipasi, tidak hanya tertuju bagi suatu kelompok tertentu saja. Dalam bahasa yang lebih mudah, apa yang dipikirkan oleh Habermas dan Lyotard sudah terakumulasi dengan porsi yang lebih luas dalam pemikiran pragmatis Ricard Rorty. Oleh karena itu, menurut Bagus Takwin pemikiran Rorty lebih relevan untuk dibahas dalam masalah pluralisme masyarakat kini.

Sekian penelusuran pemikiran filsafat tentang konsep kesadaran…


[1]Antara lain : William James [1842-1910 M], filosof yang mempopulerkan filsafat pragmatisme, khususnya di bidang moralitas dan kepercayaan agama. Dia mengatakan bahwasanya “kebenaran hanyalah jalan yang berguna dalam cara berpikir kita, sebagaimana hak hanyalah jalan yang berguna dalam cara berprilaku kita”. Artinya, kebenaran tergantung pada apakah keyakinan kita dapat berfungsi dan diterapkan dengan baik atau tidak. John Dewey [1859-1940 M], adalah seorang filosof yang menekankan bahwa tujuan utama filsafat adalah menyelesaikan persoalan masyarakat demokratis dengan menggunakan metode ilmiah (dalam pola yang lebih luas dan fleksibel). Betrand Russels [1872-1970 M], filosof kebangsaan inggris yang mengembangkan suatu system logika symbol yang revolusioner, dan ia mengatakan bahwa logika adalah dasar bagi matematika sekaligus metode yang paling tepat bagi filsafat. Sedangkan dalam epistemology dia dikenal karena dukungannya yang kuat terhadap empirisme. Ludwig Wittgenstein [1889-1951 M], salah seorang filosof yang berpengaruh pada filsafat analitis dan linguistic abad 20. Ia menyatakan bahwa makna adalah penggunaan dalam permainan bahasa; bahwa kata-kata tidak memperoleh makna dengan menunjuk esensi universal, melainkan lebih-lebih dapat diterapkan atas dasar kemiripan-kemiripan hubungan yang longgar sifatnya; dan bahwa tidak ada bahasa pribadi yang menunjuk pada pengalaman-pengalaman akal budi yang ada di dalam diri dan tak dapat dijangkau oleh publik. Pemikir-pemikir lainnya yang disebutkan antara lain : Noam Chomsky, G. Riyle, Hillary Putnam, Michael Polanyi, Karl Popper, dan Thomas Kuhn.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar