Jumat, 09 Agustus 2013

RASIO-RASIONALITAS KAUM RASIONALIS



Sejenak Mengenang Pemikiran Descartes, Spinoza dan Leibniz Tentang Rasio-Rasionalitas

Pemikiran Descartez tentang rasio dan rasionalitas tidak jauh berbeda dengan rasio dan rasionalitas yang dipahami oleh Aristoteles. Akan tetapi, nanti akan terlihat perbedaan yang mencolok tentang metode yang digunakan. Lebih spesifiknya tentang rasionalitas yang ditawarkan.
               Pada tulisan sebelumnya telah dijelaskan bahwsanya Aristoteles memahami rasio manusia berada dan bersifat lebih dasar dibandingkan dengan rasionalitas. Rasio bagi Aristoteles adalah hal-hal yang bersifat induktif-empirik. Sedangkan rasionalitas baginya adalah logika. Sedangkan Palto mengatakan bahwa rasio manusia bisa dicapai melalui intuisi.
               Disini akan dibicarakan tentang Rene Descartes, salah seorang filosof rasionalis kenamaan. Sebenarnya, dia sepaham dengan Plato dan Aristoteles masalah kedudukan rasio atas rasionalitas. Akan tetapi dengan tesis “cogito ergo sum”nya, Descartes tampaknya ingin memperlihatkan sebuah pandangan baru tentang rasio dan rasionalitas itu sendiri. Dan memang nanti akan dapat dilihat bagaimana Descartes memberikan pemahaman baru terhadap rasio dan rasionalitas ini.
               Kembali lagi pada “cogito ergo sum”. Dengan kalimat itu sebenarnya sudah dapat ditangkap bagaimana Descartes memandang rasio dan rasionalitas. Keragu-raguan dan memepertanyakan segalanya adalah rasio yang harus dimiliki manusia. Karena menurut Descartes, dengan meragukan segala apa yang dia lihat dan dia rasakan, manusia akan dapat memperoleh pengetahuan yang sejati.
               Berpikir untuk mengetahui sesuatu yang hakiki inilah yang menjadi esensi bagi keberadaan manusia. Artinya, rasio oleh Descartes dianggap sebagai sesuatu yang esensial, yang berkaitan langsung dengan eksistensi manusia itu sendiri. Sedangkan “berpikir”nya Descartes didapat dari metode keragu-raguan. Dengan begitu, ragu-ragu adalah hal yang esensi dari manusia menurut Descartes.
               Semua yang telah saya tulis diatas adalah rasio dalam pengertian Descartes. Yang kalau boleh disimpulkan kembali, rasio adalah pikiran manusia. Satu-satunya elemen dalam diri manusia yang dapat memberikan pengetahuan sejati. Yang akan menyeleksi segala pengetahuan yang diperoleh oleh manusia. Adapun segala hal yang datang dri luar, adalah sesuatu yang harus terus menerus dipertanyakan dan diragukan.
               Lalu bagaimana dengan rasionalitas menurut Descartes? Kalau tadi dijelaskan bahwasanya rasio manusia adalah berpikir dan berasal dari dalam alam pikir manusia, yang didapat melalui metode kesangsian. Rasionalitas menurut Descartes adalah kemampuan manusia untuk mengetahui pengetahuan yang benar dengan bersandar pada prisnsip-prinsip yang dihasilkan oleh rasio.
               Rasionalitas manusia berangkat dari kesadaran tentang “aku” yang berpikir lalu ia pun mampu memahami kebenaran secara clear and distinc. Potensi dan kemampuan tersebutlah yang nantinya akan memilah dan memilih pengetahuan yang diperoleh. Mana pengetahuan yang benar dan mana pengetahuan yang salah. sekali lagi, tetap dengan memegang prinsip-prisnsip yang dihasilkan oleh rasio. Jadi, orang yang rasional adalah orang yang menyangsikan segalanya, orang yang hanya tahu bahwa dirinya sedang berpikir.
               Lalu datanglah Spinoza menyatakan ketidak setujuannya terhadap konsep dualisme yang diusung oleh Descartes. Sebelumnya Descartes mengatakan bahwa jiwa (pikiran) dan tubuh (keluasan) adalah dua substansi yang berbeda. Jiwa terperangkap dalam tubuh manusia, begitu kata Descartes. Pandangan ini tentu disebabkan kefanatikan yang luar biasa Descartes kepada rasio dan berpikir. Dan menafikan hal-hal yang berada diluar itu.
               Dengan konsep ini Spinoza mengalami kebuntuan berpikir atau mengalami suatu kegalauan. Bagaimana bisa keduanya berinteraksi atau saling bertautan dalam diri manusia ataupun tuhan? Dari pertanyaan itu kemudian Spinoza menawarkan sebuah pemahaman baru tentang rasio dan rasionalitas.
               Dari kebingungan yang telah saya ceritakan diatas, kemudian Spinoza berkeyakinan bahwa tuhan adalah segalanya. Dia menyatukan paham yang dibedakan oleh Decartes. Dia mengatakan Tuhan adalah segalanya, segalanya merupakan bagian dari Tuhan, begitupun alam. Keyakinan ini dikenal dengan nama “Pantheisme”.
               Dari pemahaman seperti ini, rasio menurut Spinoza adalah Tuhan yang merupakan segala-galanya. Dia tetap dan absolut. Sedangkan segala usaha manusia untuk memahami dan mengetahui kebersatuan ini (antara alam dan tuhan) adalah rasionalitasnya. Jadi, ketika seorang manusia paham akan adanya kebersatuan ini, maka ia dikatakan rasional. Jika tidak, maka sebaliknya. 
               Filosof rasionalis terakhir yang akan kita perbincangkan pada kesempatan kali ini adalah Leibniz. Dan sekaligus kita akan melihat kritik-kritiknya terhadap dua filosof sebelumnya, yaitu Descartes dan Spinoza tentang rasio dan rasionalitas. Yang dari kritiknya itu kemudian Leibniz menyusun filsafatnya sendiris.
               Kalau Plato dikenal dengan teori idenya, Aristoteles dengan logikanya, maka Leibniz dikenal karena teorinya yang bernama “Monad”. Monad Leibniz inilah nantinya yang akan menjelaskan semua pandangannya tentang pengetahuan manusia, tentghang rasio dan rasionalitas manusia.
               Menurut Leibniz, apa yang dipahami oleh Descartes dan Spinoza sama-sama memiliki kesalahan dan kebenaran. Salah disatu sisinya dan benar disatu sisinya. Oleh karena itu Leibniz pun mencoba melakukan perpaduan antara pemikiran Descartes yang terlalu radikal dalam memberikan batasan antara tubuh dan jiwa dengan pemikiran Spinoza yang terlalu bebas dalam memberikan batasan tersebut. Bahkan lebih jauh lagi Spinoza telah melakukan pengkaburan batas antara Tuhan, manusia dan alam.
               Dengan merekonstruksi substansi tunggal ala Spinoza, Leibniz pun menawarkan sebuah teori khusus tentang substansi. Yang dengan teori itu Leibniz dapat menjelaskan individualitas manusia, transendensi Tuhan dan kebebasan alam. Teori tersebut seperti yang telah saya singgung diatas bernama monad.
               Monad adalah gelembung-gelembung substansi yang membentuk atau membangun segala sesuatu di dunia ini. Sebenarnya, sekilas monad Leibniz mirip dengan atomnya Democritos. Akan tetapi, monad Leibniz lebih independen dan memiliki geraknya sendiri. Sedangkan atomnya Democritos adalah substansi mati, yang digerakkan oleh hal-hal yang berada diluarnya. Leibniz juga menyebut monad-monadnya sebagai jiwa (soul).
               Pandangannya tentang monad diawali dari sebuah asumsi bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini merupakan kumpulan atau gabungan dari berbagai substansi. Begitu juga manusia. karena merupakan gabungan, maka dipastikan terdiri dari satuan-satuan substansi sederhana. Substansi sederhana itulah yang dinamakan monad.
               Monad bersifat tertutup dan independen. Dia tidak memiliki kebutuhan atau keterkaitan dengan monad lainnya. Dia bergerak sendiri dan membentuk eksistensinya sendiri. monad tidak pula berbentuk, beukuran dan tidak terbatas. Dia hanya berupa titik yang metafisik. Tidak seperti atom yang memiliki mata kait untuk mengaitkan satu atom dengan atom lainnya yang kemudian membentuk sebuah benda. Monad berbeda.
               Lalu, jika memang monad bersifat independen dan tidak memiliki hubungan apa-apa dengan monad lainnya, bagaimana mereka bisa berintegrasi anta satu sama lain lalu membentuk sebuah kehidupan? Sebuah monad telah memiliki takdirnya sendiri sejak zaman azali. Dia sudah ditentukan untuk menjadi apa dan membangun apa. Jadi, meskipun monad bersifat independen dan tertutup dengan lainnya, mereka bekerja sama untuk menciptakan sebuah harmoni kehidupan. Sesuai dengan takdir yang mereka miliki dalam diri mereka masing-masing. Dengan begitu, harmonisasi kehidupan dunia pun tercipta. Sama seperti orkes simfoni atau teater orchestra yang memainkan sebuah harmonisasi lagu meskipun dengan alat music yang berbeda-beda. Gitar, piano, drum dan terompet adalah satu substansi yang independen dan tertutup. Masing-masing memiliki bunyinya sendiri dan tidak membutuhkan alat music lain untuk menciptakan sebuah nada. Akan tetapi, dalam orchestra seperti itu, sebuah harmoni lagu yang indah tercipta melalui berbagai alat music yang berbeda dan independen. Mengapa demikian? Karena setiap alat music sudah ditentukan nadanya atau partiturnya oleh sang dirijen. Demikian juga yang terjadi pada monad dalam membentuk harmoni alam.
Lalu siapa yang menentukan partitur-partitur monad tersebut? Atau gampangnya, siapa dirijennya? Yaitu Tuhan. Tuhanlah yang menentukan takdir setiap monad yang ada sejak awal penciptaanya. Oleh karena itu Leibniz mengatakan bahwa harmonisasi yang terjadi di alam adalah bukti sempurna akan keberadaan Tuhan.   
Dengan paparan singkat yang telah saya tulis diatas, dapat disimpulkan bahwa rasio menurut Leibniz adalah konsep monad dan Tuhan sebagai penentu. Sedangkan rasionalitas adalah kemampuan untuk memahami segala sesuatu melalui prinsip-prinsip pertama yang dihasilkan oleh rasio.

Wallahu ‘Alam bis Shawab…
              
                
                
                 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar