Jumat, 20 April 2012

KUDUS DALAM CATATAN -2 [antara manis dan diabetes]


Merantau jauh ke kota kudus merupakan suatu hal yang baru bagi saya pribadi. Hal baru dalam artian, ini merupakan rantauan terjauh saya selama ini dan ini juga merupakan pertama kalinya saya pergi dan tinggal dikota yang mayoritas dihuni oleh orang jawa tulen. Masalah jarak mungkin sudah saya atasi dengan niat dan tekat yang bulat untuk nyantri di kota ini. Masalah yang kedua yang merupakan tantangan yang benar benar baru bagi saya selama ini, dikarenakan selama ini saya hidup berdekatan dengan orang orang madura. Saya pun juga asli darah madura. Jadi, hal hal yang mengangkut bahasa, budaya dan kebiasaan orang jawa saya benar benar kosong. Apalagi yang saya hadapi sekarang ini adalah jawa asli yang tiap harinya berkomunikasi dengan menggunakan bahasa halus dan kromo inggil. Tentu jauh berbeda dengan jawa jawa “suroboyoan” atau “jawa timuran” yang sedikit banyak telah saya ketahui dan saya dengar, baik itu di kota tempat saya berasal maupun di pesantren saya sebelum ini. Akan tetapi, bukanlah masalah bahasa yang akan saya bagi kepada kawan kawan kali ini. Kebiasaan yang dilakukan masyarakat kuduslah yang akan saya ceritakan pada kesempatan yang berharga ini. Terutama akan hal yang berbau manis dari kota menakjubkan ini.
Kali pertama menginjak kaki di tanah kudus saya sudah merasa akan mengalami sebuah proses penyesuaian diri yang luar biasa berat dan lama. Bagaimana tidak merasa berat, saya adalah  orang madura asli yang hidup dan tinggal dikota yang mayoritas dihuni oleh orang jawa tulen dan hidup bersama sama mereka tiap harinya. Mengikuti semua adat dan kebiasaan yang dilakukan mereka tiap harinya. Kondisi seperti ini saya umpakan dengan seekor harimau sumatera yang mencoba tinggal bersama harimau afrika. Memang sama sama harimau, tapi kebiasaan yang dilakukan antara keduanya tentu sangat berbeda. Tapi itu hanya perasaan yang menyambut kedatangan saya di kota kretek ini pertama kali.
Beberapa saat setelah tiba di kota ini, setelah berkeliling disekitar menara kudus untuk penyesuaian kondisi dan dalam rangka menghafal jalan serta warung warung makan disana, perut saya mendadak memaksa untuk diisi. Pergilah saya ke salah satu warung bersama salah satu kenalan baru saya di kudus. Saat itulah hal yang saya takutkan tadi terjadi. Meskipun sangat lapar, lidah dan mulut enggan rasanya untuk makan dan mengunyah menu yang saya pesan. Waktu itu saya memesan nasi campur. Sepiring kecil nasi dengan oseng oseng kangkung, mie, potongan tahu bumbu dan sambel diatasnya. Saya pun mencoba mencampurkan sambal ke sesuap nasi yang akan saya santap. Tapi, lidah dan kerongkongan saya semakin enggan untuk mengunyah dan menelan makanan itu. Alasannya, semuanya terasa sangat manis. Sambal pun jauh dari kesan pedas, disini adanya sambal manis.
Butuh waktu seminggu untuk membuat lidah terbiasa dengan makanan manis yang sudah menjadi kebiasaan dan kesenangan orang jawa tulen di kudus ini. Itupun dengan terpaksa, saya tidak makan kecuali sudah kelaparan stadium empat yang membuat saya lemas bahkan untuk sebuah senyuman sedikitpun. Semua menu sudah saya coba dari warung ke warung di sekitar menara kudus. Hampir semua warung sudah saya datangi dan saya rasakan menunya. Semuanya hampir sama, rasa manis masih kuat melekat dalam masakan orang orang kudus. Jadi, jangan heran ketika melihat dan menemukan banyak sekali bahkan hampir semua orang tua di kota kudus berjalan dengan memakai bantuan tongkat. Mengapa demikian? Penyakit diabeteslah penyebabnya. Mulai dari lahir sampai menginjak usia senja, kadar gula yang mereka konsumsi selalu diatas batas normal kesehatan. Akibatnya, sudah dapat dipastikan diabetes atau kencing manis mengendap di dalam tubuh mereka.
Jadi, saya sarankan kepada teman teman yang ingin mencoba untuk tinggal di kota ini. Baik itu hanya untuk sekedar mencari pengalaman atau menyantri di pesantren kudus, agar bisa memilih dan memilah mana makanan yang cocok bagi lidah dan kerongkongan kalian. Terutama bagi kawan yang berasal dari suku madura. Bakso, mie ayam, mie instan, sate madura adalah makanan makanan yang bisa menjadi pilihan pertama. Tapi, tidak selamanya itu dapat dibeli, Kala kantong menipis dan transfer uang tak kunjung datang, maka kawan sekalian akan dipaksa untuk menikmati masakan masakan manis di warung warung murah. Dan, jangan sekali kali mencoba soto kudus !, terutama bagi mereka yang berasal dari madura sekali lagi !.
Dari semua hal yang manis yang saya ceritakan diatas, masih kalah manis dengan cerita saya berikut ini. Masih seputar kota perantauan saya, kota kudus beserta sesuatunta yang berbau manis.
Seperti yang saya katakan tadi di atas, bahasa yang digunakan tiap harinya di kota ini adalah bahasa jawa kromo inggil dan kromo halus. Orang jawa surabaya atau jember pun belum tentu paham dengan bahasa jawa ini. Mengapa demikian? Karena memang pendahulu pendahulu di kota ini memang berasal dari keluarga kraton jawa layaknya kraton jogjakarta dan kraton solo. Akibatnya, Bahasa yang digunakan pun mengikuti seperti apa yang kerap digunakan di kalangan keluarga kraton.
Bahasa bukanlah satu satunya yang diawarisi para pendahulu di kota kudus kepada anak keturunanya sampai saat sekarang ini. kecantikan putri kraton yang terkenal pun mengalir deras  dalam darah perempuan perempuan kudus sampai saat saya menulis ini. Perempuan perempuan kudus tidaklah cantik kawan menurut saya. Mereka lebih kepada kesan manis dengan keserdehanaan yang menghiasi wajahnya. Kulit perempuan kota ini tidaklah putih, tapi kuning. Kuning langsat terang mulus yang memanjakan tiap laki laki yang memandangnya. Intinya, pesona kecantikan dan kemanisan wanita kudus tidak pernah saya temui sebelumnya. Manisnya mereka merupakan sebuah anugrah dari tuhan dan benar benar natural. Kecantikan nyata seorang wanita pribumi yang selama ini banyak dilegendakan. Untuk menceritakan bagaimana luar biasanya perempuan perempuan di kota ini, perlu adanya bab khusus dan perbendaharaan kata kata selain eksotis, menakjubkan, luar biasa, dll. Datang dan lihat sendiri !, maka kau akan tahu seperti apa perempuan kudus itu.
Lalu pertanyaannya, mengapa saya bisa mengetahui semua hal ini?, jawabannya simple. Saya adalah seorang laki laki tulen yang sudah menapaki dewasa. Tidak lalu mentang mentang saya  seorang santri tahfidz al qur’an, saya tidak pernah menoleh sedikitpun kepada perempuan yang lewat didepan dan disamping saya. Memang itu sebuah pantangan dan larangan bagi seorang santri tahfidz seperti saya. Akan tetapi, fitrah sebagai laki laki normal lebih berperan dan mengajak untuk menikmati keindahan perempuan kudus walaupun hanya sedikit dan sekejap mata daripada mengalihkan pandangan atau memejamkan mata demi mengindahkan pantangan dan larangan yang selama ini mati matian saya pegang.
Itulah sedikit cerita tentang manisnya kota kudus. Manis yang menyebabkan penghuninya terkena penyakit diabetes, dan manis yang menyebabkan para laki lakinya terpikat serta terpesona. Hehehehe….
Sungguh eksotis kota ini…..

KUDUS, 25062011
Ponpes Mazro’atul Ulum, DAMARAN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar